Sedang Membaca
Kompetensi Seorang Mursyid dalam Tarekat
Mushofa
Penulis Kolom

Pengasuh PP. Daarul Ishlah As-Syafi’iyyah, Tanah Bumbu Kalimantan Selatan.

Kompetensi Seorang Mursyid dalam Tarekat

لَا يَنْبَغِى لِفَقِيْرٍ اَنْ يَتَصَدَّى وَيَتَصَدَّرَ لِاِرْشَادِ النَّاسَ اِلاَّ اَعْطَاهُ اللَّهُ عِلْمَ اْلعُلَمَاءِ وَسِيَاسَةِ اْلمُلُوْكِ وَحِكْمَة ِاْلحُكَمَاءِ

“Tidaklah pantas bagi faqir (orang yang sangat membutuhkan Allah) untuk memimpin dalam membimbing orang kecuali Allah Swt. memberinya ilmu para ulama, politik raja dan kebijaksanaan orang bijak.”

Syekh Abd al-Qadir al-Jailani (w. 561 H)

Pasti anda sering mendengar kata thariqah di dalam Islam. Ada yang menulisnya tarekat. Apa sebenarnya tarekat itu? Kenapa harus bertarekat? Bagaimana jika tidak bertarekat? Pertanyaan mendasar ini sering muncul di ma syarakat kita, apalagi di Indonesia perkembangan tarekat sangat pesat. Menurut beberapa sumber ada sekitar 163 aliran tarekat di dunia Islam. Namun dalam kitab Baitus Shiddiq karya Syekh Muhammad Taufiq Al-Bakri ada sekitar 124 aliran. Dari sekian banyaknya aliran tarekat tersebut oleh Jam’iyah Ahli At-Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah yang disingkat JATMAN dikelompokkan lagi menjadi dua bagian yaitu mu’tabarah dan ghairu mu’tabarah.

Pengelompokkan ini dilihat dari sigi sanad, jika sanadnya bersambung sampai dengan Rasulullah Saw, dan Rasul menerimanya dari malaikat Jibril dan Jibril menerimanya dari Allah Swt. maka dikatakan mu’tabarah, jika tidak memenuhi kriteria itu maka disebut ghairu mu’tabarah. Menurut penelusuran JATMAN dari sekian banyaknya aliran tarekat tersebut hanya ada 43 aliran yang mu’tabarah, sisanya ghairu mu’tabarah. Disini saya tidak mendiskusikan klaim-klaiman mana yang mu’tabarah dan mana yang ghairu mu’tabarah. Jumlah ini sifatnya adalah informasi.

Kemudian tarekat sendiri itu apa? Dalam kajian etimologi tarekat diartikan: jalan, cara, metode, sistem, madzhab, aliran, haluan, keadaan, bahkan ada yang mengartikan pohon kurma yang tinggi, tiang tempat berteduh, tongkat payung, yang mulia, terkemuka dari kaum, goresan pada sesuatu.Dari sekian banyak makna yang paling masyhur adalah tarekat diartikan jalan. Sehingga muncul makna istilah bahwa tarekat adalah laku tertentu bagi orang-orang yang menempuh jalan kepada Allah Swt.

Ada juga tarekat dimaknai suatu bimbingan pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh seorang mursyid (pembimbing) kepada muridnya. Pengertian inilah yang kemudian memunculkan dua pengertian dalam tarekat yaitu pertama tarekat berarti metode yang diberikan oleh guru Mursyid kepada murid untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Kedua tarekat adalah persaudaraan kaum sufi. Sehingga ada unsur dasar dalam tarekat yaitu guru (mursyid), murid dan metode.

Kenapa harus bertarekat dan bagaimana jika tidak bertarekat? Sepanjang pengetahuan penulis, bertarekat itu tidak wajib, artinya mau anda bertarekat atau tidak itu adalah sebuah pilihan. Dan memang tarekat juga bukan pilar Islam utama di dalam rukun Islam dan rukun Iman. Hanya saja ada unsur ketiga yang menjadi ruh agama yaitu ihsan yang pernah disampaikan nabi sendiri dalam sabdanya. Yang artinya kurang lebih “beribadahlah kamu seakan-akan melihat Allah Swt, jika tidak bisa beimajinasilah seakan-akan Allah Swt. melihatmu.” Ihsan inilah yang mendasari munculnya ajaran tasawuf dan kemudian muncullah tarekat. Jadi bisa dikatakan tarekat ini anaknya tasawuf. Artinya bertasawuf juga tidak harus bertarekat.

Baca juga:  Pertemuan Tasawuf dengan Filsafat

Dalam pandangan penulis ada sedikit argumen logis kenapa harus bertarekat? Penulis tidak menggunakan dalil Al-Qur’an dan Hadis disini, hanya bernalogi, kalaupun analogi penulis tidak disetujui tidak mengapa. Bertarekat itu ibarat kita bepergian ke suatu tempat namun kita tidak tahu alamatnya dan jalan yang ditempuh lewat mana saja, kemudian kita naik angkot, bus misalnya, yang terkenal dan dijoki oleh supir yang profesional.

Kita tinggal bilang sama supirnya: “Pak, antarkan saya ke alamat ini!” Sopirnya menjawab: ya, ikuti saya. Dengan kita naik angkot atau bus yang supirnya profesioanal itu, insya Allah kita akan sampai pada tujuan yang kita maksud. Namun, jika kita nekat berangkat sendirian ke tempat yang kita tahu jalan mana yang harus dilewati, ada kemungkinan kita tersesat atau sampai tetapi membutuhkan waktu lama. Yang dikhawatirkan jika kita tidak sampai malah tersesat jauh.

Berdasarkan analogi tersebut, bagi penulis mendingan bertarekat, karena kita akan sampai ke tujuan dan kemungkinan tersesat sangat kecil, karena mengikuti supir yang profesional. Dalam analogi ini, kita sebagai murid, sopir sebagai guru mursyid, bus sebagai tarekat (kendaraan), jalan yang dilewati (metode suluk), tempat tujuan adalah Allah Swt. Bayangkan jika kita berangkat sendirian, pasti perjalanan kita tidak lancar, karena kita masih mencari-cari jalan, belum lagi terjadi kemacetan. Mau bertanya tidak ada guide yang membimbingnya. Bisa dipastikan kita akan mengalami kebingungan di tengah jalan, ujung-ujungnya tersesat atau sampai tetapi terlambat.

Dalam ilustrasi tersebut, fungsi sopir sangat signifikan. Dalam melakukan perjalanan, sopir harus mempunyai SIM (surat ijin mengemudi) dan hafal jalan serta paham dengan rambu-rambu lalu lintas. Maka, dalam hal ini, kita tidak boleh mengikuti sopir sembarangan, harus benar-benar sopir yang sudah teruji dan keprofesionalannya diakui oleh banyak penumpang. Sopir yang baik akan membawa penumpanganya sampai pada tujuan.

Baca juga:  Enam Nasihat dalam Kitab Ayyuhal Walad

Tidak hanya sopirnya, bus nya pun harus sehat, mesinnya masih normal, semua orderdilnya murni bukan KW, sehingga tidak terjadi kerusakan selama perjalanan. Untuk mencapai tujuan, sopir akan membawa penumpang melewati jalan yang berliku dan ada pos-pos tertentu yang harus dilewati. Sopir disini akan membimbing para penumpangnya mulai dari pos tobat, mujahadah, tawakal, syukur, sabar, ridha dan kesungguhan sampai ke tempat tujuan yaitu puncak dari perjalanan dan pencarian yaitu Allah Azza wa Jalla.

Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa seorang mursyid harus punya SIM yaitu surat ijin menjadi pembimbing. Tentu pembimbing utama dalam hal ini adalah Rasulullah Saw. Ketika Rasul wafat, SIMnya diberikan kepada generasi sahabat, generasi sahabat wafat SIMnya diberikan kepada generasi tabi’in, begitu seterusnya sampai kepada para mursyid yang ada sekarang. Jadi, ketika kita mau ikut bus tarekat kita harus mengetahui sopirnya benar-benar punya SIM atau tidak, jika punya SIMnya asli atau tidak, SIM asli dibuktikan dengan silsilah (mata rantai) dari gurunya, gurunya dari gurunya, begiru seterusnya sampai kepada Rasulullah Saw. Tentu Rasul dari Malaikat Jibril dan Jibril pasti dari Allah Azza wa Jalla. Inilah yang menurut JATMAN disebut mu’tabarah tadi.

Sopir yang tidak mempunyai SIM dan tidak profesioanal dilarang menyupir. Karena ia pasti akan menyesatkan penumpang. Belum lagi pelanggaran lalu lintas yang dilanggar karena ia sendiri tidak paham. Artinya mursyid harus mendapat mandat dari mursyid sebelumnya yang sudah dipertimbangkan kematangannya. Mursyid harus paham aturan lalu lintas yaitu syariat agama. Dalam hal ini menurut Syekh Abd al-Qadir al-Jailani, seseorang dikatakan pastas dan layak menjadi mursyid jika mempunyai tiga kompetensi. Yaitu kompetensi ilmu ulama’, politik raja dan kebijaksanaan orang bijak.

Ilmu Ulama’ (ilmu al-ulama’)

Kompetensi pertama yang harus dimiliki oleh seorang mursyid adalah ilmu ulama’. Syekh Abd Qadir al-Jailani adalah diantara ulama yang berpendapat bahwa tarekat tidak bisa berdiri tanpa istiqamah menjalankan syariat Islam. Artinya jika anda bertarekat maka wajib menjalankan syariat Islam dengan ketat. Shalat lima waktu harus dikerjakan, lebih-lebih berjamaah, puasa ramadhan harus dijalankan dengan baik, zakat harus ditunaikan, ibadah haji jika mampu harus dilakukan. Serta tuntunan syariat lainnya seperti masalah halal dan haram. Untuk bisa menjalankan syariat dengan benar harus menggunakan ilmu ulama’. Diantara ilmu yang harus dikuasi adalah fiqih, lughah, hadis, ushul dan tasawuf serta ilmu lainnya. Maka jika anda ingin menjadi mursyid atau seorang pembimbing yang akan mendidik murid dan menuntun orang lain menuju Allah Saw. anda wajib alim dengan ilmu-ilmu syari’at tersebut. Sehingga mengerti hukum halal-haram dan perintah serta larangan.

Baca juga:  Peranan Tarekat di Dunia Politik: antara Tarekat Safawiyah di Iran dan Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Indonesia (1)

Senada dengan Al-Jailani, As-Sya’rani (w. 973 H) berpendapat bahwa paham terhadap ilmu-ilmu syariat adalah kunci bertarekat. Artinya tarekat tidak bisa berdiri di atas kebodohan syariat. Bahkan As-Sya’rani menambahkan seseorang bisa saja sampai ke sorga dengan banyaknya ibadah, namun ia tidak akan sampai kepada Allah jika tidak mengetahui adab-adab ibadah. Untuk mengetahui adab-adab dalam ibadah seseorang harus paham ilmu syari’at, karena disana diajarkan syarat rukun ibadah, sah-batalnya ibadah, dan tata cara ibadah yang baik dan benar.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka sebelum masuk tarekat yang perlu diperkuat dan dipersiapkan adalah belajar ilmu syari’at terlebih dahulu dengan baik dan benar. Keberadaan syariat dalam tarekat adalah wajib. Tarekat yang arahnya adalah hakekat tidak bisa dipisahkan dengan syariat itu sendiri. Menurut Al-Qusyairi (w. 465 H) setiap syariat yang kehadirannya tidak diikat dengan hakekat tidak dapat diterima, dan hakekat yang perwujudannya tidak dilandasi dengan syariat tidak akan berhasil. Keduanya bagaikan kedua sisi mata uang yang tidak pisah dipisahkan.

Politik Raja (siyasat al-muluk)

Raja yang dimaksud disini bukan pemimpin, presiden, ratu, sekali lagi bukan melainkan muluk yang dimaksud adalah ulama yang arif billah yaitu para wali Allah Swt. Mereka adalah orang-orang mulia disisih Allah, kemuliaannya diibaratkan raja. Mereka adalah orang yang padangannya adalah akhirat bukan dunia. Ulama’ yang mengkerdilkan dunia, pandangannya hanya tertuju kepada Allah yang haq, dan tidak tergantung kepada makhluk. Sedangkan politik disini maksnanya adalah siyasat. Yaitu siyasat dalam menghadapi nafsu. Seorang mursyid harus menguasai ilmu ini.

Kebijaksanaan orang bijak (hikmah al-hukama’)

Seorang mursyid harus menguasai kebijaksanaan ahli hikmah. Imam Nawawi Al-Bantani (w. 1414 H) menjelaskan bahwa hukama’ adalah orang-orang yang ucapan dan perbuatannya sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad Saw. Sedangkann hikmah adalah ilmu yang membahas hakikat sesuatu dengan kadar kemampuan manusia. Seorang mursyid harus mempunyai ketajaman hati dalam menghadapi apapun. Mengedepankan kearifan hati daripada akal. Pandangannya menggunakan pandangan hakikat. Ia tidak lagi bermain di wilayah dahir melainkan di wilayah batin. Ia tidak lagi melihat simbol melainkan mendalami makna.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top