Martin Van Bruinessen, seorang yang dikenal sebagai pengkaji pesantren dan tarekat-tarekat sufi yang hadir di Nusantara, mencatat bahwa di masa kolonial pemberontakan kaum tarekat adalah yang paling ditakuti oleh Belanda di antara pemberontakan-pemberontakan lainnya (Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, 1995). Hal ini terletak pada kedudukan seorang murysid dalam tarekat yang dianggap sebagai para “avatar” yang mengemban tugas khusus untuk membimbing dan menjaga para pengikutnya sejak dari kehidupan sampai dengan kematiannya. Dari keyakinan ini, maka sesosok mursyid adalah laksana Kresna dalam kisah pewayangan yang diberi wewenang untuk mengetahui Jitabsara.
Tarekat memang lekat dengan citranya untuk tak secara khusus melibatkan diri pada peristiwa-peristiwa politik praktis yang bersifat keduniawian. Tapi ketika mereka terusik oleh ketakadilan, perlawanan yang dikobarkan sangatlah militan. Setidaknya, hal ini terjadi ketika Nusantara mengalami kolonialisasi, baik oleh Belanda maupun Jepang.
Ada banyak kyai yang sekaliber mursyid menjadi para pemimpin pejuang kemerdekaan. Mulai dari para Haji dari lingkaran tarekat Qadiriyah di Banten yang menurut catatan Sartono Kartodirdjo menggelorakan pemberontakan para petani pada Belanda di tahun 1888, Kyai Muhammad Hadi Giri Kusumo yang dikenal memiliki afiliasi dengan tarekat Naqsyabandiyah yang mengobarkan perlawanan di daerah pantura Jawa, kyai-kyai di Jawa Timur yang terlibat pemberontakan pasukan PETA terhadap Jepang, dst.
Pada kasus ini kalangan kebatinan Jawa, atau yang secara khusus saya sebut sebagai kalangan kapitayan, menunjukkan keterlibatannya pula pada perjuangan kemerdekaan Nusantara. Tercatat, banyak aliran kapitayan yang lahir di tengah-tengah suasana perang dan penindasan. Hal ini, bagi saya, seolah membalikkan tesis yang mengatakan bahwa spiritualitas adalah bersifat lembek atau tak revolusioner dan bahkan abai terhadap penindasan dan ketakadilan.
Tercatat, mulai dari aliran PDKK dengan pendirinya Eyang Jimat Suryangalam Tambaksegara dan Ki Ageng Djoyopoernomo dengan alirannya, Pirukunan Ayu Mardi Utomo (PAMU), sama-sama lahir atas perlawanannya pada penjajah Belanda. Ada pula aliran Harda Pusara (HP) yang ditilarkan oleh Ki Kusumawicitra dari Kemanukan, Purworejo, yang dilatarbelakangi pula perlawanannya pada penjajah Belanda. Aliran Sumarah, yang didirikan oleh R.Ng. Soekinohartono berlatarbelakang pula suasana penjajahan Belanda yang akhirnya melibatkan dirinya dan alirannya dalam perlawanan terhadap kaum penjajah dengan organ Pemuda Sumarah dan Barisan Berani Mati-nya yang tercatat pernah ikut terlibat pada peristiwa 10 November yang dimotori oleh fatwa jihad KH. Hasyim Asy’ari.
Dari sudut-pandang tarekat sebagai “jalan spiritual” ataupun metode menempa diri, sebenarnya kedua corak spiritualitas tersebut, baik tarekat-tarekat pendatang maupun kapitayan, sama-sama aktif dalam keterlibatannya melawan penindasan dan ketakadilan. Tarekat sebagai sisi pendalaman keislaman secara khusus memang diyakini bersumber dari Nabi Muhammad lewat sahabat-sahabatnya dimana, konon, kebanyakan lahir dan berkembang di luar Arab. Taruhlah tarekat Qadiriyah yang namanya dinisbahkan pada Syekh Abdul Qadir al-Jilani di Baghdad, tarekat Syattariyah oleh Syekh Abdullah al-Syattar di India, tarekat Naqsyabandiyah oleh Syekh Baha’uddin al-Naqsyaband di Uzbekistan, tarekat Syadziliyah oleh Syekh Abu al-Hasan al-Syadzili di Maroko, dst, semuanya sudah hadir dan melebur dengan orang-orang dan budaya Nusantara.
Pada abad ke-17 tarekat Syattariyah yang lebih bercorak filsafati disebut-sebut oleh Bruinessen sebagai tarekat tertua dan paling mempribumi atau kental dengan nuansa budaya-budaya lokal. Kemudian, pada awal abad ke-19, eksistensinya disaingi oleh tarekat-tarekat yang lebih bercorak akhlaqi seperti Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Syadziliyah, dst. Sementara, pada abad ke-20 muncul dan berkembang pula berbagai tarekat yang lahir oleh orang-orang Nusantara sendiri. Seperti misalnya Sholawat Wahidiyah oleh KH. Abdul Madjid di Kediri dan Dzikrul Ghafilin oleh KH. Chamim Jazuli.
Aliran-aliran kapitayan di Jawa pun juga lahir dan dikembangkan oleh orang-orang Nusantara sendiri meskipun tak lekat dengan citra keislaman sebagai tarekat-tarekat pendatang. Taruhlah PDKK dan PAMU yang didirikan oleh para anggota laskar Dipanegara, Harda Pusara oleh Ki Kusumawicitra, Sumarah oleh R.Ng. Soekinohartono, Subud oleh Muhammad Subuh, dst, dimana kesemuanya ini bersinggungan pula dengan tarekat-tarekat pendatang.
Sebagaimana KH. Chamim Jazuli yang dekat dengan tarekat Syadziliyah, khususnya KH. Nahrowi Dalhar di Watucongol, sebelum melahirkan Dzikrul Ghafilin-nya, Muhammad Subuh pun pernah memiliki kontak dengan seorang kyai Naqsyabandiyah di Bojonegoro sebelum menerima “wahyu” sendiri yang konon, dalam catatan Paul Stange (Kejawen Modern: Hakikat dalam Penghayatan Sumarah, 2009), terbelah menjadi dua: yang separuh pada Muhammad Subuh dan yang separuh pada R.Ng. Soekinohartono. Untuk nama yang terakhir, sebelum menerima “wahyu Sumarah” pernah tercatat pula menjadi pengikut aliran Harda Pusara sebagaima pendiri aliran Paguyuban Ngesthi Tunggal (Pangestu), Pakdhe Narto. Sedangkan pendiri aliran HP sendiri, Ki Kusumawicitra, sebelum bersembunyi dari buruan Belanda di Banyuwangi, pernah berguru pada RP. Natarata yang merupakan seorang sufi kelana yang dari Serat Bayanulah karangannya sangat kentara berguru pada Sayyid Oidrus di Betawi dan seorang kyai di Surabaya yang mengajarkannya “ilmu kematian.” Aliran PDKK dan PAMU, meskipun kental bercorak Jawa dan secara organisasional bernaung di bawah MLKI dan bukannya Jatman, memiliki pula apa yang di kalangan tarekat-tarekat pendatang dikenal sebagai sanad keilmuan yang bersambung pula pada Abu Bakar al-Shiddiq.
Atas persinggungan-persinggungan itulah saya pernah membahasakan bahwa mereka semua, baik tarekat-tarekat pendatang, semi pendatang maupun yang sama sekali Jawa, pada dasarnya merupakan persambungan dan kesinambungan “risalah keesaan” atau istilah Jawanya “kapitayan” yang timbul-tenggelam di sepanjang sejarah manusia (Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang, Heru Harjo Hutomo, 2020). Bukankah KH. Hasyim Asy’ari tak menerima usulan penambahan kalimat “kewajiban dalam menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya,” dan justru merasa cukup dengan kalimat awal dan aslinya yang seturut dengan nama Aliran Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa: “Ketuhanan Yang Maha Esa” (Relasi NU dan Kapitayan di Tengah Gelombang Materialisme dan Radikalisme Islam, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id)?
Atas dasar fakta-fakta sejarah tersebut, maka sudah sepatutnya orang tak serta-merta menuduh segala hal yang berbau lokal sebagaimana aliran-aliran kapitayan sebagai suatu hal yang sama sekali lepas dari kontribusi yang diberikan terhadap kemerdekaan RI dan persinggungannya dengan spiritualitas yang berbingkai agama tertentu. Dengan kata lain, tak sepatutnya hal-hal yang bersifat permukaan menyebabkan seseorang tak adil dalam menilai orang lainnya. Jangan-jangan, di balik penampilan lahiriah yang tak sesuai dengan standar, justru terletak kebenaran yang hakiki, sebagaimana penghargaan dan penghormatan Syekh Subakir pada Eyang Ismaya Jati yang meninggalkan secarik supata: “Sapa Salah Seleh.”