Komunitas Tionghoa Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong (Rasa Dharma) Semarang menggelar acara haul satu dasa warsa Gus Dur. Peringatan yang dilaksanakan dengan sederhana berlangsung di Gedung Rasa Dharma (Boen Hian Tong), Gang Pinggir, Pecinan, Semarang, Senin (30/12) berjalan dengan khidmat.
Menurut pengurus Boen Hian Tong Jose Amadeus Foe, para pengurus Boen Hian Tong, mengadakan sembahyangan kirim doa untuk Gus Dur di depan Sinci Gus Dur yang terletak Altar Utama Boen Hian Tong.
“Haul adalah peringatan hari meninggal seorang tokoh yang dihormati. Istilah ini dikenal dalam Agama Islam. Kami ikut memperingati Haul Gus Dur, meskipun kami lakukan dengan sederhana,” ujar Jose yang juga dikenal sebagai pecipta wayang kronik alias wayang multikultural ini.
Lebih lanjut, Jose membeberkan, kalau almarhum Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gusdur yang wafat pada 30 Desember 2009 dan dimakamkan di kompleks Pesantren Tebuireng ini mempunyai tempat khusus dalam masyarakat Tionghoa. Mantan Presiden RI ke-4 ini, bahkan pada tahun 2014 Gus mendapat gelar kehormatan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia dari Komunitas Tionghoa Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong (Rasa Dharma) Semarang.
“Beliau sangat dihormati oleh masyarakat Tionghoa karena beliau mencabut Inpres No.14 Tahun 1967 yang melarang seluruh kegiatan yang berhubungan dengan Orang Tionghoa, sehingga sempat terjadi putusnya mata rantai kebudayaan Tionghoa di kalangan keluarga sejak tahun 1967 hingga 2000, yakni selama 32 tahunan,” imbuh Jose.
Gus Dur berani mencabut Inpres yang intoleran dan mengubur kebudayaan penting tersebut, maka pada tahun 2004 beliau dinobatkan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia di Klenteng Tay Kak Sie Gang Lombok, Semarang. “Ini semua karena beliau, dan beliau sendiri juga mengakui bahwa beliau adalah keturunan Tionghoa dari Tan Kim Han, seorang ulama Islam ternama yang bergelar Syaikh Abdul Qadir as-Shini,” terangnya.
Bagi warga Tionghoa, peran Gus Dur sangat besar. Gus Dur selalu berbicara persamaan, tanpa membedakan latar belakang agama, ras, suku, dan kebudayaan. Gus Dur juga aktif membela hak-hak warga peranakan Tionghoa.
Oleh karena jasa Gus Dur terhadap toleransi keberagaman di Indonesia, imbuh Jose, Boen Hian Tong menghormati beliau dengan dibuatkan sebuah Sinci atau Papan Arwah yang diletakkan di posisi kehormatan bersama para pendiri dan ketua Boen Hian Tong terdahulu.
Menurut Ketua Perhimpunan Boen Hian Tong Harjanto Halim, sinci itu adalah bentuk penghormatan kepada Gus Dur dari masyarakat Tionghoa. Fungsi sinci yang paling mudah adalah untuk melacak silsilah leluhur. Melihat keturunannya sampai ke tingkat paling awal menjadi mudah.
Lebih lanjut, Harjanto memaparkan, Sinci adalah papan kayu bertuliskan nama leluhur yang sudah meninggal dan diletakkan pada altar penghormatan. Kalau sudah diberikan Sinci atau silsilah, namanya tentu akan selalu didoakan oleh komunitas Tionghoa.
“Kami ingin menghormati jasa-jasa Gus Dur baik ketika masih hidup dulu. Jadi Gus Dur juga didoakan oleh kaum Tionghoa seperti leluhur lainnya. Nama Gus Dur telah kami pahat di sanubari kami, ” papar Harjanto.
Penghormatan terhadap Gus Dur diberikan dalam bentuk Sinci alasannya, lanjut Harjanto, bagi kaum Tionghoa, Gus Dur dinilai telah menghapus kekangan, tekanan dan prasangka. Semasa lalu, kaum Tionghoa kerap mendapati stigma buruk baik dari pemerintah Indonesia, maupun masyarakat pada umumnya. “Gus Dur juga dinilai telah berjasa menjadikan semua warga negara menjadi setara. Gus Dur itu toleran dan menerima perbedaan,” papar Tokoh Tionghoa Semarang ini.