Anak-anak itu penafsir masa depan dengan segenap tindakan maupun laku yang dilalui oleh zamannya. Ia hidup dalam akumulasi pendidikan, kebijakan, pangan, ekonomi, bahkan ideologi. Orang-orang dewasa mengimajinasikan anak-anak dalam berbagai dimensi. Mereka memiliki tujuan mulia, bagaimana kelak anak-anak itu tumbuh dan kembang di dalam kesiapan terhadap berbagai hal.
Dalam derap perubahan itu, kita terpikir para bocah-bocah muslim dari beberapa babak yang dilalui. Pendidikan, pengasuhan, hingga pergaulan. Konon, sejarah pengasuhan dapat terlihat dai bacaan yang disajikan kepada mereka. Mereka berhadapan dengan sebuah teks bacaan yang terdiri dari berbagai ragam jenisnya. Sederet harap diletakkan pada pundak pada kepentingan ilmu dan pengetahuan.
Kisah demi kisah dalam lembaran sejarah mengikat. Islam memberi peran dan ruang bicara bagaimana memperlakukan anak. Teks itu sebagai tanda. Sebuah buku garapan Kariman Hamzah terbaca di Indonesia dengan upaya penerjemahan yang dilakukan oleh H. Salim Basyarahil dengan judul Islam Berbicara Soal Anak. Buku itu pertama kalinya diterbitkan oleh Gema Insani Press pada 1991.
Pengisahan anak dari pendidikan kita temukan di dalam keterangan: “Pendidikan Islam yang sehat lah yang mengangkat Muhammad Al Fatih menjadi komandan pasukan Islam menaklukkan negeri Sind, benua India, dalam usia tidak lebih dari tujuh belas tahun!” Kutipan meyiratkan imajinasi kolektif akan keberadaan anak. Mereka diimpikan sebagai sosok terdepan dalam beberapa hal. Pemimpin, narasi perang, dan sebagainya.
Penjelasan itu membawa kita untuk memberi tafsir atas masa demi masa keberadaan agama dalam pengasuhan anak. Sebaran-sebaran buku bacaan Islam terkadang dominan dalam beberapa isu besar: sejarah sahabat nabi, peperangan, moralitas, dan amar ma’ruf nahi munkar. Tema-tema itu membawa sebuah fakta bahwa pengisahan tulisan demi tulisan memberi narasi bagaimana para bocah menghayati masa lalu dan berpengaruh pada masa depannya.
Bahasa dalam bacaan adalah realitas dinamis yang menuntun mereka menemui, memasuki, dan mendalami kisah demi kisah. Bersejarah dan panjang. Bahasa menciptakan pengaruh dalam tindakan pad peristiwa demi peristiwa terlalui. Kita iseng berpikir mengaitkan standar bacaan anak-anak muslim dalam konteks ilmu dan pengetahuan. Konon, itu derajatnya sedikit. Keberadaannya masih kalah dengan buku bacaan yang berkisah masa lalu, tak terkecuali terkait narasi perang.
Pada 2006, beberapa pihak tergugah dan terpikir menyediakan bacaan bagi bocah-bocah muslim dalam lanskap ilmu dan pengetahuan. Buku terbaca berjudul Ensiklopedia Bocah Muslim yang diterbitkan oleh Penerbit Dar!, bagian dari keluarga Mizan. Penulis terdiri dari beberapa nama: Irfan AmaLee, Ana Puspita Dewiyana, dan Denden F Arif. Sekian editor tersebut berasal dari akademisi ternama dari jejaring kampus Institut Teknologi Bandung (ITB).
Buku sah dan layak menjadi bacaan dengan legitimasi kepakaran. Anak-anak diajak berwisata dalam tema besar alam semesta. Pengisahan yang tak banyak dilakukan, sekalipun kampus-kampus beragama Islam. Upaya itu tentunya menjadi penanda bahwa anak-anak muslim perlu diajak untuk mengerti kesejarahan dan perkembangan yang terjadi dari alam semesta. Lebih-lebih adalah dalam konteks keberadaan Islam. Penjelasan nama demi nama ilmuwan muslim yang pernah ada tentunya penting.
Anak-anak masuk dalam sajian bacaan, berurusan dengan Bumi, matahari, bintang, dan sekian nama planet. Mereka diajak mengerti dan memahami berbagai peristiwa demi peristiwa. Konsep Islam dihadirkan dengan penjelasan atas berbagai peristiwa itu dalam bahasa tafsir dari kitab suci. Selain itu, pembabakan sejarah pengaruh tokoh-tokoh muslim dalam peradaban ilmu dan pengetahuan menjadi refleksi untuk menuju hal yang mesti dilakukan.
“Menurut Al-Quran, pada awalnya Alam Semesta merupakan satu gumpalan yang padu. Kemudian, sekitar 10 miliar tahun yang lalu gumpalan itu meledak karena suhu yang sangat panas. Ledakan itulah awal mula Alam Semesta.” Sebuah kutipan di dalam buku yang mengisahkan bahasa religiositas dan makna keberadaan ilmu dan pengetahuan. Halaman demi halaman dalam buku seakan menegaskan: buku bacaan bagi anak harus berubah. Masa demi masa berjalan, anak-anak muslim perlu dididik akan perkembangan ilmu dan pengetahuan.
Keterbacaan makna itu pernah dilakukan oleh Conny R. Semiawan melalui buku Penerapan Pembelajaran pada Anak (2002). Buku memuat kumpulan tulisan yang pernah dijadikan untuk materi dalam seminar demi seminar. Di salah satu bagian ia menyoal keberadaan masjid sebagai bagian dari lembaga pendidikan nonformal. Ia menegaskan bagaimana zaman yang berubah perlu diimbangi dengan aktivitas yang dihadirkan dari masjid. Masjid bisa jadi pusat pembelajaran bagi anak.
Keterangan ditulisnya: “Tidak cukup anak-anak kita kini menghafal zikir dan memahami Alquran, meskipun itu merupakan suatu condition sine qua non dalam pendidikan nonformal di masjid. Masjid dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk berbagai pertemuan dan latihan belajar berbagai pertemuan dan latihan belajar berbagai keterampilan dalam hidup (life skill) yang diberi landasan etis spiritual.”
Pernyataan Conny didahului penggambaran kondisi akan keberadaan abad informasi. Ia pamrih terhadap peranan masjid dalam menyongsong dinamika yang terjadi. Penegasannya memberi landasan mendasar, Islam, pengaruhnya hadir dari masjid yang perlu dipikirkan akan masa depan kebudayaan ilmu dan pengetahuan. Lagi-lagi, anak-anak muslim adalah prioritas yang paling pertama. Mereka tak cukup dikisahkan masa lalu pergolakan, namun peradaban emas yang kemudian disadari sebagai bekal menapaki zaman.[]