Pria paruh baya berjalan dengan tenang dari dalam rumah menuju pendopo di halaman depan yang teduh. Ia berpenampilan tak begitu mencolok dengan pakaian serba hitam. Busananya itu mengingatkan tradisi umat muslim yang berduka di bulan Muharram memperingati kesyahidan cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali.
Hidayat Shaleh, pria 40 tahun itu adalah orang yang dituakan di rumah sederhana yang berlokasi di Jalan Perdata 1 Nomor 12 B, Kompleks Pengayoman, Kota Tangerang, Banten. Di bagian depan, dinding rumah berlukiskan corak budaya Nusantara, antara lain wayang Gatotkaca dan Shinta yang sedang menghadap gunungan.
Di sisi lain, terlihat juga lambang bendera pahlawan tanah Batak Sisingamangaraja dengan gambar dua pedang kembar layaknya Zulfikar. Gus Dayat–sapaan akrabnya– menampung puluhan anak jalanan di rumah berukuran 30×70 meter yang kini disebut dengan Majelis Preman (Maprem).
Penulis menyambangi Majelis Preman pada Rabu (25/8/2021) lalu. Di siang hari menjelang sore, suasana majelis itu terlihat hening. Hanya ada sekitar 3 orang yang sedang duduk di halaman depan. Satu orang berkopiah ala Gus Dur tampak baru bangun tidur di pendopo yang banyak dihiasi dengan ungkapan-ungkapan sufi. Rupanya, mereka biasa kumpul di malam hari untuk mengaji dan beraktifitas ke luar di siang hari.
Gus Dayat menceritakan, Majelis Preman didirikan dengan niat mengangkat martabat manusia. Seluruh atau Sebagian besar anak-anak muda yang ia tampung bersama istrinya di rumah itu adalah mereka yang dulu sehari-harinya hidup di jalanan. Orang mengenal mereka dengan sebutan preman lantaran penampilannya yang dinilai ‘menyeramkan’, seperti tubuh yang dilumuri tato, hidung dan telinga penuh tindikan, rambut ala anak punk hingga perbuatan yang kerap kali dianggap tak beradab.
Gus Dayat berupaya melawan arus. Ia punya pandangan yang meski terpikirkan oleh banyak orang, namun sangat sedikit yang mau melakukannya, yakni memberdayakan para preman. Hal ini tak cuma sekadar gerakan sosial, ia meyakini membina anak jalanan adalah manifestasi ibadah dalam konteks muamalah. “Buat saya, ngasih makan orang itu dakwah, ngasih makan orang lapar aja dakwah. Enggak cuma ngajarin agama, tapi menolong orang aja dakwah,” ujarnya.
Upaya mengumpulkan para preman di rumah sejalan dengan keinginannya memiliki banyak anak. Jika kebanyakan orang lebih menginginkan kalangan yatim dan piatu sebagai anak adopsi, Gus Dayat justru mengangkat para preman jalanan sebagai anak-anaknya. Tidak sedikit anak-anak preman yang tak lagi memiliki orang tua dan hidupnya terkatung-katung di jalanan. Jika bukan para dermawan, lantas siapa yang akan menolong mereka?
Rasa prihatin bergejolak dalam hati Gus Dayat. Siapapun pasti terusik kemanusiaannya jika merenungi akan nasib anak-anak jalanan. Mengandalkan pertolongan pemerintah mungkin tak bisa dilakukan segera, atau barangkali hal seperti ini tak begitu diacuhkan pemerintah. Stigma negatif kerap menghalangi keinginan untuk menolong.
Gus Dayat menuturkan, bagaimanapun buruknya stigma masyarakat terhadap anak jalanan atau preman, mereka tetaplah manusia yang punya hak untuk hidup layak. “Indonesia kan kaya, tapi kenapa banyak yang terlantar? Di situ peran sosial saya. Karena saya lihat dia saudara, jadi apa yang bisa saya lakukan buat mereka,” katanya.
Satu demi satu anak-anak jalanan dari beragam latar belakang ia ajak untuk tinggal di rumahnya. Mereka, kata Gus Dayat, ditemukan dalam momen yang berbeda-beda. Adakalanya ia mengajak para preman itu saat sedang menongkrong bareng. Di lain waktu, ia berkoordinasi dengan relasi preman yang ia kenal, kemudian mengajak mereka untuk tinggal bersamanya. Tak sengaja bertemu dengan anak jalanan pun sering ia alami.
Kemudahan akses mendapat kenalan preman ini sebenarnya tak lepas dari pengalaman dia yang juga berangkat dari jalanan. Ia mengaku pernah menjalani masa-masa hidup di jalanan layaknya preman. Ia sendiri tak mengakui diri sebagai preman meski orang bilang dia adalah bagian dari pergaulan itu. Semasa menjalani hidup sebagai preman, Gus Dayat beberapa kali terlibat bentrok hingga dilarikan ke rumah sakit karena terkena sabetan benda tajam.
Namun semua itu terhenti pada 2004 silam. Beberapa media mencitrakan dia seolah seseorang yang murni menjalani laku hidup sebagai preman dan kemudian beralih menjadi sosok yang baik. Namun, ketika Penulis berbincang dengannya, ada cerita yang berbeda dari yang dipersepsikan publik selama ini. Menuntun para anak jalanan dan preman ke jalan yang lebih baik tak serta merta adalah inisiatifnya, melainkan ada perintah dari orang tertentu.
Misi dari Sang Guru
Tak sempat terpikirkan dengan sebuah nama “Majelis Preman” untuk mengayomi anak jalanan. Menurut Gus Dayat, nama itu berawal ketika para warga di lingkungan Kompleks Pengayoman melabeli lokasi tinggal mereka dengan sebutan tempat nongkrongnya anak-anak preman. Tapi, siapa sangka, bahwa mengumpulkan preman adalah misi dari guru spiritual.
“Ke jalanan sebenarnya bukan keinginan sendiri. Salah satu guru saya menugaskan saya untuk berdakwah di jalanan,” ungkap pria kelahiran Surabaya 40 tahun silam ini.
Sang guru menginginkan adanya gerakan dakwah yang lebih membumi dari kebiasaan para da’i yang kebanyakan berdakwah di masjid-masjid. Saat gurunya memerintahkan hal itu, Gus Dayat tidak menolak. Ia mengaku menerima saja penugasan itu karena alasan bakti kepada guru.
“Dari Surabaya ke (Tangerang) sini, ada guru yang mengajarkan saya tentang ma’rifat. Dari situlah saya disuruh untuk turun ke jalan,” kata Gus Dayat. “Saya cuma nanya waktu itu sampai kapan (berdakwah di jalanan)? (dia jawab) Sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Sudah, saya jalan aja,” imbuhnya.
Sejak menerima perintah dari sang guru, Gus Dayat mulai geriliya di jalanan mencari dan bertemu orang-orang yang sebelumnya asing bagi dia. Namun ia menuturkan, gerakan dakwah jalanan ini didorong pula oleh cita-cita dia yang sewaktu di bangku SMA menginginkan profesi sebagai relawan sosial. Menjadi relawan sosial koheren dengan misi yang ia jalani, yakni berdakwah untuk memanusiakan manusia.
Tak Pernah Menggurui
Selama berdakwah di jalanan, Gus Dayat mengungkapkan tak pernah sekalipun ia menggurui kalangan preman, apalagi sampai memaksa untuk hijrah pada jalan yang ia anut. Strategi yang digunakan adalah membaur dengan mereka, bahkan boleh jadi ia berpakaian ala preman agar tak ada kecurigaan bahwa ia sedang membawa misi.
Cara ini mirip dengan upaya Wali Songo saat mengislamkan masyarakat di Pulau Jawa. Strategi dakwah yang digunakan para wali ketika itu sangat beragam, tergantung wilayah dan kondisi masyarakat yang didatangi. Penyebaran agama Islam yang dilakukan Wali Songo benar-benar memperhatikan kultur masyarakat setempat. Mereka mampu beradaptasi dengan luwes agar penyampaian pesan Islam diterima oleh masyarakat.
“Kalau saya itu mendengarkan keluhan dan curhatan. Saya hampir tidak pernah menggurui di jalanan, ngobrol aja biasa. Cuma dengarin keluhan, (habis itu) ditampung dan diajak (berubah),” ungkapnya.
Tak mudah menjalankan misi berdakwah di jalanan karena harus melepas rasa nyaman dari hidup. Meski begitu, Gus Dayat mengaku tak menerima penolakan saat mengajak mereka untuk berubah. Umumnya, hati mereka terketuk untuk sadar dan meniti jalan yang sudah diberikan petunjuk. Hal ini dibarengi pula dengan keadaan mereka yang terkadang merasakan titik jenuh dalam menjalani hidup yang serba nakal.
Berdakwah di jalanan hingga akhirnya resmi mendirikan Majelis Preman membutuhkan waktu yang tak singkat. Gus Dayat mengungkapkan, upaya yang ia lakukan mulai dari bergaul, membujuk, hingga berhasil meluluhkan hati anak jalanan menelan waktu sampai 10 tahun.
Tepat pada 12 Juni 2018, Gus Dayat bersama ratusan preman dan anak-anak jalanan meresmikan Majelis Preman yang kini populer dengan sebutan “Maprem”. Tak kurang dari 70 orang anak jalanan dan preman tinggal di rumahnya. Mereka umumnya berusia rata-rata di atas 20 tahun, namun ada juga yang berusia 8 tahun hingga 50-an.
Gus Dayat yang sejak SMA tinggal di kawasan Tangerang mengatakan sekitar 470 orang yang dinaungi oleh Majelis Preman. Mereka datang dari beragam etnis yang banyak tersebar di penjuru Jabodetabek. “Hampir seluruh Indonesia ada,” katanya.
Adab Dulu, Baru Syariat
Berbeda dengan pondok pesantren atau madrasah yang mendidik santri untuk giat menaati syariat. Di Majelis Preman, dakwah Gus Dayat lebih mengutamakan pendekatan adab terlebih dahulu sebelum menuju syariat. Hal ini dilakukan agar memupuk kesadaran lebih jauh terhadap ajaran agama. Ia memandang jika anak-anak jalanan maupun preman langsung disuruh untuk mengamalkan syariat, psikologis mereka akan mudah terbebani.
“Kita lebih mengaji budaya sebenarnya. Syariat tetap diajarkan, cuma untuk awal enggak mungkin langsung kita ajarkan itu, karena memang mulai dari nol,” kata Gus Dayat.
Pendekatan budaya ini dianggap cukup efektif menggaet mereka untuk belajar. Sebab, pendekatan budaya cendrung menggali sisi filosofis dari sebuah objek kajian. Anak-anak jalanan dan preman sering diajak berpikir untuk merenungi nilai yang terkandung dalam sebuah budaya.
“Budaya kita inikan luar biasa kaya, hampir seluruh daerah kita ini kaya banget. Pasti ada larangan atau pantangan dari nenek moyang, ini kita perkenalkan. Kita kupas. Seperti budaya keris, misalkan. Terus mengapa orang Jawa dan Sunda dulu kalau makan enggak boleh bersuara. Kita obrolin, oh ternyata dengan Islam enggak bertentangan,” jelas Gus Dayat.
Budaya dipandang lebih dekat dengan masyarakat. Gus Dayat menuturkan, dari nilai-nilai yang digali dan kemudian dipatuhi, secara tak langsung para preman sebenarnya sudah mengamalkan ajaran yang sesuai dengan Islam. Sebagaimana diketahui, Islam merupakan agama yang menekankan pentingnya memelihara adab. Hal ini sering tergambar dalam ungkapan hikmah yang berbunyi “adab itu lebih tinggi daripada ilmu”.
“Baru ke sini-sininya, mereka minta sendiri belajar ngaji, belajar salat, mereka sendiri (yang minta. Saya enggak pernah maksa untuk salat,” ucap Gus Dayat.
Didikannya terlihat ampuh, Penulis menyaksikan bagaimana anak-anak jalanan yang hendak keluar atau tiba di majelis itu selalu mencium tangan Gus Dayat. Mereka juga bertutur sopan dan terlihat patuh pada perintah sang guru yang sekaligus menjadi orang tua mereka.
Upaya Gus Dayat memberdayakan mereka sangat berhasil. Anak-anak jalanan yang dulu tak punya pekerjaan jelas kini sudah mampu membuka dan mengelola usaha sendiri. Usaha mereka antara lain toko tembakau hingga kafe yang kini sudah berdiri sebanyak enam lapak. Semua modal usaha ditanggung oleh Gus Dayat. Ia rela mengeluarkan uang pribadinya demi mengembangkan potensi mereka.
Meski mendapat fasilitas pendidikan non formal hingga modal usaha, Gus Dayat mengatakan mereka didorong untuk hidup mandiri, sesuai dengan prinsip anak punk tentang berdikari. Tak pernah, misalnya, anak didiknya diajarkan untuk meminta-minta bantuan ke pemerintah daerah.
Pemerintah Kota Tangerang sempat mengetahui keberadaan Majelis Preman. Melalui kegiatan yang dilakukan, Gus Dayat diminta untuk membuat akta yayasan agar mudah mendapat bantuan sosial dari pemerintah. Namun Gus Dayat mengaku belum tertarik. Ia masih ingin fokus mematangkan adab anak-anaknya itu.
“Saya menolong mereka dari jalanan bukan berarti ke sini ngedidik untuk jadi pengemis, minta-minta dengan cara bikin proposal, saya enggak mau begitu,” kata Gus Dayat.
Keberadaan Majelis Preman menghapus semua cap negatif yang selama ini sering kita arahkan kepada mereka. Kita diingatkan bahwa perubahan menjadi lebih baik tak terhalang oleh stigma buruk masyarakat. Seperti dituturkan Gus Dayat bahwa sebagian besar anak-anak jalanan yang diasuhnya telah berubah total. Pelan-pelan mereka sudah meninggalkan kebiasaan buruk dahulu.
Lebih jauh kita diajarkan tentang kegigihan dakwah menyebar kebaikan dan merangkul mereka yang terabaikan. Para agamawan dihadapkan pada fakta bahwa berdakwah ke medan jalanan dan membaur dengan kalangan preman tak patut ditinggalkan, bahkan upaya Gus Dayat ini bisa menjadi teladan. Patuh pada sang guru dan memutus semua rantai kenyamanan duniawi dalam berdakwah memperlihatkan adanya jalan sufi di Majelis Preman.