Ihya Ulumuddin adalah karya masterpiece sufi ternama bertitel Goust (titel tertinggi dalam wilayah kewalian), Abu Hamid al-Ghazali.
Kitab tersebut tersebar ke mana-mana. Membumi di dunia bagian Asia dan Barat. Menyentuh rasa semua manusia, bersemai di hati, dan bahkan mendarah daging sehingga lahirlah sufi besar bermanhajkan zuhud atau jalal di mana-mana.
Kredibilitas kitab ini diakui ulama dari berbagai kalangan. Baik Faqih, Muhaddist, Mutakallimin, dan lainnya.
Syekhul Islam Abdur Rahim al-Iraqi misalnya, dengan bahasa yang sastrawi, ulama muhaddist ini berucap tentang kitab ini, “Di antara kitab terbesar untuk mengenal halal dan haram adalah Ihya Ulumuddin, di dalamnya terkumpul hukum-hukum zahir, pula condong pada saroir (rahasia-rahasia) yang memiliki pemahaman halus dan teliti, tidak terbatas hanya pada hukum furu’ (cabang) dan masail (problem), tidak berlayar di tengah hutan sehingga kesusahan hendak kembali ke pantai, tetapi mengumpulkan dua ilmu zahir dan batin, makna-maknanya tumbuh di tanah tersubur, kata-kata dan barisannya bersusun indah, bertipikal moderat, mengikuti titahnya Ali Karromahulloh wajhahu; sebaik-baik umat ini adalah yang bertipikal moderat dan mereka diikuti oleh generasi berikutnya, mereka memiliki nilai yang sangat mahal”. Dan bahkan Imam Nawawi berkata bahwa kitab ini hampir-hampir jadi Alquran.
Tentu di samping itu, kitab ini juga banyak menuai kritikan pedas dan penolakan. Para filsuf misalnya, mereka mengatakan bahwa salah satu sebab kemunduran umat Islam adalah fatwa Imam al-Ghazali yang menutup pintu ijtihad dan apologi lainya yang termaktub dalam kitab ini.
Atau seperti ungkapan Imam Ibnul Jauzy bahwa kitab ini memiliki banyak wabah yang hanya diketahui oleh ulama, paling kecilnya adalah hadis-hadis palsu dan mauquf yang dianggap marfu’.
Nan jauh di negeri sana, di negeri bumi seribu wali, Maroko. Seorang ulama besar ternama, lagi memiliki pengaruh dan dekat dengan penguasa setempat di kala itu. Pernah berkehendak membakar kitab ini. Ibnu Hirzhim nama populernya.
Ibnu Hirzhim ini bernama lengkap Abu Hasan Ali bin Ismail bin Muhammad bin Abdullah bin Hirzhim bin Ziyan bin Yusuf bin Samron bin Hafsh bin Hasan bin Muhammad bin Abdillah bin Umar bin Ustman bin Affan. Nasab beliau bertemu dengan Sahabat mulai, khalifah ke tiga, Ustman bin Affan.
Kelahiran beliau tidak diketahui secara pasti. Beliau seorang Malamatiyah, paham sufi yang mengajarkan untuk tidak melihat diri sendiri, menahan diri hingga pada titik terendah sekalipun, hidup seperti halnya manusia kebanyakan, dan cenderung menyembunyikan identitas diri.
Sependek pengetahuan penulis, meski tidak memiliki komunitas dan suluk seperti ajaran sufisme lainnya, tapi ajaran Malamatiyah ini sudah berkembang sejak zaman Nabi. Dan menurut informasi yang didapat, Gus Dur adalah salah seorang Malamatiyah.
Termaktub di dalam kitab Sulwatul Anfas Wa Muhadastatul Akyas Biman Aqbaro Minal Ulamai Wash Shulahai bi Fes yang berhasil dihimpun oleh Syekh Muhammad bin Jakfar bin Idrisi al-Kattany bahwa Ibnu Hirzhim beriktikaf mempelajari kitab Ihya Ulumuddin ini selama setahun. Lalu menemukan banyak kejanggalan-kejanggalan, aib, dan kekurangan di dalamnya.
Probabilitas dengan mempertimbangkan kemashlahatan dan demi menjaga kesucian agama dan umat dari ketergelinciran dan dari paham-paham salah, terlebih-lebih menghilangkan hal-hal yang bersifat khurafat (khayalan), spontan beliau hendak menghanguskan kitab akhlak yang besar itu.
Namun siapa menyangka, terjadi satu peristiwa berharga sebelum hari pembakaran. Beliau bermimpi bertemu dengan seorang laki-laki dan berkata: lepaskanlah bajunya lalu cambuklah ia sebagai hukuman telah memfitnah!”
“Kemudian saya dipukul 80 puluh kali, sehingga punggungku pun terbalik ketika saya bangun, dan bekasnya masih sangat terasa,” kata beliau.
“Setelah peristiwa ini, aku bertaubat dan mengurungkan niatku dan mengakui bahwa kitab Ihya Ulumuddin ini tidak bertentangan dengan Alquran dan sunah.”
Beliau wafat pada tahun 559 Hijriah setelah melaksanakan salat dua rakaat dan merebahkan diri di tempat biasa beliau merebah.