Beberapa waktu lalu, dosen saya Iman Muhammad As-Syuhat, salah satu pengajar di Universitas Al-Azhar menceritakan kisah menarik tentang hikmah dalam menjalani hidup melalui cerita apik dari bunga mawar dan seekor kuda.
Syahdan, di sebuah kebun tumbuhlah setangkai bunga mawar yang nampak berbeda di antara bunga-bunga yang lainnya. Warnanya pun terlihat kusam dan layu, padahal di saat yang sama, para pengunjung mulai berdatangan ke kebun itu untuk menikmati gambaran elok yang ditampilkan oleh bermacam-macam bunga tadi. Sehingga ketika beberapa dari wisatawan tersebut menyadari bahwa ada yang aneh dan merusak pemandangan mereka.
Sontak mereka pun bertanya kepada si tukang kebun, “Mengapa engkau tidak memotong mawar yang di tengah itu, padahal ia memperjelek pemandangan kebunmu?”
Mendapat saran seperti itu, si tukang kebun justru menjawab santai sambil tersenyum, “Tidak perlu, datanglah kalian setiap hari ke kebun ini, lalu ejeklah mawar itu sepuas kalian. Dan perlahan, perhatikan apa yang terjadi.”
Pengunjung yang bertanya tersebut kemudian menuruti nasihat tukang kebun. Mereka esoknya datang dan terus rutin mengejek mawar buruk rupa, “Wahai Mawar, mengapa engkau tidak mati saja? Tidak tahukah ‘kau bahwa dirimu memperjelek pemandangan kebun ini?”
Di lain kesempatan, ejekan mereka dari hari ke hari terdengar semakin pedas, “Wahai Mawar, matilah saja kau!” Hal itu mereka lakukan setiap hari. Hingga di minggu kedua, mawar itu pun perlahan layu dan akhirnya mati.
Nun jauh dari kebun mawar tersebut, hiduplah seorang laki-laki dengan kudanya. Setiap hari ia menggunakan kudanya untuk berpergian dan membawa barang-barang. Dan suatu saat tibalah waktunya si kuda bertambah tua dan lemah. Ia tidak sanggup lagi bepergian jauh dan mengangkut beban berat. Tak heran yang dilakukan kuda tersebut tiap hari hanyalah makan dan minum. Dan ini memicu emosi sang pemilik kuda:
“Wahai Kuda! Tidak ada pekerjaan lagi yang dapat engkau kerjakan kecuali makan dan minum, dan apa artinya engkau bagiku kecuali merugikanku. Kau pantas untuk mati!”
Mendengar ejekan sang tuan, si kuda hitam pun tetap bersikap tenang. Sesekali, ia malah berjalan-jalan pelan dekat kandangnya untuk melepas penat. Pada suatu hari karena tidak berhati-hati, si kuda jatuh terperosok ke dalam lubang. Karena kedalaman lubang tersebut, ia kesulitan untuk keluar. Hingga para warga yang melihat kondisinya pun memanggil laki-laki pemilik kuda tersebut:
“Wahai Fulan sang pemilik kuda! Kami mengabarkan bahwasanya kudamu telah jatuh di sebuah lubang dan ia kesulitan keluar dari lubang tersebut.”
Alih-alih beranjak untuk segera membantu kuda untuk keluar lubang, si pemilik kuda justru bersyukur, “Alhamdulillah!”
Lalu dengan segera ia beranjak untuk mengambil kantong-kantong pasir berat. Setelah sampai di atas lubang, ia jatuhkan kantong-kantong pasir tadi di atas punggung kuda dengan tujuan agar sang kuda semakin terperosok dan terkubur di dalam lubang. Namun, si kuda ternyata tak kalah cerdik. Paham jika si tuannya berniat jahat, ia dengan cekatan menghindar dan menjadikan kantong-kantong pasir tadi sebagai pijakan untuk naik dari lubang tersebut.
Dari dua kisah beda nasib tadi, kita bisa mengambil hikmah dalam menjalani kehidupan ini. Mau seperti sang mawar atau si kuda tua?
Cerita pertama yang mengisahkan tentang mawar yang dicaci maki oleh para pengunjung lalu mati perlahan beberapa waktu kemudian, dan kisah kuda yang pantang menyerah untuk bertahan hidup walaupun sang pemilik sudah mencaci makinya, sejatinya adalah perumpamaan menarik untuk membandingkan si optimis dan si pesimis. Bunga mawar setelah mendengarkan perkataan orang yang di sekitarnya, lebih memilih untuk pesimis dengan dirinya sendiri dan kemudian menyerah pada hidupnya. Sedangkan si kuda justru tidak memperdulikan perkataan orang lain, dan tetap ingin bertahan hidup dengan memaksimalkan akal pikirnya.
Dalam kehidupan nyata, kita kerap kali bertemu dua tipikal manusia dengan dua kepribadian tersebut: yang satu tahan banting meski kerap dicela, satu lagi memilih menyerah pada keadaan dan akhirnya menghilang.
Lalu, yang manakah yang harus kita contoh? Dalam Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 87 yang artinya, “Dan janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Karena sesungguhnya tiada yang berputus harapan dari rahmat Allah kecuali hanyalah orang-orang kafir.”
Ayat tersebut bercerita tentang Nabi Ya’qub yang ditimpa musibah dengan hilangnya anak kesayangannya, Nabi yusuf. Di tengah keputusasaan yang tak terkira, Nabi Ya’qub tetap terus optimis dan berprasangka positif kepada Allah. Dan itu mengingatkan kita untuk bersikap seperti si kuda tua: meski dicela dan didoakan segera mati, jangan sampai kita justru berputus asa dari jalan keluar.
Tetaplah yakin bahwa pasti akan datang bantuan yang diberikan oleh Allah. Hal ini sejalan dengan makna dari ‘ar-rauh’, yakni segala yang dirasakan dan diyakini seseorang sangatlah berkaitan erat dengan keberadaan dan kedatangannya. Walaupun musibah terus berdatangan pada kita, namun hal yang jangan pernah kita ubah adalah prasangka baik kita terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Demikian itu karena sikap harap akan menghendaki seseorang untuk terus berusaha dan bersungguh-sungguh terhadap apa yang akan ia gapai. Sedangkan sikap putus asa akan menghendaki seseorang menjadi terbebani dan berat untuk maju. Padahal satu hal yang paling patut diharapkan oleh seorang hamba hanyalah karunia Allah, ihsanNya, dan tentu RahmaatNya.