M. Dani Habibi
Penulis Kolom

Lahir di Lampung, 1996. Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Isalam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan saat ini tinggal di PP Wahid Hasyim

KH Abdul Manan, Ulama Pejuang Kemerdekaan asal Banyuwangi

KH Abdul Manan adalah nama seorang ulama yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat penduduk di wilayah kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, khususnya di desa Sumberas, Muncar Banyuwangi.

Kiai Manan merupakan putra kedua dari KH Muhammad Ilyas yang berasal dari Banten dan Umi Kultsum, yang berasal dari Jatirejo, Kandangan, Kediri. Kiai Manan Lahir di desa Grampang, Kabupaten Kediri pada 1870. Lahir di lingkungan pesantren membuat Kiai Manan menjadi sosok ulama yang mempunyai karismatik sehingga banyak di ikuti oleh kalangan masyarakat.

Ayahnya membuka pondok pesantren dengan ala kadarnya. Selepas mendapat didikan dari sang ayahanda, kemudian Kiai Manan juga “nyantri” di beberapa pondok pesantren di Jawa Timur. Saat berusia sekira 12 tahun ia masuk Pondok Pesantren Keling atau lebih masyhur dikenal Pondok Pesantren Ringin Agung yang diasuh oleh Mbah KH Nawawi.

 

Sekalipun masih kecil, beliau mendapat didikan langsung dari Mbah Nawawi, sehingga saat ia menjadi santrinya ia banyak dikenal sebagai santri pemberani karena dengan usia yang masih kecil sudah di berikan didikan langsung oleh Mbah Nawawi.

Lepas dari Pondok Pesantren Ringin Agung, beliau lalu kemudian melanjutkan nyantrinya ke Pondok Pesantren Gerompol yang tidak lain adalah pondok pesantren neneknya sendiri. Di Pondok Gerompol, beliau banyak menimba ilmu hikmah dan silat sehingga beliau sering disebut sebagai jago gelut atau jadug karena sering melawan kalangan berandalan dan perampok yang sering merajalela di daerah tersebut.

Baca juga:  Menelisik Wahabi (10): Konflik Ulama Banyuwangi dengan Golongan Anti Mazhab

Puas mempelajari ilmu hikmah dan silat di Pondok Gerompol, beliau kemudian melalang buana keberbagai pondok pesantren untuk memperdalam ilmu-ilmu agama Islam. Seperti, pondok pesantren KH Abas di  Wlingi (Blitar), Pondok Siwalan Panji (Sidoarjo), Pondok Gayam (Jombang), Pondok Tegalsari (Ponorogo) dan terakhir ia mondok ke Waliyullah KH Kholil Bangkalan, Madura.

 

Ketekunan dan semangat mencari ilmu agama menjadikannya sebagai seorang tokoh ulama yang ulama zuhud dan sufi disatu sisi beliau juga mahir dalam bidang ilmu hikmah dan silat.

Beliau Menikah dengan Siti Asmiyatun binti Abdul Basyar lalu beliau dikaruniai seorang anak. Pada masa penjajahan Jepang, istrinya yakni Nyai Asmiyatun wafat. Ia kemudian menikah lagi dengan Hj Umtiyatun, Jalen. Dari istri keduanya beliau dikaruniai sembilan anak yakni Ny Asliyatun, Moh Soleh, KH Fahruddin, Moh Dalhar, Ny St Aisyah, Dewi, Dafi’ul Bala’, Ny Mariyati dan KH Toha Muntaha. Pada 1929, beliau pindah dari Jalen ke Berasan dan mendirikan Pondok Pesantren Minhajut Thullab.

Masa penjajahan Jepang dan masa Kolonial, KH Abdul Manan terkenal sangat gigih melawan penjajah Jepang dan Belanda. Banyak kiai di Banyuwangi pada waktu itu ditangkap oleh penjajah. Akan tetapi berkat lindungan Allah SWT, KH Abdul Manan dapat lolos dari tiap jeratan penjajah. Pada masa itu, beliau diungsikan oleh para santri dan masyarakat di rumah-rumah penduduk.

Baca juga:  Ketika Generasi Milenial Banyuwangi Menggerakkan Tradisi

Nasib nahas memang banyak menimpa kiai-kiai besar pada masa penjajahan yang berhasil ditangkap oleh penjajah seperti KH Manshur (Sidoresmo), Kyai Moh Ilyas, KH Askandar dan masih banyak lagi karena melawan penjajahan Kumpeni Belanda. Lepas dari penjajahan Belanda, dan Indonesia telah merdeka, ia tetap mengajar di pesantren.

Tepat pada 1945 beliau membangun sebuah gedung yang bisa menampung banyak jamaah untuk mengaji, yakni gedung “Jam’iyyah al Ishlah” atau populer dengan Jam’iyyah Gedong. Pada saat yang sama, Pondok Pesantren Minhajut Thullab belum ada sistem pendidikan serupa dengan pendidikan sekolah-sekolah, yang ada hanya sistem pengajian-pengajian ala pesantren sepereti sorogan, bandongan, dan khithabah.

 

Pasca-kemerdekaan Indonesia, muncullah gerakan komunis di Indonesia atau biasa disebut dengan gerakan pemberontakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia (Gerakan 30 S PKI). Pergerakan komunis yang membabibuta mengakibatkan banyak kiai dan santri menjadi korban PKI.

Melihat tindakan seperti itu, KH. Abdul Manan bersama santri dan penduduk tidak tinggal diam. Kiai Manan mengutus beberapa santri untuk mencari beberapa batang rotan, kayu dan penjalin dijadikan azimat untuk melawan PKI.

Rotan-rotan itu kemudian oleh KH Abdul Manan didoakan setalah didoakan kemudian dipergunakan oleh para santri dan masyarakat untuk melawan dan melumpuhkan orang-orang PKI yang masih sering berkeliaran di daerah Banyuwangi.

Baca juga:  Kekuatan Batin Para Kiai atau Ulama

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
4
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top