Sejak era Pujangga Baru sampai saat ini, kita tahu, ada banyak karya sastra modern Indonesia dengan latar masyarakat Minangkabau, bersumber dari tradisi lisan Minangkabau, atau ditulis oleh orang-orang Minangkabau. Namun hampir tidak ada sastra yang demikian perihal masyarakat Mentawai. Sebagaimana yang kita tahu, Minangkabau dan Mentawai padahal berada dalam satu teritori administratif yang sama: Sumatera Barat.
Sebagaimana masyarakat budaya lain di Indonesia, masyarakat Mentawai juga memiliki kekayaan budaya, tradisi lisan, dan berbagai dinamika dan persoalannya yang kompleks juga. Sangat layak dijadikan bahan penulisan sastra. Di tengah kondisi itu, terbitnya novel Burung Kayu karya Niduparas Erlang yang bercerita tentang masyarakat Mentawai merupakan suara alternatif yang patut didengar.
Menurut Esha Tegar Putra –dalam siaran pers– penyair dan arsiparis Dewan Kesenian Jakarta, “Sejauh yang terlacak, baru ada tiga fiksi yang fokus bercerita tentang Mentawai. A. Damhoeri, salah seorang sastrawan Balai Pustaka, pernah menulis dua fiksi tentang Mentawai, yaitu, Depok Anak Pagai yang terbit pertama kali pada 1939 serta Ratu Pulau Mentawai yang pernah terbit secara bersambung di Majalah Dunia Islam & Panji Islam pada 1940. Selain itu, pernah ada juga romn berjudul Darah Mentawai karya Hassan Noel ‘Arifin yang terbit di Majalah Loekisan Soesana edisi Juli-Agustus 1946.”
Burung Kayu merupakan sebuah novel etnografis, mengangkat persoalan yang jarang dihadirkan dalam fiksi Indonesia, yaitu dinamika kehidupan masyarakat Mentawai. Secara cermat, novel ini mendedahkan kultur, adat-istiadat, kepercayaan, dan berbagai persoalan yang mereka hadapi terkait intervensi pemerintah dan agama mayoritas.
Menurut Dr. Maskota Delfi, dosen Antropologi Universitas Andalas, Burung Kayu adalah, “Sebuah novel etnografi yang cemerlang dari jemari seorang sasareu (orang luar Mentawai) membaca kehidupan Orang Mentawai Siberut, khususnya Sarereiket (penghuni DAS Rereiket). Penulis tidak hanya pantas disebut novelis dan sekaligus etnografer yang menyajikan opini dan imajinasinya berdasarkan pengalaman obeservasi dan wawancara yang mendalam dengan subyek yang ditulisnya. Novelis yang berjiwa etnografer.”
Niduparas Erlang, penulis novel Burung Kayu, memang bukan orang Mentawai. Namun melalui pengalaman akademiknya pada Pascasarjana Kajian Tradisi Lisan Universitas Indonesia, ia berupaya melakukan penelitian lapangan selama dua bulan di Mentawai untuk memperoleh bahan penulisan.
“Sudah lama saya tertarik dengan masyarakat Mentawai beserta segala adat istiadat dan persoalannya, baik sebagai akademisi tradisi lisan maupun sebagai penulis fiksi. Berbagai referensi bacaan terkait itu saya kumpulkan bertahun-tahun. Namun, jalan untuk menuliskannya dalam bentuk fiksi baru terbuka pada 2018 lalu. Saya memperoleh kesempatan residensi dari Komite Buku Nasional dan memilih Mentawai sebagai tujuan. Di sana saya bermukim selama dua bulan, mengenal lebih dekat kehidupan masyarakat Mentawai,” tutur Nidu.
Secara umum, novel ini coba mendedahkan bagaimana masyarakat Mentawai berhadapan, bernegosiasi, atau berkonfrontasi dengan berbagai hal yang datang dari luar kebudayaan mereka; bagaimana agama resmi yang diakui negara berusaha menggantikan kepercayaan yang mereka anut; bagaimana pemukiman baru yang dibangun pemerintah untuk “memberadabkan” masyarakat Mentawai justru mengikis hubungan-hubungan kekerabatan mereka.
Salah satu efeknya terjadi di hari ini. Dalam sebuah artikel di sukumentawai.org, disebutkan bagaimana “tradisi lisan masyarakat Mentawai ada di ambang kepunahan. Anak muda Mentawai hari ini kehilangan akses terhadap bahasa dan kebudayaan mereka sendiri. Bahasa dan budaya Mentawai tidak ada dalam sistem pendidikan yang mereka ikuti”
Sejak negara ini berdiri, masyarakat adat, termasuk masyarakat Mentawai, selalu mengalami diskriminasi: kepercayaan yang mereka anut tidak dianggap oleh negara dan mereka dipaksa memilih agama resmi yang telah ditetapkan; kebudayaan mereka distigma sebagai cara hidup yang terbelakang; hutan adat dan kekayaan komunal mereka dikooptasi dan dijadikan lahan ekonomis; dan ada banyak kekerasan lain yang mereka terima, secara fisik maupun simbolik, tidak hanya oleh aparatur negara namun juga oleh masyarakat lain yang merasa lebih maju dan beradab.
Upaya untuk mengakui eksistensi masyarakat adat atau dalam ranah hukum disebut masyarakat hukum adat, sebenarnya telah tertuang dalam pasal 18B UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Telah sepatutnya negara menghormati tidak hanya hukum namun juga cara hidup masyarakat adat, mengingat bahwa negara ini terbentuk justru karena bersatunya masing-masing masyarakat adat di seluruh nusantara. Namun sampai saat ini rancangan undang-undang tentang masyarakat adat masih belum disahkan.
Benturan antara aparatur negara dengan masyarakat adat, yang tak jarang berujung kekerasan fisik, telah menjadi perhatian banyak pihak, baik di tingkat nasional maupun internasional. Sejumlah lembaga telah berupaya mengadvokasi hak-hak masyarakat adat yang telah direnggut oleh orang-orang yang mengatasnamakan negara.
Novel Burung Kayu karya Niduparas Erlang, di satu sisi merupakan upaya untuk melihat kembali bagaimana dinamika yang dialami masyarakat adat, khususnya masyarakat Mentawai. Dengan berupaya mendekati batin masyarakat Mentawai, novel ini berupaya menjadikan persoalan-persoalan yang terjadi dari sudut pandang masyarakat Mentawai itu sendiri. Sebuah upaya untuk menjadikan masyarakat adat sebagai subjek, bukan lagi sekadar objek untuk diamati dan dinilai dari kacamata luar. (*)
Info: Teroka Press terokapress@gmail.com