Sedang Membaca
Mencatut Nama Allah
M Kholid Syeirazi
Penulis Kolom

Alumnus Pondok Pesantren Futuhiyyah, Mranggen, Demak (1991-1994), Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang (1994-1997), dan Pondok Pesantren Ali Maksum Krapyak Yogyakarta (1997-2000). Menyelesaikan S1 pada Fakultas Filsafat UGM (1997-2003), S2 pada Program Pascasarjana Ilmu Politik UI (2004-2007), dan menempuh S3 Kebijakan Publik pada Fakultas Ilmu Administrasi UI (2018). Menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (2012-2017) dan Sekretaris Umum PP ISNU (2018-2023). Penulis buku Wasathiyah Islam (2020)

Mencatut Nama Allah

Mencatut nama adalah bertindak atas nama. Orang tidak percaya diri untuk bertindak atas namanya sendiri. Dia perlu orang lain sebagai legitimasi. Bertindak atas nama berbeda dengan bertindak untuk dan demi.

Berbuat demi ibu berbeda dengan bertindak atas nama ibu. Berbuat untuk Allah berbeda dengan bertindak atas nama Allah. Di sini orang melibatkan Allah untuk sesuatu yang belum tentu dikehendaki-Nya. Kehandak Allah adalah sesuatu yang secara jelas diperintahkan-Nya atau dilarang-Nya.

Orang salat, puasa, zakat, dan haji itu kehendak Allah. Kita tidak nyolong, tidak zina, tidak membunuh, tidak mengadu domba itu kehendak Allah. Kalau kita pingin kaya, terhormat, punya pasangan menawab, punya mobil dan rumah mewah, itu kehendak kita, belum tentu kehendak Allah. Belum tentu sesuatu yang dbiarkan terjadi itu sama dengan sesuatu yang diridhai.

Keinginan manusia adalah pemenuhan ego yang kadang dibalut atau dijustifikasi atas nama Allah dan agama. Misal, kamu pingin kaya, seperti Tsa’labah. Dia berjanji kekayaannya akan memperkuat ibadahnya. Janjinya diuji Allah. Dia diberi kaya. Tetapi kemudian lupa. Dia kikir, lupa ke masjid, dan menolak zakat. Tragedi Tsa’labah diabadikan Allah di dalam Alqur’an (QS. At-Tawbah/9: 75-77):

« ومنهم من عاهد الله لئن آتانا من فضله لنصدقن ولنكونن من الصالحين ٠ فلمّا آتاهم من فضله بخلوا به وتولّوا وهم مّعرِضون ٠ فأعقبهم نفاقا في قلوبهم إِلى يوم يلقونه بما أخلفوا اللّه ما وعدوه وبما كانوا يكذبون » (التوبة : ٧٥~٧٧)

“Dan di antara mereka ada yang berjanji kepada Allah: ‘Jika Allah memberikan sebagian dari karunia-Nya kepada kami, pasti kami bersedekah dan termasuk orang-orang saleh. Maka setelah Allah berikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dan berpaling. Maka Allah timbulkan kemunafikan di hati mereka sampai mereka menjumpai Allah, karena mereka telah ingkar janji kepada Allah dan karena mereka berdusta”.

Seandainya Tsa’labah jujur dan ingin kaya karena mau hidup enak, tanpa janji dan embel-embel atas nama Allah dan agama, mungkin tidak ada tragedi Tsa’labah yang diabadikan Al-Qur’an. Allah tahu persis manusia dan egonya, dan memakluminya, karena manusia memang tempat salah dan lupa.

Baca juga:  Mencintai, Menjadi Ada di Hadapan-Nya

Dalam sebuah hadis sahih, Nabi bercerita tentang Allah yang murka. Kejadiannya di umat Bani Israel. Dua orang berseteru. Satu tekun ibadah. Satunya bejat. Yang pertama dongkol dan merasa gagal mengajak orang kedua untuk bertobat. Egonya terlanggar. Tiba-tiba dia berucap: ‘Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu.” Allah murka dan berkata:

« من ذا الذي يتألى عليّ أن لا أغفر لفلان؟ »

“Siapa yang bersumpah atas nama-Ku bahwa Aku tidak akan mengampuni orang itu?”

Allah kemudian menegaskan bahwa Dia akan mengampuni fulan yang bejat dan menghapus pahala sang ahli ibadah. Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dan, dalam versi lain yang lebih lengkap, oleh Ahmad dan Abu Dawud. Saya akan kutipkan dua-duanya:

عن جندب بن عبدالله رضي الله عنه قال: قال رسول الله ﷺ: قال رجل: والله لا يغفر الله لفلان، فقال الله: من ذا الذي يتألى عليّ أن لا أغفر لفلان؟ إني قد غفرت له، وأحبطت عملك (رواه مسلم)

“Dari Jundub bin Abdullah RA, berkata, Rasulullah SAW bersabda: ‘Seseorang berucap ‘ Demi Allah Allah tidak akan mengampuni Fulan.’ Allah berfirman ‘ Siapa yang bersumpah atas nama-Ku bahwa Aku tidak akan mengampuninya?’ Aku akan mengampuninya dan menghapuskan amalmu.” (HR Muslim)

« ان رجلانِ في بني إسرائيل متؤاخيين، فكان أحدهما يذنب، والآخر مجتهد في العبادة، فكان لا يزال المجتهد يرى الآخر على الذنب فيقول : أقصر . فوجده يوما على ذنب فقال له : أقصر . فقال : خلّني وربي أبعثت عليّ رقيبا ؟ فقال : والله ! لا يغفر الله لك – أو لا يدخلك الله الجنةَ ! – فقبض أرواحهما، فاجتمعا عند ربّ العالمين، فقال لهذا المجتهد : كنت بي عالما، أو كنت على ما في يدي قادرا ؟ وقال للمذنب : اذهب فادخل الجنةَ برحمتي، وقال للآخرِ : اذهبوا به إلى النار » (رواه احمد وابو داود)

Baca juga:  Kisah dan Hikmah Keislaman Para Sahabat Rasul (4): Abu Hurairah dan Perempuan yang hendak Bertobat

“Dua orang bersaudara dari Bani Israel, satunya pendosa, lainnya ahli ibadah. Yang ahli ibadah selau menasehati pendosa dan berkata: Berhentilah! Suatu hari dia mendapatinya sedang melakukan dosa dan berkata: Berhentilah! Orang itu menukas: ‘Biarkan urusanku dengan Tuhanku, apakah kamu diutus kepadaku sebagai pengawasa? Yang ahli ibadah berucap: ‘Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu atau tidak memasukkanmu ke surga!’ Kemudian keduanya meninggal dan menghadap Allah. Allah berkata kepada sang ahli ibadah: ‘Kamu pikir kamu tahu Aku atau kamu mau ambil alih kekuasaan-Ku?’ Allah kemudian berkata kepada sang pendosa: ‘Pergilah ke surga karena rahmat-Ku.’ Kepada sang ahli ibadah, Allah berkata: ‘Pergilah ke neraka (karena kamu mencatut nama-Ku)’ (HR Ahmad dan Abu Dawud).”

Kenapa Allah murka? Karena orang pertama bersumpah dan mencatut nama Allah. Dia membreidel sifat Allah demi egonya. Padahal, Allah bukan hanya Dzat yang Maha Menghukum, tetapi Maha Mengampuni. « فيغفر لمن يشاء ويعذِب من يشاء » (البقرة: ٢٨٤). Seandainya orang pertama marah dan mengumpat-umpat tanpa mencatut nama Allah, Allah mungkin tidak akan semurka itu.

Allah berwenang atas segala sesuatu. Manusia tidak boleh mengancam dengan ancaman Allah atau menjanjikan janji Allah. Yang boleh dilakukan manusia hanya menyampaikan ancaman Allah dan janji Allah (وما علينا الا البلاغ). Selebihnya urusan-Nya. Dalam hadis sahih riwayat Bukhârî, Rasulullah pernah menegur seorang perempuan Anshar yang salehah, bernama Umm Alâ’. Keluarganya menampung Utsmân bin Maz’ûn, sahabat Muhajirin yang terkenal ahli ibadah. Ketika Utsmân wafat, dia berkata:

« رحمة الله عليك أبا السائب شهادتي عليك لقد أكرمك الله »

“Rahmat Allah membersamaimu wahai Abu Saib. Aku bersaksi bahwa Allah telah memuliakanmu.”

Mendengar ucapan Umm Ala’, Rasulullah menegur: ‘Dari mana kamu tahu Allah telah memuliakannya?” Allah kemudian menjelaskan bahwa orang boleh saja berharap seseorang diliputi kebaikan atau husnul khatimah karena rekam jejak perbuatannya. Tetapi, dia tidak boleh memastikan nasibnya karena itu otoritas Allah. Berharap dan mendoakan boleh, memastikan tidak boleh. Seandainya Umm Alâ’ berkata, ‘Aku bersaksi kamu orang baik’ tanpa mencatut otoritas Allah dan memastikan nasibnya, mungkin Rasulullah tidak akan menegurnya. Rasulullah kemudian mengajarkan prinsip tauhid tingkat tinggi dan bersabda:

Baca juga:  Metafora Ramadan dalam Surat Yusuf

« وما أدري والله وأنا رسول الله ما يفعل بي »

“Aku ini Rasulullah dan demi Allah aku juga tidak tahu nasibku.”

Ini tentu saja pelajaran bagi umatnya, karena Rasulullah telah dijamin oleh Allah dengan ayat:

« ليغفر لك الله ما تقدم من ذنبك وما تأخر ويتم نعمته عليك ويهديك صراطا مستقيما » (الفتح : ٢)

Pelajaran yang sama disampaikan Rasulullah dalam sabdanya:

« لن ينجي أحداً منكم عمله٠ قالوا: ولا أنت يا رسول الله؟ قال: ولا أنا، إلا أن يتغمدني الله برحمة » (متفق عليه)

“Tidaklah seseorang di antara kalian yang selamat karena amalnya. Sahabat bertanya, ‘Tidak juga engkau wahai Rasulullah.’ Nabi menjawab, ‘Tidak juga aku, tanpa rahmat Allah menyelimutiku’.” (HR. Bukhârî-Muslim).

Ini pelajaran penting bagi kita semua: jangan gemar mencatut nama Allah! Jangan menjanjikan janji Allah! Jangan mengancam dengan ancaman Allah. Tugas kita hanya menyampaikan janji Allah dan ancaman-Nya. Menyampaikan janji beda dengan menjanjikan janji. Kalau menjanjikan janji berarti kamu yang berjanji, padahal kamu tidak bisa menjanjikan sesuatu yang di luar otoritasmu. Begitu juga terkait ancaman-Nya. Nasib manusia semua di tangan Allah, bukan di tanganmu. Allah bahkan telah mengingatkan Nabi Muhammad:

« ليس لك من الأمر شيء أو يتوب عليهم أو يعذبهم » (ال عمران : ١٢٨)

“Tak ada sedikit pun wewenangmu dalam urusan mereka itu apakah Allah menerima taubat mereka atau mengazab mereka” (QS Ali Imran/3: 128).

Allah memaklumi kelemahan manusia karena nafsunya. Tapi jangan sekali-kali egomu untuk memuaskan diri atau melaknat orang lain dibungkus atas nama Allah, mencatut nama Allah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top