Sedang Membaca
Perbincangan Islam Nusantara di Iran: Tasawuf, Menara Kudus hingga Gus Dur
Purkon Hidayat
Penulis Kolom

Penikmat kopi pahit, buku, musik, dan keheningan malam. Bekerja di media, pengajar, peneliti, dan koordinator Gusdurian Tehran.

Perbincangan Islam Nusantara di Iran: Tasawuf, Menara Kudus hingga Gus Dur

Keluar dari pemberhentian busway di persimpangan jalan Vali Asr dan Talighani, saya segera melirik jarum jam yang bergerak hampir mendekati pukul 17:00. Meski sore hari, hawa panas masih menyengat di pekan awal bulan Mordad yang terik.

Hanya dua menit berjalan kaki dari jalan Vali Asr, yang disebut Colin Freeman sebagai jalan terpanjang di Timur Tengah ini, saya sudah memasuki gedung sebuah pusat riset bergengsi di Iran, Danesh Nameh Jahan Eslam, Institut Ensiklopedia Dunia Islam. Lembaga yang berdiri sejak 36 tahun silam ini telah menghasilkan 25 jilid ensiklopedia dunia Islam, termasuk sejumlah entri tentang Asia Tenggara berdasarkan abjad huruf Farsi.

Selasa sore itu, dua orang peneliti Asia Tenggara, Mahmoud Reza Esfandiar dan Faezeh Rahman sudah menunggu. Mereka segera mempersilahkan saya duduk, dan tidak lama, teh panas bersama camilan ringan tersaji. Dua komputer dan tumpukan buku tentang Asia tenggara di sampingnya yang diambil dari perpustakaan lembaga riset itu. Keduanya dipertemukan oleh sebuah ketertarikan yang sama, kebudayaan Islam Asia Tenggara, terutama Islam Nusantara. 

Bagi mereka, Islam di Asia tenggara, lebih khusus Indonesia, memiliki karakteristik yang khas dan unik. Inilah magnet yang menyedot kedua peneliti Iran untuk memahami lebih jauh tentang Indonesia dengan mempelajari bahasanya, selain tentu saja bahasa Inggris, dan Arab, juga Persia sebagai bahasa ibunya, bahkan salah satunya memahami bahasa Urdu. Melihat dua Indonesianis ini, saya merasakan optimisme baru tentang masa depan penyebaran wacana Islam Nusantara di Timur Tengah. 

Dari sekian banyak intelektual dan peneliti Iran, Esfandiar dan Rahman tampak sedikit berbeda. Selama 18 tahun tinggal di Iran, saya berjumpa dengan banyak orang dari supir taksi, pengusaha, diplomat hingga akademisi. Tapi sangat sedikit yang memiliki ketertarikan dan kehandalan bacaan mengenai Indonesia. Ada yang tertarik memahami Indonesia, tapi tidak memiliki pemahaman yang baik tentang kebudayaan dan karakter bangsanya. 

Sebagian kalangan memahami Indonesia tapi hanya sebatas bidang khusus seperti politik luar negerinya saja. Sulit untuk menyebut mereka Indonesianis. Entahlah, apakah memang Indonesia tidak menarik bagi pemikir Iran, ataukah kita mungkin yang kurang aktif menawarkannya dalam bentuk wacana yang layak diangkat. 

Tapi saat ini, tingkat pengenalan masyarakat Persia terhadap Indonesia relatif jauh lebih baik dibandingkan kondisi pertama kali saya datang di tahun 2001. Dulu, saking parahnya ada yang menanyakan Indonesia di sebelah mana Afrika.

Baca juga:  Kisah Kiai Memed Mendirikan Pesantren di Lokalisasi Saritem (1/3)

Sekitar lima tahun terakhir, angin harapan berhembus cukup kencang. Bermunculan beberapa akademisi yang menaruh minat terhadap studi Indonesia. Tiga tahun lalu, Universitas Tehran membuka program pascasarjana Asia Tenggara.

Bersaman dengan itu, bermunculan pula akademisi yang mengangkat isu Indonesia dari berbagai dimensi seperti: media, politik dan ekonomi. Meskipun demikian tidak mudah menemukan akademisi yang fasih bicara tentang kebudayaan Indonesia.

Esfandiar, intelektual ini, jika ke Asia Tenggara sudah seperti pulang kampung (Foto: penulis)

Dari sekian akademisi peminat studi Indonesia, Esfandiar dan Rahman berbeda. Mereka memiliki ketertarikan minat yang tinggi dan kefasihan bacaan tentang kebudayaan Indonesia yang terhitung langka untuk ukuran Iran. Bahkan Faezeh Rahman menunjukkan keduanya dengan disertasinya, yang mengangkat pengaruh tawasuf dalam penyebaran Islam di Indonesia dan Malaysia, serta persentuhannya dengan agama sebelum Islam. 

Profesor Esfandiar meminati Islam Indonesia dari pintu bidang keahliannya, agama dan tawasuf.  Penulis buku “Sejarah Islam di Asia Tenggara” dalam bahasa Farsi yang baru terbit beberapa bulan lalu ini “jatuh cinta” dengan wajah Islam Indonesia yang moderat dan toleran. Tapi pengajar dan penulis buku-buku tentang Jalaluddin Rumi ini tampak khawatir menyaksikan fenomena radikalisme dan intolerasi yang menjalar di Tanah Air. 

Ketika saya tanya mengenai sisi apa yang paling menarik dan khas dari Islam Indonesia, penulis prolifik lebih dari 20 buku dan puluhan artikel ini menyebut warna “Islam Irfani atau Islam sufistik” sebagai faktor penyebab diterimanya Islam oleh masyarakat Nusantara secara damai.

Menurutnya, kondisi kawasan Nusantara relatif berbeda dengan Timur Tengah yang menerima Islam dengan jalan pedang dan penaklukan. Dari aspek historis saja sudah jelas bahwa Islam Nusantara memiliki modal historis yang kuat. 

Pengajar sorogan kitab “Matsnavi-e Maknawi” Jalaludin Rumi selama 16 tahun ini menilai peran para sufi dan juga pedagang muslim dari Arab, India dan Iran berperan besar dalam penyebaran Islam di Nusantara. Dosen mata kuliah agama timur, terutama Budha ini, menilai ajaran tasawuf sebagaimana dijalankan dan diajarkan Wali Songo tidak didakwahkan berhadap-hadapan secara diametral dengan ajaran sebelum Islam. 

Pandangan senada ditegaskan Faezeh Rahman yang menunjukkan jejak akulturasi dalam penyebaran Islam di Nusantara. Salah satu bukti yang disodorkan doktor bidang agama dan tasawuf ini mengenai wayang sebagai media islamisasi yang dilakukan Wali Songo.

Baca juga:  Wisata Kuliner: Mengangkat Keistimewaan Becek

Selain itu, nama-nama orang juga mengadopsi tradisi Hindu-Budha yang dianut masyarakat Nusantara sebelum Islam. Bahkan, rumah ibadah dan ornamennya seperti bedug jelas menerima tradisi pra-Islam di Nusantara. 

Penulis puluhan artikel tentang Islam di Asia Tenggara dalam bahasa Farsi ini menyodorkan faktor-faktor pendukung argumentasinya tentang pengaruh besar tawasuf dalam penyebaran Islam di Nusantara misalnya: arsitektur masjid di Jawa seperti menara di masjid Kudus maupun masjid gede Mataram Yogyakarta dan lainnya. Selain itu ibu muda berusia 35 tahun ini melihat sistem kesultanan Islam seperti Mataram mengikuti tatanan Hindu-Budha sebelumnya. 

Menurutnya, pengaruh tradisi budaya India juga terlihat begitu kuat di Nusantara. Meskipun demikian, secara historis, kultur Islam Nusantara jauh lebih toleran dibandingkan India dan kawasan Asia selatan, apalagi Timur Tengah. Di Nusantara relatif tidak terjadi pengubahan ekstrem tatanan lama yang dianggap baik, termasuk rumah ibadah dengan berbagai ornemannya. Tapi di daerah lain sebaliknya, diubah dan dibangun dari nol. 

Rahman meyakini kemampuan fleksibilitas dan toleransi yang tinggi dalam jejak Islam Nusantara tidak bisa dilepaskan dari pengaruh sufisme. Menurutnya, tasawuflah yang bisa membuat demikian, bukan fiqh. Oleh karena itu, tasawuf menjadi salah satu pilar penting bagi Islam Nusantara. 

Esfandiar menambahkan dimensi kontemporer dari peran tawasuf tersebut dalam penguatan Islam Nusantara. Ketika diminta tanggapannya tentang wacana Islam Nusantara yang diusung Nahdlatul Ulama (NU), pengajar mata kuliah tasawuf teoritis Ibnu Arabi ini menjelaskan bahwa narasi tersebut terlihat baru dari luar, tapi pada dasarnya melanjutkan jejak Islam Nusantara Wali Songo yang berpegang teguh terhadap tradisi dalam bentuknya yang dinamis. 

Pemikir Muslim Iran ini memandang NU berperan besar dalam menjaga keutuhan Indonesia yang sempat akan dibawa oleh segelintir pihak menuju piagam Jakarta. Dukungan NU terhadap Sukarno ketika itu untuk mempertahankan Pancasila dan bukan piagam Jakarta, jelas memperlihatkan kesadaran gerakan Islam tradisional ini, terutama pemahamannya yang toleran dan sensitivitasnya yang tinggi terhadap isu disintegrasi bangsa. 

Dari aspek ini, peran kiai NU yang memiliki kedalaman ilmu keislaman dan kesadaran kebangsaan yang tinggi, tidak bisa dilepaskan dari tumbuh berkembangnya tasawuf yang melekat dalam pendidikan Islam pesantren. 

Akademisi  Iran berusia mendekati 50 ini, memandang kehadiran Raushanfikran Dini (intelektual muslim yang tercerahkan), seperti KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan Nurcholis Madjid mampu menjaga keberlanjutan Islam di Indonesia yang toleran dan damai. Dari Muhamadiyah muncul sosok seperti Ahmad Syafii Maarif. Tidak hanya itu, para tokoh ini berhasil mengkader generasi pelanjutnya termasuk anak-anak muda yang kini menjadi pionir pembaruan Islam seperti Ulil Abshar Abdalla, bersama gerbongnya.

Baca juga:  Nguwongke, Menggali Rasa yang Sehat lewat Seni

Ketika ditanya tentang pemikiran Gus Dur, Esfandiar tampak sangat antusias dari mimiknya.

“Meskipun di Iran kurang dikenal, Kiai Abdurrahman Wahid bukan hanya tokoh Islam tingkat nasional Indonesia, tapi juga dunia. Sebab buah pikiran Gus Dur dalam karyanya yang relatif berserakan dan tidak terstruktur, menawarkan jalan baru solutif atas problematika dunia modern yang seringkali terjebak pada diametral tradisionalisme dan modernisme,” ujar Esfandiar.

“Posisinya sebagai intelektual muslim terkemuka sangat cepat merespon tantangan dinamika zaman dan modernisasi dengan mengambil nilai-nilai Islam sebagai pijakan subtantif,” tegasnya.

Esfandiar memandang Gus Dur sangat memahami ajaran Islam yang sinkron dengan dinamika perkembangan zaman serta mengusung setinggi-tingginya nilai-nilai kemanusiaan dan kehormatan manusia.

“[Misalnya] tentang prinsip toleransi, sebelum Gus Dur mengadopsi nilai tersebut dari pemikiran baru, dunia modern, beliau terlebih dahulu sudah menyerapnya dari warisan tradisi Islam,” jelas pakar tasawuf Iran ini.

Pemikiran Gus Dur lahir dari cakrawalanya yang luas terhadap pemikiran modern dan kekayaan warisan pemikiran Islam. 

“Abdurrahman Wahid dengan baik menggunakan pengetahuan klasik dan tradisional, budaya masyarakat Indonesia yang kaya, Islam sufistik, tasawuf, kedalamannya terhadap studi Islam, penguasaan yang baik terhadap Alquran dan hadis, dan lainnya, dalam pemikirannya, sehingga beliau tampil sebagai tokoh terkemuka yang menjadi perhatian hingga kini,” ungkap peneliti Asia Tenggara itu.

Selain itu, Gus Dur ditempa pengalaman persentuhan tradisi dengan berbagai warna Islam di tempat lain ketika menuntut ilmu atau kunjungannya ke berbagai negara seperti Irak dan Mesir.

Menurut Esfandiar, lahirnya gerakan muda NU yang melanjutkan pemikiran Gus Dur, termasuk munculnya gerakan Gusdurian sebagai bagian dari upaya “gerak maju” Islam Indonesia yang saat ini menghadapi tantangan intoleransi dan radikalisme yang cenderung menguat. Seperti mengulang sejarah masa awal kemerdekaan RI, NU menjadikan Islam Nusantara sebagai “benteng NKRI”, Gus Dur menjaganya, dan kini para penerus muda merawat dan mengembangkannya.

Penulis bersama Esfandiar di sebuah diskusi
Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Islam itu hanya satu.
    Yaitu islam yang dibawa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu anhum.
    Islam tidak terbagi2 menjadi islam nusantara islam iran, islam saudi atau islam lainnya.

    Islam hanya satu.

    Iran itu basis Syi’ah. Segera pulanglah Wahai Penulis sebelum ikut2an menjadi Syi’ah.

    Ketahuilah Syi’ah bukan islam.

Komentari

Scroll To Top