KUPI memang fenomenal. Bukan saja karena fatwa yang dihasilkannya dari memblender suara korban perempuan, hukum positif nasional dan internasional, juga hukum Islam, tetapi juga sebagai wadah empowerment buat para ulama perempuan itu sendiri untuk secara kolektif.
Dalam tanggapannya, Prof. Azyumardi Azra menunjukkan optimismenya bahwa Islam Indonesia bisa menjadi tauladan dunia muslim karena bangunan pondasi sejarah yang kuat untuk memberikan ruang berkarya ulama perempuan Indonesia.
Saya sepakat dengan Prof Azra, karena jika dibandingkan dengan komunitas muslim di belahan dunia yang lain, dimana ruang ekspresi perempuan sangat kecil karena tafsir agama yang sempit serta peran para ulama (laki-laki) yang tidak mendukung kerja-kerja pemberdayaan perempuan.
Professor Nishi Mitra vom Berg, Professor and Chair of the Advanced Centre for Women’s Studies, at the Tata Institute of Social Sciences, Mumbai, India, mengamini dengan menyuguhkan masih kuatnya pikiran ortodox berkembang di komunitas muslim India, dimana saat ini perempuan muslim India masih mengalami diskriminasi sebagai perempuan, muslim dan minoritas.
Data Sensus 2011, populasi Muslim di India sekitar 71 juta, 60% perempuan yang banyak menikah di usia dibawah 18 tahun dan 50% perempuan muslim buta huruf. Prof. Nishi juga menambahkan bahwa perceraian terjadi hanya dengan pihak suami mengatakan “talak” tiga kali tanpa harus pergi ke pengadilan agama.
Sebagai seorang aktifis perempuan yang mengenyam pengalamanan internasional, Saya semakin yakin bahwa Indonesia memiliki ruang demokrasi yang lebih baik. Ruang ekspresi perempuan muslim di Indonesia lebih luas. Contoh sederhana saja, perempuan Indonesia tidak memiliki halangan untuk beribadah atau sekedar masuk masjid, sementara di banyak komunitas muslim dilarang. Tanpa keterbukaan yang kita miliki, saya rasa juga sulit KUPI terjadi dan mendaptkan dukungan luar biasa dari berbagai pihak. Bahkan Kementerian Agama sendiri mendukung penyelenggaraan KUPI sekaligus menutup Kongress KUPI pertama.
Tapi tentu saja berkembangnya fundamentalisme dan radikalisme di masyarakat tidak bisa dianggap remeh. Meningkatnya intoleransi yang ditunjukkan oleh berbagai lembaga survey dan maraknya hatespeech di media sosial, perlu diwaspadai karena berpotensi memecahbelah bangsa kita.
Sayang sekali, forum sudah harus bubar pada pukul 13.00 waktu London. Rombongan KUPI dan para audien digiring ke ruang ramah tamah untuk makan siang sambil melanjutkan obrolan yang sempat terhenti karena ruangan akan digunakan untuk meeting berikutnya.
Di acara ramah tamah inilah, kami memilki kesempatan untuk mengelaborasi lebih jauh lagi tentang KUPI dan juga lembaga masing-masing.
Jangan dibayangkan makan siang seperti di Indonesia, dimana nasi dan lauk pauk tersedia lengkpa. Tradisi makan siang di London dan kota-kota besar lain di Eropa dan Amerika, adalah makan cepat dan praktis.
Nah…acara ramah tamah ini dimeriahkan dengan suguhan makanan koktails yang lezat berbahan udang, ayam, daging sapi. Bagi yang belum pernah tahu bagaimana bentuk makanan cocktails, bisa digoogle saja. Intinya, makanan ini dibentuk kecil-kecil yang sekali kunyah dan telan. Meskipun bentuknya kecil-kecil, tapi karena berbahan padat sayuran, protein ikan dan daging, serta tepung, tentu saja mengenyangkan kalau mengkonsumsi sampai 20 biji.
Saya menikmati model makan siang begini karena lebih fokus pada ngobrol pendalaman dengan berbagai pihak yang tertarik dengan kerja-kerja kita. Tanpa direpotkan dengan beratnya piring.
Dari obrolan saya dengan para tamu, saya mendapatkan kesan bahwa KUPI menjadi harapan baru untuk membuka ruang dialog tentang otoritas keagamaan yang selama ini dikuasai oleh laki-laki. Pengalaman KUPI memberikan peluang bagi para pegiat kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan untuk menciptakan ruang dialog antar negara. Saya optimis bahwa akan ada pergerakan ulama perempuan di belahan dunia lain, jika kerja-kerja KUPI disyiarkan lintas negara.
Kira-kira 1 jam lebih ngobrol dengan para tamu, kami pun kemudian undur pamit dan melanjutkan untuk jalan-jalan mengunjungi spot-spot menarik yang ada di kota London. Ditemani Ibu Dubes, Hana Rizal Sukma (dulu waktu di Indonesia dipanggil Mbak Hana Satrio), kami menyusuri kota London sambil bernostalgia tentang kerja-kerja pemberdayaan perempuan di Indonesia.
Romantisme aktifis critanya. Saya sendiri ini kedua kalianya ditemani oleh Ibu Dubes menikmati London. Keramahan beliau luar biasa. Malamnya, Pak Dubes, Rizal Sukma mengundang semua delegasi untuk makan malam bersama dengan beberapa staf KBRI London. Makan malam keluarga yang luar biasa. Terima kasih Pak Dubes, Ibu Dubes dan kawan-kawan KBRI. Tetap menjaga budaya Indonesia di negeri Lady Diana.