Denys Lombard menulis sekali lagi dengan agak sedih, bahwa makam-makam telah dipugar. Kini tertutup oleh tegel putih. Pada batu nisan, biasanya diselubungi kain putih, tidak terlihat tulisan atau motif hiasan yang berarti. Dari sudut informasti, nol.
Namun, kemiripan dengan tembok Masjid Panjuman di Cirebon sangat mencolok dan patut dipertimbangkan (Denys Lombard, 2010). Nama Sunggingan berasal dari sungging. Yaitu, tukang kayu. Sedangkan nama Panjuman berasal dari jun, yang dalam Bahasa Jawa berarti sejenis guci besar.
Dengan demikian ada dua kampung pertukangan, yang pertama Kudus untuk tukang kayu dan yang kedua di Cirebon untuk tukang gerabah, dan di mana pada pertengahan abad ke-16 didirikan dua bangunan religius, masjid, dengan gaya arsitektur yang serupa.
Unsur lain yang harus diperhatikan, yang juga terkait dengan Tiongkok, yaitu unci dari kayu di pintu serambi Telingsung yang sangat khas dan jelas memperlihatkan pengaruh utara, atau Tiongkok.
Denys Lombard sekali lagi berkata dengan getir: “kalau sampai di sini saja, Kiai Telingsing tetap kabur sosoknya.” Dan kami boleh dikecam karena membesar-besarkan beberapa petunjuk sepele.” Tapi begitulah kehebatan
Lalu Denys Lombard menceritakan pertemuannya dengan juru kunci dan menulis beberapa bait tentang Kisah Kiai Telingsing bersumber dari tradisi lisan yang diketik ulang oleh Haji Zamawi Maufid :
Tetapi sang juru kunci, yang tergugah melihat seorang asing menaruh minat pada sang walinya, tiba-tiba mencarikan satu naskah berupa dua halaman ketikan yang tertanggal Rabiul Akhir 1406, 20 Desember 1985, dan ditandatangani oleh Haji Zamawi Mufid, pengurus Yayasan Pendidikan Islam Kiai Telingsing. Di atas kertas bermutu bagus dan berkop surat yayasan itu, yang didirikan di depan notaris pada tanggal 5 Februari 1974 dan beralamat di Sunggingan 156, Kudus dikisahkan riwayat hidup Mbak Kiai Telingsing. Berikut adalah beberapa kutipan dari naskah itu:
Jauh sebelum Kerajaan Islam Demak didirikan, suatu peristiwa menggemparkan daerah Kudus. ..Pada suatu hari, Ketika Kanjeng Sunan Sungging sedan main layang-layang, dia tiba-tiba ingin menjelajah Nusantara. Maka dia memanjat layang-layangnya. …
Ketika The Ling Sing sudah dewasa ayahnya berkata kepadanya, jika kamu ingin menjadi orang di dunia ini dan di akhirat, kamu harus ikut jejak saya. Apa yang Ayah maksud? Kau harus pergi ke Negeri Nusantara, karena saya pernah hidup di sana.
Maka berangkatlah The Ling Sing dan sampailah ke tempat tersebut. Lalu dia mulai berdakwah, tetapi itu bukan hal yang mudah karena Agama Hindu masih bercokol di seluruh negeri. Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1400 Saka, yaitu tahun 1978 Masehi, dan rajanya yang terakhir adalah Raja Brawijaya Kelima. Kemudian anaknya, Raden Patah, mengambil alih kekuasaan dan mendirikan Kerajaan Demak, yaitu Kerajaan Islam yang pertama dan pusat penyebaran Agama Islam.
Pada suatu hari semua wali bermusyawarah yaitu Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Demak, dan lain-lainnya… dan mengambil keputusan untuk mengangkat Jafar Shodiq sebagai Sunan Kudus. Maka Sunan Kudus mulai berdakwah di daerah Kudus dan segera bertemu kakaknya, yaitu Ki Ageng The Ling Sing atau Mbah Kiai The Ling Sing yang telah berdakwah lebih dahulu di daerah itu. Dengan memakai berbagai taktik dan strategi yang berani mereka bersama-sama berhasil mengislamkan seluruh daerah tersebut. Berita tentang sukses dakwah mereka terdengah oleh wali-wali lainnya yang segera datang ke Kudus. Maka Sunan Bonang memutuskan agar Sunan Kudus menjadi wakil resmi Demak di daerah itu.
Pada suatu hari, ketika Sunan Kudus menjamu beberapa tamu dari Tiongkok, dia meminta The Ling Sing agar membuatkan mereka sebuah hadiah yang sesuai. The Ling Sing membuat sebuah kendi, yang hiasannya terletak di bagian dalam. Ketika Sunan Kudus melihat kendi itu yang tampak biasa saja, dia marah, dan melemparkannya ke tanah. Kendi itu terbelah dan barulah kelihatan kaligrafi yang ada di dalamnya termasuk kalimat syahadat. Sunan Kudus mafhum. Walaupun pengetahuannya tentang agama dan tasawuf lebih tinggi, sudah jelas bahwa Kiai The Ling Sing adalah gurunya dalam hal kewalian.
Lalu Denys Lombard memberikan komentar dengan nada-nada yang agak positif. Teks di atas sangat menarik karena bukan saja mengkisahkan bahwa Kiai Telingsing adalah orang Tionghoa atau keturunan Tionghoa tapi juga bahwa ia adalah pendakwah agama Islam yang pertama.
Ia digambarkan sebagai anak Sunan Sunggi, yang belum jelas siapakah beliau, dengan wanita Tionghoa. Ia lahir di negeri Tiongkok dan disuruh oleh ayahnya datang ke daerah Kudus untuk menyebarkan Agama Islam sebelum para wali pertma mulai berdakwah dan sebelum Kesultanan Demak didirikan.
Sementara Sunan Kudus dipandang sebagai seorang tokoh mistis utama dalam sejarah penyebaran Islam idi Jawa, tidak syak lagi merupakan tokoh Kota Kudus yang paling masyhur, dalam cerita di atas, ia memandang Kiyay Telingsing sebagai kakak dan gurunya.
Dari sudut pandang agama, makam ini tidak berbeda dengan makam-makam keramat lainnya, dan kelihatan bukan menjadi tujuan ziarah besar seperti Makam Sunan Kudus dan Sunan Muria.
Menurut cerita juru kunci pada Denys Lombard, ada peziarah-peziarah dari Surabaya, Bandung, dan bahkan Sumatra tapi belum ditetapkan haul dari Kiai Telingsing.
Denys Lombard, sekali lagi, berkomentar bahwa namun situs Makam Kiai Telingsing sangat menarik pada Informasi tidak langsung yang disampaikan tentang peran serta orang Tionghoa dalam proses islamisasi pesisir utara Jawa, satu masalah yang takkan ada habis-habisnuya bahkan menimbulkan kontroversi.
Kisah menarik mengenai Kiai Telingsing adalah contoh mempesona tentang kelanggengan ingatan kolektif satu kelompok masyarakat.
Tahunnya mohon dikoreksi Mas Penulis.