Sedang Membaca
Macapat, Membaca Tahapan Empat dalam Diri

Pelajar di Islamic Home Schooling Fatanugraha Wonosobo, sedang mengaji Tari Topeng Lengger yang ada di Wonosobo.

Macapat, Membaca Tahapan Empat dalam Diri

Mocopat Gubug Wayang

Sebagaimana ilmu dalam tradisi Jawa akan diekplorasi seturut paparan puzzle kata dan kalimat seperti dalam Wedhatama karya Ranggawarsita sebagai olah diri manusia untuk mengutuhkan laku-kediriannya, yaitu sebuah laku (baca: suluk) mendayakan budi (sembah raga, cipta, Jiwa, dan rasa) manusia dalam bingkai perjalanan besar sangkan-paran hidupnya.

Berangkat dari gambaran tersebut menjadi tahu, seperti halnya kata “ilmu” itu diserap dari kata Islam, ternyata “ngilmu” dalam tradisi Jawa sebenarnya masih dipahami dalam kerangka pandangan dunia agama ini, lebih tepatnya tasawuf, setidaknya seperti tertuang dengan gamblang dalam teks-teks seratnya.

Ngilmu atau ilmu adalah salah satu uji coba untuk sebuah eksplorasi menggali khasanah filsafat masyarakat itu sendiri. Dengan usaha ini akan sedikit bisa mengerti, atau setidaknya bisa merasakan, bahwa konsep ngilmu dalam tradisi Jawa punya bangun filosofis yang khas atau berbeda, atau setidaknya muncul dari suatu pandangan dunia masyarakat tertentu yang oleh karenanya harus dijelaskan menurut kriteria pandangan dunia yang dihayati—sifatnya bisa berhubungan sekaligus universal pada saat bersamaan.

Dalam membahas konsep ngilmu, berangkat dari “Serat Wedhtama” dimana salah satu kutipan serat ini begitu terkenal terutama terkait bait “ngilmu iku kelakune kanthi laku”ditambah beberapa tambahan penjelasan serat, wirid, maupun suluk seperti dikenal dalam perbendaharan kategori sastra Jawa untuk mengukuhkan dan menguatkan apa yang dapat dijabarkan.

Kemudian jika ditunjukkan keterkaitan bahwa ngilmu, ‘ilmu sebagaimana kata ini diserap dari bahasa Arab bahkan bahasa Al-Qur’an yang sebenarnya masih dipahami dalam kerangka pandangan dunia tersebut, tepatnya tasawuf, setidaknya seperti tersirat dalam teks-teks seratnya.

Namun, sayangnya belakangan ini para sarjana Barat juga orang Indonesia berpendidikan berusaha sekuat tenaga untuk menempatkan ngilmu di luar dari kerangka bingkai pandangan dunia tersebut, seakan jauh dari laku pada dalam diri seseorang.

Dulu para Wali Tanah Jawi menggunakan kata suluk untuk menamai sebuah genre tembang Jawa (terutama sekar alit) bernama macapat. Seperti diceritakan oleh Nancy K. Florida dalam “Writing Traditions in Colonial Java: The Question of Islam” (Michigan Press: 1997).

Seorang antropolog yang berjasa besar memfilmkan dan mengkatalogisasi seluruh isi tiga naskah Jawa Keraton Solo, Mangkunegaran, dan Radya Pustaka di tahun 1980-an terdapat setidaknya dua genre dalam kesusateraan Jawa, yang pertama berbentuk  puisi-tembang bernama genre “suluk” (macapat), sedangkan yang kedua berbentuk prosa atau eksposisi teoritis disebut “wirid” (ini juga istilah penting dalam tasawuf). Itu dicontohkan beberapa karya misalnya, “Suluk Sontrang”, “Suluk lonthang”, “Wirid Hidayatjati”, dan masih banyak lagi.

Baca juga:  Bulan Sya’ban dan Tradisi Nyekar

Penamaaan suluk atau (perjalanan) sebagai genre tembang macapat yang merupakan genre utama untuk menulis kesusateraan serat maupun babad di Jawa terkonfirmasi dari makna seperti penamaan yang sering kita kenal dalam tembang macapat, yaitu dari Maskumambang dimaknai (dalam kandungan), maskumambang merupakan metrum atau panjang suku kata yang tergolong dalam tembang Mocopat. Maskumambang merupakan urutan pertama tembang Mocopat untuk kemudian disusul dengan metrum tembang Mijil.

Maksud tembang Maskumambang adalah penggambaran alam rahim yang dihuni oleh janin yang laksana emas terapung-apung (emas kang kumambang) dibaca Maskumambang. Janin dalam alam rahim diposisikan tengah menjalani kehidupan yang sangat sakral, karena ia bukan sekedar mengembang dan menyempurnakan anatomi tubuhnya.

Melainkan tengah menjalani proses penggemblengan rohani berupa pengetahuan-pengetahuan yang kelak ia akurasi di alam kasunyatan atau dhahir. Oleh karena itu perjalanan janin yang demikian sakralnya, maka kualitasnya sangat mulia bagaikan emas sebagai simbol atau tanda keindahan dan kemuliaan.

Disambung Mijil (lahir), Mijil adalah metrum tembang Mocopat yang menggambarkan fase kelahiran. Mijil artinya keluar, hadir, atau muncul. Munculnya si jabang bayi ke alam dunia. Dengan demikian otomatis juga keluarnya si janin yang tadinya hanya bisa diraba-raba saat masih di alam bathin menuju lahir yang sudah bisa diindra secara kasat mata dan disentuh tanpa perantara, tidak hanya sekedar ditebak-tebak, tapi sudah benar-benar bisa disaksikan.

Sinom (anak muda), Kinanthi (ditemani perkembangan ilmu dan moralnya), Asmaradana (asmara), Gambuh (menikah), Dandhanggula (mengalami pasang-surut, jatuh-bangun kehidupan), Durma (mendermakan diri kepada masyarakat), Pangkur (mundur dan mengambil jarak atas gemerlap dunia), Megat-ruh (terlepasnya ruh kita, alias wafat), dan terkahir Pucung (jasad kita dibungkus kain kafan).

Pada dasarnya gambaran diatas yakni adalah sebuah perjalanan (suluk) kehidupan manusia dari semenjak dalam kandungan hingga menuju kematian saat jasadnya di-pucung, dikafani. Sebuah lelaku atau suluk menjalani sangkan paraning dumadi-nya.

Baca juga:  Sejarah dan Filosofi Wayang untuk Kehidupan Kita

Oleh karenanya tembang-tembang Macapat (sekar alit) sering diatribusikan kepengaranganya bahkan kepada para wali tanah Jawi, misalnya Durma dikarang oleh Sunan Bonang, Dhandhanggula dikarang oleh Sunan Kalijaga, Mijil dan Megatruh dikarang oleh Sunan Giri-Prapen, Maskumambang oleh sunan Majagung, dst.

Sebenarnya jika kita mau jujur memeriksa, sebenarnya memang tak ada genre macapat (sebagai sebuah tembang) di Jaman Majapahit setidaknya secara defenitif, meski mungkin rancangannya sudah ada.

Model kesusasteraan di Jaman Majapahit hanya mengenal setidaknya dua genre yaitu genre Kakawin dan genre Kidung (juga ada satu lagi kesusasteraan Parwa) yang oleh Javanolog macam Zoetmulder dipandang sebagai sebuah genre sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa-kawi yang berbeda dari bahasa Jawa modern di masa para wali tanah Jawi hingga Mataram, yang metrum tembangnya mengikuti rima suara panjang-pendek Sansekerta (India), alias berbeda dengan metrum macapat yang kita kenal hari ini.

Serat, suluk, wirid, dan babad—kesemuanya ditulis dalam format tembang-puisi macapat, kecuali tentu wirid—sebenarnya jika kita jujur adalah merupakan produk di masa Jawa Islam. Dan bahkan diyakni sebagai hasil Ijtihad kebudayaan para wali Tanah Jawi, termasuk di dalamnya seperti wayang.

Selain itu, sebenarnya penamaan sekar macapat bisa juga kita rangkai dalam pembacaan serupa. Disebut macapat karena dalam perjalanan sangkan-paran-nya, atau bongkot-pucuknya manusia harus dengan sungguh memperhatikan unsur empat atau “membaca empat” (maca papat) yaitu nafsu dalam diri ruhaniyahnya (lawamah/hitam, supiyah/kuning, amarah/merah, mutmainah/putih) atau sering disimbolisasikan dengan sedulur papat lima pancer, yang tersimpan di setiap masing individu.

Saat masih muda misalnya (sinom), karena nafsunya yang masih menggelegak dalam usaha mengenali atau sedang mengeksplorasi kelebihannya sebagai manusia (jalan marga utama), seharusnya ditemani (kinanthi) perkembangan moral-spiritualnya dengan disiplin yang lebih bernuansa “hitam-putih” (syariat), agar tak kebablasan hingga justru menjerumuskannya pada jalan menyimpang yang merusak eksplorasi kelebihan (kemanusiaan)-nya.

Juga misalnya saat nikah (gambuh). Nikah adalah pranata sosial yang paling kuat sebagai kawah candradimuka yang memaksa seseorang untuk menundukkan ego dan diri rendah-nya, karena akan diuji untuk suatu tanggung jawab lebih dalam usaha mencari penghidupan dalam sebuah relasi masyarakat serta telah mengalami jatuh bangunnya proses seperti (dhandhanggula) yang memang menuntut sikap kedewasaan tertentu.

Baca juga:  Apakah Jimat, Mantra, dan Rajah untuk Kebaikan, Masih Dipercaya dan Nyata?

Oleh karenanya, jika ia lolos dalam olah penundukan diri ini ia akan “bisa” mendermakan baktinya (durma) kepada sesama karena telah lepas dan mengatasi pamrih diri dan egotisme diri rendahnya.

Karena penundukan diri tersebut merupakan bagian jenjang laku jasadi-ruhaniyah, maka orang Jawa mendisiplinkan laku penundukan ego semacam itu dengan (suluk/macapat) setidaknya dalam tiga hal. Pertama, melalui disiplin strata bahasa berjenjang meninggi (bahasa ngoko-madya-krama-inggil) yang membuatnya sanggup menempatkan dirinya dalam skema andhap-asor (tidak menggunakan karma inggil untuk dirinya sendiri/ merendahkan diri sendiri), juga disiplin gerak tubuh yang telah diatur dalam tata-krama dan unggah-ungguh (menunduk jika melewati orang tua, dll).

Kedua, menajamkan atau tepatnya “menghaluskan rasa” melalui olah-seni dalam wujud gamelan, tari, dll agar bisa menundukkan karsa-tubuh dan gejolak rasa yang tak terkendali menuju tercapainya rasa halus. Ketiga, melalui jalan tapa, laku-prihatin, puasa, riyalat atau riyadloh mengurangi makan-tidur-seks, mutih, kungkum, tarak-brata, lelana.

Maka dari itu dalam pengertian poin ketiga ini kata “laku” atau “lelaku” (spiritual) sering dilekatkan—persis seperti arti spesifik kata suluk dalam istilah Tarekat. Karena ia sedang menunjuk usaha penundukan nafsu empat dan egotisme diri rendahnya dalam sebuah perjalanan panjang sangkan paran agar mulus menjalani lelakon hidup. Urip mung saderma nglakoni.

Sepanjang pengalaman ketika membaca serat, suluk, babad, dan wirid dalam khasanah kesusateraan Jawa, bakal menemukan bahwa seluruh ajaran pengetahuan dan ilmu Jawa berpusar pada pengetahuan ihwal mengenal akan diri sendiri, alias laku diri, yang sering dibahasakan secara berbeda seperti mawas dhiri, mulat sarira, hingga pangawikan pribadi.

Yaitu sebuah usaha untuk mengenali dirinya sendiri dalam skema sangkan paran tentu dengan cara menundukkan nafsu empat dalam dirinya (macapat), sehingga ia bisa mengutuhkan kedirian kemanusiaanya agar dapat menemukan dengan diri sejatinya (jati diri). Agar ia bisa mengutuhkan atau menyempurnakan kemanusiaannya atau dapat disebut dengan janma utama atau insan kamil.

Sebagaimana Mbah-mbah kita dulu itu capaiannya bukan semata pada makna, arti dan teges, melainkan beliau-beliau itu telah menembus hingga pada tahapan “surasa”. Dalam arti, saya bisa merasakannya. Wallahu a’lam bisshowab.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top