Sedang Membaca
Republik Pangreh Praja dan Politik Uang di Nusantara

Peminat masalah sosial, tinggal di Yogyakarta

Republik Pangreh Praja dan Politik Uang di Nusantara

Republik Pangreh Praja dan Politik Uang di Nusantara 2

Ong Hok Ham atau Onghokham adalah sejarawan Indonesia kelahiran Kota Pahlawan, Surabaya, tahun 1933. Ia selalu punya persfektif lain atas sejarah kita, di luar yang dipahami umum. Salah satunya terlihat dalam bukunya Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong (Refleksi Historis Nusantara), Penerbit Buku Kompas, 2002. Dalam pengantar buku tersebut, Dr. Asvi Warman Adam menyebut bahwa pemikiran Ong sangat reflektif dan orisinal.

Ketika banyak sejarawan melihat Proklamasi sebagai pemutus hubungan antara penjajah dan si terjajah, Ong justru melihat keterhubungan itu masih kuat. Tak hanya fisik-material, juga mental. Salah satu yang menjadi perhatiannya ialah posisi birokrasi.

Sebuah negara, kita tahu, butuh birokrasi sebagai mesin penggerak pemerintahan. Jelas, jumlah birokrat sangat banyak di semua lapisan. Presiden dan kabinet boleh muncul silih-berganti, tapi birokrat atau aparatur negara tetap dalam barisan yang rapi. Hanya pensiun, mundur,  dipecat, atau ajal yang mengakhiri peran mereka di “dunia ini”.

Foto bersama pelajar pribumi sebuah sekolah pelatihan untuk pegawai pemerintah Hindia Belanda (Foto: Koleksi Tropen Museum)
Calon-calon Pangreh Praja berfoto di sekolah pelatihan untuk pegawai pemerintah Hindia Belanda (Foto: Koleksi Tropen Museum)

Menurut Ong, ketika Indonesia merdeka, kita bukan saja mewarisi sejumlah produk hukum kolonial, juga barisan birokrasi yang disebut pangreh praja. Pangreh praja inilah yang bertugas menjalankan birokrasi di Hindia-Belanda. Mereka bukan orang Belanda, melainkan pribumi yang ditugaskan sebagai perpanjangan tangan kolonial. Tak heran, sikap mental mereka juga berbau kolonial. Hal yang mewarnai tradisi birokrasi kita kemudian.

Baca juga:  Kerupuk, Keterlibatan Seluruh Indera?

Ketika kemerdekaan diproklamasikan, birokrasi bukan diisi oleh orang-orang dari unsur revolusi dan nasionalis, melainkan tetap mempertahankan unsur pangreh praja ini. Apakah kealpaan semata, atau pemimpin awal republik menyadari tak gampang menyediakan barisan birokrat yang siap pakai? Selain jumlahnya besar, melatih atau mendidiknya akan memakan waktu panjang, alih-alih menggerakkan saja mesin birokrasi yang sudah ada. Lagi pula, para pangreh praja diyakini lebih berpengalaman.

Karena itu, gempita revolusi di jalanan, tak ikut merasuk ke gedung-gedung pemerintahan. Birokrasi tak mengalami perubahan. Boleh jadi dari segi tugas, posisi dan struktur ada pergeseran, namun watak-mental tak bergeser dengan sendirinya.

Inilah yang terwariskan hingga hari ini. Mental kepegawaian cenderung tidak berubah. Tugas dan kewajiban melayani publik, sering terbalik: merekalah yang seolah minta dilayani. Gaya hidup dan pola pergaulan terkesan elitis, jauh dari interaksi sekitar. Jam kantor sering dibuat mulur-mungkret alias jam karet. Toh, gaji dan segala fasilitas tetap diterima apa pun yang terjadi. Masa tua ada jaminan pensiun dan tetek-bengek lainnya.

Bagaimana birokrasi kita membangun dirinya, bahkan dapat ditelusuri dari motivasi orang jadi pegawai negeri. Gaji tetap, fasilitas dan iming-iming pensiun, kadang menjadi motivasi dasar. Panggilan pengabdian alasan ke sekian. Karena itu, jamak kita dengar bahwa pegawai yang ditempatkan di daerah jauh atau terpencil, alamat kiamat bagi karirnya. Birokrasi jadi tak efektif. Daerah perkotaan yang fasilitasnya banyak, jadi idaman; sebaliknya daerah pinggiran dianggap tempat buangan.

Baca juga:  Menuju Satu Idul Fitri 1440 H di Indonesia

Tak mudah membenahi sikap mental demikian. Di dalam kabinet kita sampai ada menteri yang khusus mengurus aparatur, yakni Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Birokrasi memang perlu ditangani khusus. Selain jumlahnya besar, mungkin terbesar di dunia, birokrasi kita juga menyerap paling banyak anggaran.

Pada era otonomi, bisa dilihat presentase APBD di propinsi atau kabupaten/kota rata-rata di atas 50 persen diserap oleh gaji dan belanja pegawai. Bahkan ada daerah yang APBD-nya 80 persen diserap oleh mesin birokrasi, sisanya yang 20 persen barulah untuk keperluan rakyat! Dalam situasi demikian, tetap saja kita dengar terjadi penyelewengan keuangan, korupsi dan kolusi, sungguh mengenaskan.

Katalog Buku Alif.ID
Halaman: 1 2 3
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top