(1910-1971)
Putra dari pasangan H. Muhammad Said dan Hj. Diang Zahrah ini lahir di Kampung Wasah, Kecamatan Simpur, HSS tahun 1910. Waktu itu Rantau masih merupakan bagian dari Kandangan. Keluarganya dikenal taat beribadah dan sangat mengutamakan pendidikan agama. Tak heran pada usia 12 tahun Gazali Kadhi dikirim oleh orangtuanya ke Mekkah untuk belajar mengaji, karena di sana dikenal sebagai gudangnya ulama-ulama besar. Pendidikan dia hampir sepenuhnya didapat di Tanah Suci.
Beragam cabang ilmu agama pun dipelajari Gazali. Walau berat hati mesti berpisah dengan keluarga di usia yang relatif muda, namun demi masa depan kehidupan di dunia maupun akhirat nanti, semua itu bisa dijalaninya. Dilandasi niat tulus, kemauan keras, dukungan dan doa orangtua, ia bersemangat mempelajari ilmu hadis, nahwu sharaf, fiqih, dan sebagainya yang berkaitan dengan keislaman.
Tak hanya belajar secara formal, selama di Mekkah Gazali Kadhi juga aktif mendatangi ulama-ulama besar di sana untuk mengaji secara khusus. Dengan ketekunan yang besar, ia berhasil memperoleh ijazah dari guru-gurunya itu. Antara lain, ia mendapat ijazah dari Syekh Said Amin, Syekh Abdul Latif (Mekkah) dan Syekh Ubaidullah (asal Turki).
Tahun 1932 Gazali Kadhi menikah di Mekkah dengan mempersunting Hj. Shalhah. Setelah 12 tahun menimba ilmu agama di sana, tahun 1936 ia kembali ke Tanah Air. Ia tidak pulang ke tempat kelahirannya, Kampung Wasah, melainkan menetap di Desa Kacapuri dekat Banua Halat. Dengan keluasan ilmu agamanya, banyak masyarakat yang menghajatkan Haji Gazali Kadhi untuk mengisi pengajian di musala dan masjid.
Dari tempat tinggalnya setiap hari menuju Masjid Jami di pasar Rantau, karena di situ ia menjadi pengelola sekaligus pengurus masjid, untuk memberikan pengajian agama kepada masyarakat. Waktu itu rumah ibadah ini masih terbuat dari kayu dan satu-satunya yang ada di Rantau. Dan Gazali salah seorang yang memprakarsai renovasi total masjid tersebut sejak tahun 1960-an. Setelah perbaikan rampung, bertepatan pula dengan Tapin memisahkan diri dari Hulu Sungai Selatan, atas kesepakatan alim ulama dan para pengurus, maka Masjid Jami berubah nama menjadi Masjid Baiturrahmah hingga sekarang.
Dilatarbelakangi kecintaan yang tinggi terhadap ilmu agama, KH Gazali Kadhi punya banyak pemikiran untuk pengembangan syiar Islam ke depan, khususnya di bidang pendidikan. Tak lama sepulang dari Mekkah, pada tahun 1940 ia dipercaya menjadi tenaga pengajar di Pesantren Musyawaratuttalibin, Rantau. Begitu pula di Normal Islam asuhan Tuan Guru Haji Mahyudin, ia direkrut sebagai salah satu pengajar. Sekolah ini banyak melahirkan ustadz dan ustadzah yang piawai berceramah karena di antaranya mengajarkan berpidato (muhadharah).
Selain itu, KH. Gazali Kadhi juga termasuk pendiri Sekolah Pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP), satu-satunya yang ada di Rantau, Kandangan, dan Barabai. Wajar bila lembaga pendidikan ini berkembang pesat, karena keberadaannya memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat di tiga wilayah tersebut. Sebagai kelanjutan dari PGAP, maka didirikanlah Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) dengan masa studi enam tahun. Di sini pun Gazali Kadhi menjadi salah seorang pengajar.
Tak hanya berkiprah di bidang keagamaan, dia juga dikenal sebagai tokoh pergerakan yang aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, khususnya di Kabupaten Tapin. Ketika masih di Mekkah ia sudah turut ambil bagian memikirkan nasib bangsa ini dengan membentuk Perpindom (Persatuan Indonesia Malaya), sebuah wadah diskusi dalam rangka menghadapi penjajah asing.
Begitu pulang ke Tanah Air, Gazali langsung bergabung dalam Gerakan Kemerdekaan Indonesia cabang Rantau di bawah pimpinan Brigjen Muhammad Yusi sebagai anggota sekaligus penasihat agama. Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan ia merestui usaha-usaha sabotase untuk mengacaukan pemerintah Belanda (NICA) yang berada di Rantau. Pada 9 Nopember 1945 terjadi pengrusakan motor-motor Belanda di Kampung Banua Padang, di mana Gazali Kadhi ikut dalam perlawanan itu. Atas perjuangannya tersebut, ia mendapat pengakuan dari pemerintah RI melalui Menteri Urusan Veteran dengan diterbitkannya SK Nomor 50/M/Kpts/MUV/1962.
KH Gazali Kadhi juga aktif berkiprah di kancah politik. Ketika Belanda memerintahkan masyarakat Tapin membentuk partai-partai untuk duduk di Dewan Banjar, ia menjabat sebagai ketua umum Serikat Muslimin Indonesia (Sermi). Seiring dengan dengan ditandatanganinya hasil Konfrensi Meja Bundar pada tanggal 27 Desember 1949 di Deen Haag, yang mengharuskan Belanda keluar dari Indfonesia, Gazali pun membubarkan Sermi. Ia kemudian membentuk Partai Masyumi di Tapin dan duduk sebagai ketua umum dalam rangka menghadapi Pemilu I tahun 1955.
Di masa Orde Baru, setelah G-30 S PKI berhasil ditumpas, banyak bermunculan partai. KH Gazali Kadhi tak ketinggalan membentuk Partai Permusi tahun 1968 dan bertindak sebagai ketua umum.
Jauh sebelumnya, mengingat kredibilitas keulamaannya, pada 29 September 1941 Gazali diangkat menjadi kadhi di Rantau. Dari situlah karir PNS dia berawal. Jabatan itu dipegangnya sekitar 9 tahun. Mulai 1 Nopember 1950 ia kemudian diangkat sebagai Naib atau Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Tapin Utara. Setelah 17 tahun jabatan ini dipercayakan kepadanya, ia lalu diangkat sebagai Kepala Perwakilan Departemen Agama sekaligus merangkap Kepala Dinas Urusan Agama.
Ketika beliau sakit banyak kalangan pejabat dan masyarakat biasa yang menjenguknya. Pada tanggal 23 Februari 1971, sekitar pukul 04.00 Wita Subuh KH Gazali Kadhi menghembuskan nafas terakhir. Berita itu dengan cepat tersebar luas, sehingga orang-orang pun ramai melayat.
Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.