Dalam satu minggu terakhir ini, sedikitnya sudah dua kali ada “tamu” yang meminta dokumen penjatuhan Gus Dur. Saya berpikir, “tamu” tersebut digerakkan oleh tulisan atau utas yang saya buat di akun Twitter saya.
Kunjungan tamu yang meminta dokumen Penjatuhan Gus Dur ini bukan kali pertama terjadi. Setidaknya kali ini adalah gelombang ketiga mereka datang ke rumah meminta dokumen.
Gelombang pertama terjadi pada Januari 2018 dan gelombang kedua tepat setahun yang lalu, Agustus 2018. Gelombang kedua menurut saya yang paling “keras” karena orangtua saya meminta untuk tidak tinggal di rumah.
Tak hanya itu, saya juga terkena “panic attack” karena kunjungan tamu tersebut yang sangat intens. Masalahnya, mereka tak pernah menemui saya langsung, tapi mendatangi keluarga saya.
Tulisan ini tak akan membahas hal itu, tetapi saya akan menjelaskan bagaimana dan di mana saya menemukan dokumen tersebut. Lantas, bagaimana saya memutuskan untuk melakukan riset, wawancara, dan menuliskannya dalam sebuah buku.
Kenapa buku? Karena dalam buku, saya bisa menjelaskan konteks suatu peristiwa secara utuh dan kejadian sebab-akibat. Hal yang mungkin kurang saya dapat, jika menuliskannya dalam sebuah laporan jurnalistik.
Dokumen penjatuhan Gus Dur, ditemukan di Kantor DPP Partai Golkar pada medio Oktober 2017. Saat itu, saya masih menjadi reporter di Majalah Gatra untuk meliput satu tahun perkembangan renovasi kantor Golkar yang dihadiri Setya Novanto.
Setelah acara peresmian, kami –para wartawan– biasa melakukan door stop dan lanjut membuat transkrip serta laporan. Saat saya melakukan transkrip, saya melihat beberapa tumpukan kertas teronggok, dibuang.
Lantas, saya menghampiri petugas kebersihan untuk meminta izin apakah boleh melihat apa saja yang dibuang. Begitu diizinkan dan saya membaca beberapa dokumen, saya menemukan dokumen tersebut.
Dan menanyakan apakah dokumen lama ini boleh diambil. Mungkin karena ketidaktahuannya, petugas itu membolehkan saya membawanya.
“Ambil saja, Mas, ini juga mau di-kiloin (dibuang),” katanya.
Hal yang saya lakukan berikutnya adalah memberi tahu dan mendiskusikannya dengan teman-teman saya di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Didaktika. Sebagai alumni jurusan sejarah, saya dan teman-teman mendiskusikan keabsahan dokumen tersebut.
Diskusi berlanjut, pada sikap yang akan saya ambil. Teman-teman menanyakan kesiapan saya tentang kemungkinan terburuk terjadi, karena tokoh-tokoh utama dalam dokumen tersebut masih hidup dan berpengaruh.
Setelah pertimbangan bebera waktu, saya siap untuk melakukan penelitian ini sendiri tanpa ada bantuan dana atau semacamnya dari siapa pun. Tapi, saya tak bisa langsung meneliti, karena saya masih menyelesaikan proses penyuntingan buku pertama saya tentang Forum Demokrasinya Gus Dur. Saya tidak tahu apakah ini sebuah kebetulan. Sebab, saya tak pernah percaya dengan hal-hal kebetulan.
Hal pertama yang saya lakukan dalam meneliti adalah mencari sumber sekunder, yakni koran-koran periode Gus Dur memerintah. Lantas, selanjutnya adalah membaca buku-buku berkaitan.
Saya tak mau langsung melakukan wawanacara, sebab saya tak mau terlihat bodoh di depan narasumber dengan hanya mengiyakan. Terlebih mereka semua adalah politisi senior yang berpengalaman dan jauh lebih pintar dari saya.
Saya membutuhkan waktu satu tahun untuk hal itu sepanjang tahun 2018, dari Januari-Desember. Pada saat itu pula saya mulai membuat kerangka tulisan dan daftar pertanyaan untuk narasumber.
Begitu saya rasa sudah memiliki cukup pengetahuan dan “amunisi”, saya mulai melakukan wawancara pada Januari 2019. Tokoh pertama yang saya wawancara adalah AR. Saya membuat janji wawancara selama 4-5 bulan untuk meyakinkan AR agar bersedia diwawancara.
Wawancara AR dilakukan di rumahnya, bilangan Gandaria, Jakarta Selatan. Saya melakukan wawancara selama satu jam lebih. Menariknya, ketika saya mulai mengonfirmasi data, AR langsung mematikan rekaman saya.
“Semua itu tidak ada. Kami semua sudah ingin perubahan yakni mengganti Gus Dur. Karena Gus Dur banyak melakukan hal-hal konyol,” katanya.
Tak cukup sampai di situ, AR melanjutkan, “Kamu dapat info ini dari siapa? Kamu harus beri tahu, kalau tidak ya kamu belum tentu bisa keluar dari rumah ini.”
Saya awalnya menolak untuk memberi tahu dengan alasan jurnalistik memiliki kesepakatan dengan narasumber kalau namanya tak mau disebut. Tapi karena AR mendesak, saya berpikir cepat dengan menyebut mantan Kapolri R.
Musabanya, Kapolri R juga tercatat hadir dalam rapat penjatuhan Gus Dur. Setelah itu, AR langsung menjabat tangan saya dan menyatakan bahwa wawancara sudah selesai, karena sudah satu jam dan ia harus bertemu dengan tamu lainya.
Wawancara berikutnya adalah AT. Semua dokumen yang saya temukan itu ditujukan kepada AT. Saya membayangkan bahwa AT ini layaknya The Godfather. Saya mewawancarai AT di bilangan Pancoran, Jakarta Selatan.
Wawancara dengan AT juga berlangsung satu jam. AT memang pintar, ia pada awalnya tak menjawab pertanyaan saya yang langsung bertanya tentang Golkar di masa reformasi. Selama 30 menit, AT bercerita tentang sejarah Golkar dari awal.
Setelah itu, AT baru mulai menjawab pertanyaan saya dengan singkat. Jawabannya pun mirip dengan AR. “Pernyataan-pernyataan Gus Dur membuat ketidakstabilan nasional. Oleh sebab itu, banyak yang ingin dia mundur,” ujarnya.
Lantas, ketika saya menunjukkan dokumen yang saya miliki, AT mulai terlihat gugup. Ia mulai menggigit kukunya saat membaca dokumen tersebut. “Saya memang ketemu FB beberapa kali, tapi tidak sedalam dokumen ini,” terangnya.
“Saya lupa, dokumen ini ada atau tidak. Mungkin saja ada, mungkin tidak. Kalau pun ada, saya tak terlalu fokus terhadap ini,” pungkasnya.
Wawancara selanjutnya dalah FB, salah satu pembuat dokumen. Saya mewawancarai sekitar 45 menit, di ruangan basement rumahnya, kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Tak seperti AT dan AR, FB ini orang yang blak-blakan.
Meski semua alasan jatuhnya Gus Dur sama dengan AT dan AR, FB memberikan keterangan bahwa rapat wait and see penjatuhan Gus Dur pada 22 Juli 2001 dilakukan di rumahnya.
“Saya kasihan dengan Gus Dur, teman-teman dan pembisiknya itu amatir dan goblok!” tegasnya.
Wawancara selanjutnya adalah MF. MF saat ini berdomisili di Aceh, saya melakukan wawancara tak langsung dengan meminta bantuan teman wartawan di Aceh. Tentu dengan daftar pertanyaan yang saya siapkan.
MF layaknya FB, dia orang yang terbuka. MF mengakui bahwa dia melakukan jejarring dengan KAHMI melalui FB dan TNI-Polri.
“Saya sempat bertemu Pak PS dan SBY, mereka mendukung kami kok,” katanya Selain itu, dia mengatakan bahwa seluruh aksi kerusuhan memang dibuat untuk menjatuhkan kredibilitas Gus Dur.
Saya juga mewawancarai pembuat dokumen lainnya yakni PBS. Saya mewawancarainya di bilangan Antasari Jakarta Selatan. PBS mengakui bahwa 70-80 persen dokumen yang saya temukan merupakan idenya.
Namun, ia menolak bahwa ia yang menuliskannya. “Mungkin itu ditulis intelejen. Tapi isi surat dan tanda tangannya benar kok,” imbuhnya. PBS justru senang dokumen saya, bahkan ia meminta izin saya untuk memfotokopinya.
Perwakilan PDIP yang saya wawancarai adalah NN, mantan Bendahara Umum PDIP. NN merupakan anrsum pengganti, karena AP tak bersedia saya wawancara. Dari NN juga saya mendapat informasi bahwa banyak rapat untuk menjatuhkan Gus Dur di rumah AP.
NN menjelaskan situasi internal PDIP yang terbelah antara kader asli dan anak indekos seperti AP. Mereka berebut perhatian dan pengaruh dari M dan TK. Awalnya M dan TK sepakat dengan kader bahwa menyiapkan M sampai 2004. M harus belajar dulu dari Gus Dur.
Tapi, anak indekos ingin segera menaikkan M. Dengan meyakinkan M, bahwa PDIP adalah partai pemenang pemilu 1999, sudah seharusnya M menjadi presiden. Setelah Memorandum I, M dan TK ikut pandangan anak indekos.
Dari kubu Gus Dur sebenarnya banyak informasi seperti keterlibatan korporasi menjatuhkan Gus Dur. Tapi, saya tak bisa mengonfirmasinya, tentu dalam disiplin ilmu sejarah dan jurnalistik pernyataan itu tak layak untuk dikutip.
Saya merampungkan riset dan penulisan ini akhir Juni 2019. Tentu akan banyak kritik dan saya akan terima sebagai sebuah keniscayaan dalam konteks demokrasi dan bidang ilmu pengetahuan.
Karena riset yang saya lakukan bersifat independen, saya tak punya target untuk menjatuhkan lawan politik tertentu baik dalam pemilu 2019 lalu maupun lawan politik Gus Dur atau ingin balas dendam sejarah.
Saya menulis buku ini, karena kesukaan saya terhadap sejarah dan juga dunia tulis-menulis. Alasan ini pula yang membuat Greg Barton, penulis biografi Gus Dur berkenan menuliskan kata pengantar untuk buku saya nanti.
Setengahnya inisial yg sy tahu dan alur besarnya lumayan bisa dipahami. Kelemahan di internal orang terdekat Gus Dur yg melemahkannya diharapkan terungkap pula.
Hanya 20% dari inisial yang disebutkan itu saya tahu, selanjutnya masih penasaran dan menunggu update tulisan berikutnya.
Nunggu bukunya