Menelusuri Bangkalan, menziarahi makam sang guru waskita, Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bangkalani yang letaknya berada di masjid Syaichona Kholil tak luput menarik perhatian saya dari toko buku yang letaknya tak jauh dari masjid tersebut.
Langsung saja saya menemukan kitab tipis dengan judul “al-Matnu asy-Syarîf al-Mulaqqab bi Fath al-Lathîf” (teks utama yang berjuluk ‘pembuka kelembutan), maka tanpa ragu langsung saya angkut bersama beberapa kitab tipis lainnya.
Umumnya kitab kuning berada dalam tiga lingkarang, matan (inti), syarah (ulasan), dan hasyiah (catatan pinggir). Perbedaan paling mendasar, jika yang pertama lebih menampilkan tuntutan keagamaan berupa kewajiban atau selainnya, entah secara personal maupun kolektif langsung kepada intinya, adapun yang kedua dan ketiga merupakan sebuah respon dari matan tersebut.
Pelestarian model kepenulisan semacam ini umumnya digaungkan oleh ulama Timur Tengah, namun seiring berjalannya waktu, kita dapat melihat ulama-ulama Nusantara yang turut aktif juga dalam menuliskan kitab seperti model ini.
Secara sisi keilmuan Syaikh Kholil, dapat dilihat dari perjalanan menuntut ilmunya. Sejak kecil Syaichona sudah menunjukan kehausan akan ilmu fikih dan ilmu alat. Sejak kecil beliau sudah hafal nazam Alfiyah Ibnu Malik. Hingga menuntut ilmu dan pulang kembali ke tanah air, beliau dikenal sebagai ahli fikih dan tarekat, bahkan dapat menggabungkan keduanya.
Dilihat dari nama kitab ini, dapat dipastikan tergolong dari bagian yang pertama, yaitu matan. Kitab matan identik dengan ukurannya yang tipis dan langsung ke intinya, begitupun dengan kitab ini.
Kitab al-Matnu asy-Syarîf membahas dasar-dasar islam atau tegasnya rukun Islam yang lima. Setiap rukun dibahas secara singkat padat dan mudah dipahami, hanya saja di bagian akhir lumayan singkat seperti bab haji.
Di awal kitab, beliau memulai dengan pembukaan seperti biasa, kemudian menukil satu hadis:
“Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi umat Islam laki-laki maupun perempuan.”
Setelah itu, beliau memaparkan perkara yang bersifat teologis, yang mana perkara ini menjadi pijakan dasar bagi setiap muslim. Usai menambatkan landasan teologis, Syaichona memaparkan hal-hal yang berkaitan tata cara ibadah.
Sekilas kitab ini mirip dengan kitab Bidayat ul-Hidayah yang dikarang Imam al-Ghazali, sebab ada beberapa bagian tata cara yang disertakan doa. Salah satunya adalah doa ketika selesai wudhu beserta tatacaranya.
Meski kitab Syaichona hanya berupa matan, yang umumnya hampir sama dengan kitab-kitab matan fikih lainnya, beliau menambahkan tema-tema baru yang umumnya tidak dibahas di kitab lain. Misalnya tatacara melafazkan salam, yang mana banyak terdapat dalam kitab syarah (ulasan) namun jarang terdapat pada matan.
Dalam lembar terakhir kitab ini tertulis menggunakan bahasa arab yang artinya, “Telah selesai kitab ini oleh muallifnya, Muhammad Kholil bin ‘Abdullatif pada malam rabu tanggal 17 Rajab 1299 Hijriyah.
Semoga kitab al-Matnu asy-Syarîf ini semakin menambahkan keyakinan kita akan kepatenan keilmuan ulama nusantara, dan tentunya kitab ini akan menjembatani para pelajar fikih di Nusantara pada masa yang akan datang.