Sedang Membaca
Kisah dari Pasar Kliwon
Avatar
Penulis Kolom

Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta. Aktif di Komunitas Serambi Kata Surakarta.

Kisah dari Pasar Kliwon

Pasar Kliwon 1024x683

Banyak yang bilang bahwa Kota Surakarta atau Solo adalah miniatur Indonesia. Konon, jika Kota Solo dalam keadaan baik-baik saja, niscaya negara kita, Indonesia akan aman sentosa. Sekilas anggapan tersebut tampak berlebihan dan mengada-ada. Namun, sejarah mencatat bahwa Kota Solo merupakan tempat munculnya berbagai macam peristiwa konflik, baik konflik politik antara Keraton dan Kolonialisme Belanda, konflik sentimen keagamaan, etnik, maupun aksi terorisme.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila banyak orang menilai bahwa Kota Solo adalah kota sumbu pendek, radikal, dan intoleran. Meski banyak yang beranggapan seperti itu, namun, Muhammad Wildan, peneliti radikalisme Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta tidak sepakat dengan hal itu. Menurutnya, Kota Solo sulit dikatakan sebagai kota radikal meski banyak organisasi muslim radikal dan laskar yang tumbuh subur di sana (Tempo.co).

Wildan menyebutkan bahwa kelompok radikal di Solo sejatinya adalah kelompok minoritas. Hanya saja mereka bersuara dan menyampaikan pendapatnya dengan keras ketimbang kelompok-kelompok yang lain. Buktinya, sampai saat ini, isu Perda Syariah yang digaungkan oleh kelompok radikal itu tak pernah mendapat sambutan di Solo. Bahkan, menurut survei yang dilakukan oleh Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) 2021, Kota Solo dinobatkan sebagai kota paling layak huni atau kota paling nyaman di Indonesia. Hal ini menunjukkan sekaligus menepis anggapan bahwa Kota Solo bukanlah kota radikal maupun intoleran.

Apa yang disampaikan Wildan dan hasil survei IAP memang benar adanya, sebagaimana yang saya rasakan selama empat tahun lebih tinggal di Solo. Selama ini, saya tidak pernah menjumpai praktik-praktik radikal dan intoleran di sini. Bahkan, saya cenderung meyakini bahwa Kota Solo merupakan kota yang sangat toleran dan nyaman. Bagaimana pun, Solo bisa disebut juga sebagai kota multietnis dan plural. Sebab, berbagai macam etnis dengan latar belakang budaya dan agama yang berbeda-beda terdapat di kota ini. Sebut saja etnis Jawa atau pribumi yang menghuni sepanjang wilayah Kota Solo, etnis Tionghoa yang menghuni kawasan Pecinan di Sudiroprajan, dan etnis Arab yang menempati Kampung Arab, di Pasar Kliwon.

Baca juga:  Potret Perjuangan Ulama (5): Demi Ilmu, Ikhlas Jomblo

Meski plural dan multietnis seperti itu, kehidupan sosial di Kota Solo relatif adem ayem, tenang, nyaman, dan jarang sekali terjadi gesekan atau konflik yang tidak diinginkan. Masyarakat Solo bisa hidup berdampingan dengan nyaman walau berbeda etnis dan agama.

Senada dengan hal itu, Hanifah, warga Pasar Kliwon keturunan Arab mengatakan bahwa kehidupan di Solo, khususnya di kawasan Kampung Arab, Pasar Kliwon baik-baik saja, aman, nyaman, dan sangat toleran. “Kehidupan di Solo itu sangat toleran. Tidak membeda-bedakan antara warga satu sama yang lain. Misalnya, saya yang notabene orang keturunan Arab rukun dengan orang Jawa. Jadi, tidak ada sekat yang memisahkan kita,” ungkap Hanifah.

Pasar Kliwon sendiri adalah perkampungan yang dihuni oleh mayoritas masyarakat keturunan Arab. Maka dari itu, Pasar Kliwon lebih dikenal dengan sebutan Kampung Arab. Sejatinya, perkampungan Arab di Solo tak hanya terdapat di Kelurahan Pasar Kliwon. Namun, terdapat pula di Kelurahan Semanggi dan Kelurahan Kedung Lumbu. Di antara ketiga itu, Pasar Kliwon lebih misuwur sebab terletak di pinggir jalan raya menuju pusat keramaian kota.

Ryani dalam artikel Tradisi Marawis di Pasar Kliwon; Studi Kasus Tentang Budaya Arab di Surakarta (2018) menjelaskan, Pasar Kliwon dulunya merupakan pusat perdagangan hewan yang ramai dikunjungi oleh penduduk setempat pada hari pasaran Kliwon. Saat ini, kita bisa melihat Pasar Kliwon sebagai kawasan yang dihuni oleh sebagian besar orang keturunan Arab. Di sepanjang jalan Kapten Mulyadi Pasar Kliwon kita bisa menjumpai puluhan toko yang menjajakan kurma dan oleh-oleh haji. Tidak hanya itu, kita juga bisa menjumpai toko yang menjual aneka macam peralatan ibadah dan sejenisnya.

“Kini, Pasar Kliwon tidak hanya dihuni oleh orang Arab dan muslim saja. Tetangga saya di depan rumah, misalnya, ia bukan orang Arab, juga non muslim. Meski begitu, kita tidak pernah mempermasalahkannya. Kami hidup rukun, harmonis dalam keragaman,” tutur perempuan bermarga assegaf itu.

Baca juga:  Imajinasi Kiai Asyhari Marzuki tentang Perpustakaan

Dalam bermasyarakat, Hanifah menuturkan apabila kehidupan di lingkungannya sangat membaur, tidak ada perbedaan dan batasan antara orang arab dan orang jawa. “Di RT saya, pergaulan sudah benar-benar membaur. Tidak ada perbedaan ‘ini orang arab, ini non arab’. Saking membaurnya seperti tidak ada perbedaan sama sekali. Jadi, kami benar-benar saling memahami satu sama lain. Bahkan, saat hari Minggu, misalnya, tetangga saya mengadakan ritual keagamaan dengan lagu-lagu mereka. Sama sekali tidak ada yang komplain atau mempermasalahkannya,” imbuh Hanifah.

Hanifah juga bercerita suasana saat lebaran di kampung halamannya. Saat lebaran tiba, ia mengaku berkunjung dan silaturahmi dari rumah ke rumah, baik rumah orang Arab maupun non Arab, bahkan orang non muslim sekalipun, “Saat lebaran tiba, kita juga sonjo (berkunjung) ke tetangga-tetangga. Kita saling bermaaf-maafan, barangkali selama hidup bertetangga ada kesalahan dalam perbuatan atau ucapan. Tidak hanya meminta maaf kepada orang Islam, tapi ke semua tetangga, dari ujung hingga ujung, tak ada satupun yang terlewat,” ungkapnya.

Bagi Hanifah, meski ia adalah orang keturunan Arab, namun kehidupan keluarganya tidak ada bedanya dengan kehidupan orang Jawa. Bahkan, kata Hanifah, bahasa sehari-hari yang digunakan di rumahnya adalah bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Ia tidak pernah menggunakan bahasa Arab. “Dulu, saat kali pertama masuk kampus. Banyak yang mengira kalau saya jago bahasa Arab. Padahal, sama sekali tidak bisa bahasa Arab. Bahkan, di kelas saya bisa dikata paling tidak bisa bahasa Arab, sebab aku bukan lulusan pondok pesantren. Paling-paling dulu sewaktu sekolah hanya mendapat pelajaran bahasa Arab sedikit, itupun hanya percakapan saja. Jadi, sama sekali saya tidak bisa bahasa Arab,” ungkap mahasiswi sastra Arab tersebut.

Selain terkait bahasa, pakaian yang dikenakan di keluarganya pun tak ada bedanya dengan kebanyakan orang Solo pada umumnya. Bahkan, ia mengaku jarang sekali memakai abaya ataupun gamis, “Banyak orang menganggap kalau orang Arab itu pakainnya pasti abaya atau gamis. Padahal, kalau boleh jujur, jarang sekali kita pakai abaya atau gamis. Paling-paling saat maulidan atau acara keagamaan saja memakai abaya. Selebihnya kita tidak memakainya. Bahkan, ayah saya ketika pergi kemana-mana, malah sering dan nyaman memakai batik,” jelasnya.

Baca juga:  Kisah Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus: Tenggara dan Tanda Silang

Hanifah bahkan mengaku kalau dirinya tidak suka dipanggil “encik”, baginya panggilan “encik” seolah-olah membuatnya berbeda dengan masyarakat Solo pada umumnya, “Jujur saya nggak suka dipanggil ‘encik’, kayak berbeda gitu kalau dipanggil encik. Saya lebih suka dipanggil nama saja. Dengan begitu, kita semua sama aja, setara, tak berbeda-beda,” pungkas Hanifah.

Sementara, Fany, santri Madrasah Diniyah Riyadhul Ilmi, Pasar Kliwon asuhan Habib Muhammad bin Husein Al-Habsyi melihat, hubungan sosial antara orang Jawa dan Arab di Pasar Kliwon baik-baik saja, bahkan sangat harmonis. Mereka kerap bertemu dan berinteraksi satu sama lain. Sebagai contoh misalnya banyak tukang becak yang notabene orang Jawa menjadi langganan antar jemput orang Arab, mereka sangat dekat dan akrab. “Saya pernah ngobrol sama salah satu di antara merek. Dari kisah tukang becak tersebut, dia hampir hafal sama keluarga besar orang Arab yang menjadi langganannya. Jadi, kelihatan banget kalau hubungan mereka sangat akrab,” ungkap Fany.

Fany juga menambakkan bahwa wilayah Pasar Kliwon sendiri sudah bercampur baur antara masyarakat Arab dan Jawa. Walaupun, dulunya, pada zaman Keraton Kasunanan Surakarta, masyarakat Arab diberi wilayah untuk tinggal di daerah Pasar kliwon seperti Semanggi dan Kedung Lumbu. Tapi, saat ini, semua sudah membaur dan saling hidup berdampingan. Alhasil, sudah tidak ada penkotak-kotakan daerah tempat tinggal. Semua hidup berdampingan dengan penuh keharmonisan.

*Artikel ini adalah hasil kerja sama Alif.ID dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
3
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top