Kurikulum, istilah megah dalam sejarah dan perkembangan pendidikan di Indonesia. Pastilah istilah itu diperoleh dari bahasa asing. Bocah-bocah tak mudah mengartikan kurikulum tapi mereka menerima pelbagai dampak kurikulum diadakan pemerintah.
Konon, sekian kurikulum pernah diterapkan di Indonesia, dari masa ke masa. Kita belum pernah mengetahui dan membuktikan kurikulum terbaik, terindah, atau termanis. Di ingatan publik, kurikulum selalu pelik. Kurikulum senantiasa ramai polemik.
Di majalah Tempo, 4 Februari 1984, kita membaca artikel panjang bertema kurikulum. Tulisan mendokumentasi gejolak pendidikan di Indonesia: “Kritik terbuka muncul mulai tiga tahun lalu. bunyinya: Beban mata pelajaran terlalu banyak bagi para siswa yang jam belajar sekolahnya terlalu singkat. Tapi baru dua tahun kemudian, 1983, Prof Dr Nugroho Notosusanto, beberapa hari setelah dilantik menjadi menteri P & K, menyatakan bahwa beban pelajaran di SD hingga SMA memang terlalu berat bagi murid-murid.”
Menteri baru terduga mau mengadakan kurikulum baru. Penggantian berdalih pendidikan di Indonesia wajib maju.
Menteri tak mau menjadi sasaran kritik dan marah gara-gara kurikulum (lama dan baru). Nugroho Notosusanto berkata: “Lho, saya ini dikira apa? Apa malamnya saya mimpi kurikulum inti, lalu paginya saya putuskan mengganti kurikulum? Saya menyusun kebijaksanaan memakai tiga sumber. Landasan hukum, sejarah, dan pendapat masyarakat.” Kita cukup mengerti bila kurikulum bukan perkara siang dan malam. Kurikulum itu rumit banget.
Pada setiap pemberlakukan kurikulum, dampak terasa dalam buku pelajaran. Para penulis buku pelajaran mengikuti petunjuk-petunjuk baru. Penerbit-penerbit bekerja untuk ketersediaan buku-buku pelajaran. Para guru dan murid menggunakan buku-buku pelajaran mengacu kaidah-kaidah terkandung dalam buku pelajaran. Para orangtua berpikiran duit untuk membeli buku atau menemani belajar dengan segala kebingungan dan keraguan. Kurikulum pun bermasalah dalam buku pelajaran
Kita simak kenangan Siti Aminah Abdullah: “Saya aktif menjadi editor buku. Bekal pengalaman sebagai guru membuat saya bisa kritis saat membaca naskah buku pelajaran. Biasanya, saya buatkan revisi sekaligus dan saya diskusikan dengan penulisnya. Situasi ini memacu saya untuk terus belajar. Walaupun dasar pendidikan guru sudah saya miliki, perkembangan zaman jelas membawa pembaruan dalam tata cara penyampaian ilmu dan bertambahnya bobot ilmu itu sendiri.”
Pengakuan berlatar masa 1970-an. Orang-orang ingat ada kurikulum berlaku di Indonesia ditandai tahun: 1975. Siti Aminah Abdullah tentu menggunakan patokan-patokan dalam kurikulum untuk buku-buku diterbitkan oleh Tiga Serangkai (Solo).
Kita sedang membaca biografi dan sejarah penerbit Tiga Serangkai berkaitan pengadaan buku-buku pelajaran sesuai sekian kurikulum. Pengakuan itu terbaca dalam buku biografi Siti Aminah Abdullah berjudul Menguak Jendela Ilmu (2010) disusun Alberthiene Endah. Tiga Serangkai, penerbit tenar untuk buku-buku pelajaran itu dibentuk oleh Abdullah Marzuki dan Siti Aminah Abdullah.
Tiga Serangkai makin ramai pada masa 1980-an. Mula-mula, usaha kecil dan sederhana tapi lekas maju saat mulai berhubungan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Inpres dan kurikulum tentu menjadi pemicu.
Penjelasan terbaca: “Tahun terus bergulir, dan order buku dari pemerintah terus datang. Buku-buku Tiga Serangkai yang semula hanya menjadi bacaan pelajaran alternatif, lambat laun menjadi buku-buku yang disarankan masuk ke dalam kurikulum.”
Kita diingatkan masalah industri buku (pelajaran), kebijakan pemerintah, kebutuhan murid, dan mutu pembelajaran di sekolah. Tiga Serangkai ada dalam arus perkembangan kurikulum dengan terbitan pelbagai buku digunakan di seantero Indonesia.
Penerapan kurikulum-kurikulum di Indonesia memastikan terjadi kesibukan di penerbit-penerbit. Konon, orang-orang biasa menuduh perubahan kurikulum mendadak, mengakibatkan kisruh dalam penggunaan buku-buku pelajaran. Usaha membeli buku pelajaran tak dijamin lancar gara-gara situasi sulit kadang dialami oleh penerbit dan toko buku.
Kita kembali menengok Tempo, membaca kritik menimpa Nugroho Notosusanto berkaitan pendidikan masa 1980-an: “Sekarang saja, sudah ada yang bilang, kurikulum baru tidak mencerdaskan anak, tapi membodohkan anak.” Dulu, keributan kurikulum memang seru dan berkepanjangan. Ribut pun berurusan buku pelajaran dianggap lama dan baru. Begitu.