Beberapa waktu terakhir terjadi beberapa bencana, tentu yang paling besar adalah pandemi Covid-19, adapula bencana jatuhnya, pesawat Sriwijaya Air, dan beberapa bencana alam berupa banjir erupsi dan mungkin beberapa lain yang saya belum tahu. Tapi sebelum itu saya sampaikan turut berduka atas semua ini, dan semoga kita bisa sabar, bisa bangkit kembali, normal kembali dan bisa mengambil pelajaran dari berbagai kejadian tersebut.
Berbagai bencana terjadi, begitu pula responya beragam pula. Terutama di jagad maya, ada yang menanggapi bahwa alam sudah tua dan mendekati kiamat, ada pula yang mengatakan karena ulah kejahatan atau kedholiman yang dilakukan manusia, ada yang mengatakan ini ujian, ada yang mengatakan memang sudah takdirnya dan sebagainya.
Terdapat ayat Qur’an yang sering dikaitkan secara langsung dengan bencana yang terjadi yaitu surat Ar Rum ayat 41;
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
Terjemah: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Terjemah di atas diambil dari Terjemah Kemenag 2002 dimana Al Fasad dimaknai dengan kerusakan. Adapun dalam Tafsir Lengkap Kemenag Al Fasad diartikan sebagai perusakan. Dari dua penerjemahan ini maka Al Fasad tak semestinya dikaitkan langsung terhadap bencananya, melainkan Al Fasad berkaitan dengan akibat atau resiko dari bencananya.
Pada dasarnya bencana alam akan berkaitan dengan dinamika bumi kita. Kita pun mengetahui sunnatullah bumi kita berotasi, terjadi pergerakan lempeng dibawah biosfer yang menyebabkan bencana seperti gempa bumi, erupsi, dan sebagainya. Di atas biosfer terdapat dinamika awan, yang menyebabkan terjadinya hujan, angin yang itupun berpotensi menjadi bencana. Resiko kita sebagai makhluk yang mendiami bumi ini adalah akan menyaksikan kerusakan-kerusakan akibat bencana tersebut. Namun demikian, kerusakan-kerusakan bisa diminimalisir dengan manajemen kebencanaan yang terstruktur.
Berkaitan dengan pengurangan resiko bencana ini terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilannya yaitu, hazard (bahaya), exposure (paparan), dan vunerability (kerentanan). Apakah resiko bencana ini akan menjadi besar atau kecil tergantung pada manajemen kebencanaan dari tiga hal tersebut. Bahaya berkaitan dengan seberapa besar skala bencana tersebut dan seberapa sering bencana itu terjadi. Paparan berkaitan dengan apa saja yang bisa terkena imbas dari bencana itu, apakah manusia, hewan, tumbuhan atau bahkan sistem pertanian, perekonomian dan sebagainya. Terakhir kerentanan berkaitan dengan respon masing-masing elemen terpapar terhadap bencana yang terjadi.
Kerusakan-kerusakan akibat perbuatan manusia semestinya juga diminimalisir dengan perbuatan manusia, bukan hanya sebatas pasrah kepada Allah. Usaha-usaha mengurangi resiko ini bisa kita lakukan dari sekarang, tidak menunggu terjadinya bencana. Usaha mitigasi bencana adalah persiapan kita untuk berhadapaan dengan bencana, bukan berarti berharap akan terjadinya bencana alam. Mitigasi yang dilakukan saat terjadinya bencana bukan kesia-siaan, tapi menunjukkan ketidak-siapan kita dengan sunnatullah ini.
Dibagian akhir ini saya ingin menggaris-bawahi bahwa bencana yang terjadi adalah sunnatullah. Erupsi, Angin Topan, Banjir, Tsunami, itu semua sunnatullah yang lazim terjadi pada bumi yang dinamis. Adapun kerusakan-kerusakan yang terjadi adalah akibat perbuatan manusia, apakah kerusakan yang terjadi besar atau kecil, itu bergantung pada perbuatan kita dalam persiapan menghadapi bencana. Mitigasi adalah bentuk pengamalan dari iman kita kepada ayat ini, serta bentuk pelaksanaan tugas manusia sebagai pemangku buana (khalifah fil ard). Wallahu A’lam.