Di hadapan peserta Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional kedua bertempat di Universitas Gadjah Mada tanggal 22 Oktober 1962, Bung Karno menyampaikan pidato berjudul Abdikan Ilmu Pengetahuan dan Persembahkan Hidupmu Kepada Tanah Air dan Bangsa.
Salah satu hal tersampaikan berupa harapan terhadap para sarjana atau dalam hal ini intelektul dan cendekiawan untuk senantiasa memegang teguh amanah keberpihakan terhadap penderitaan rakyat sebagai tanggung jawab mereka. Misalkan terucap olehnya dalam kalimat:
Didalam hal ini saja minta tolong kepada kaum sardjana, tolonglah, tolonglah, tolonglah dengan sumbangan-sumbangan jang konkrit dan riil. Djangan hendaknja kongres ini menjadi satu kongres, sebagai saja tadi katakan exhibition of knowledge, satu pameran ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah tiada banjak gunanja djikalau sekedar ilmu pengetahuan ins Blaue hinein, tetapi hendaknja satu ilmu pengetahuan jang diabdikan.
Kalimat-kalimat itu dalam banyak pidato kerap diungkapkan oleh Bung Karno. Penegasan yang mengesahkan bagaimana jalan panjang urusan ilmu pengetahuan terhadap realitas sosial begitu pelik dan kompleks. Juga relevan dengan tugas itu amat berat mengingat bagaimana persinggungan muncul dalam permukaan penuh anomali. Istilah yang digambarkan oleh Thomas Samuel Kuhn menyebutnya dengan perubahan paradigma.
Di beberapa hari terakhir, ruang publik dihadapkan pada efek domino terjadi dalam peleburan banyak lembaga riset yang telah memberikan sejarah dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Polemik demi polemik muncul menghamparkan sederet perdebatan. Dari sana, kekhawatiran demi kekhawatiran muncul. Banyak kalangan meresahkan dan takut bahwa situasi tersebut adalah masa kemunduran dunia ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di Indonesia.
Memang, iptek di Indonesia bukanlah satu hal menjadi arus utama dalam konsensus nasional. Realitas politik agaknya masih memperlihatkan itu. Ada sebuah hal belum terbereskan bagaimana kompromi terjadi dalam memetakan visi bangsa ke depan antara sistem politik dan iptek. Walhasil, terjadi adalah tumpang-tindih dalam menentukan kebijakan dan kurang jelas arahnya bagaimana. Visi besar kemudian terkaburkan oleh sikap gegabah.
Iptek dan Politik
Sesungguhnya iptek tak dapat berdiri sendiri. Ia harus terus berkait-kelindan dengan banyak aspek di luarnya, tak terkecuali sistem politik. Hanya saja kita mesti paham, bahwa iptek menyaratkan bahwa hadirnya memegang erat akan sifat otonom. Dengan cara itu, hasil penelitian dan penjelajahan dari para ilmuwan tidak serta merta bisa diterima oleh konstitusi. Ilmuwan dan teknolog tak bertugas di situ.
Kalau kemudian sebuah penelitian dapat terperhatikan oleh kalangan publik, maka sistem politik harus menaruh bagaimana di lain memberikan hak untuk otonom, mereka perlu memegang teguh dalam kepercayaan terhadap pakar. Dengan demikian, ia tak boleh ikut campur pada tugas-tugas yang kiranya bukan bagian dia. Peran tugas dan fungsi baik itu sistem politik, komunitas ilmiah, dan kebijakan riset itu lah menjadi bagian penting dalam merincikan peran tiap-tiap ruang.
Sementara itu, tali-temali bagaimana relasi terhadap masyarakat tentu sebagaimana ungkapan Bung Karno terkutip di atas. Setidaknya publik mengetahui sebagai dari tanggung jawab publik dalam sistem demokrasi. Karlina Supelli (2001) misalkan memberikan analogi, kesadaran masyarakat diperlukan untuk mengerti bahwa ilmuwan bukan orang suci tetapi juga bukan durjana. Mereka manusia biasa yang menyandang kelebihan dan kelemahan manusia.
Krisis
Kita sedang mengalami situasi krisis. Mengacu pada konsep paradigma Thomas Samuel Kuhn sebagai satu proses menuju hadirnya revolusi dan munculnya paradigma baru sebagai konsensus dalam sistem kehidupan. Paradigma itu sendiri sebagai sebuah cara pandang terhadap dunia (worldview) yang terdiri dari eksemplar teori. Dengan demikian, tiap apa saja mesti perlu dibangun kerangka paradigma sebagai titik pijak dalam melakukan analisis, membangun budaya, hingga pengedepanan harkat bersama. Tak terkecuali tentu saja adalah paradigma tentang iptek.
Pemahaman termunculkan sebagai bentuk komitmen bersama dalam mengedepankan sikap ilmiah dan kebernalaran sebagai budaya bangsa. Hingga bagaimana pembentukan aspek profesionalisme lewat pendidikan iptek itu sendiri. Sartono Kartodirjo (1999:199) menambahkan di lain itu perlu penanaman sikap teliti, tekun, tabah, dan tuntas. Ia pun menyaratkan budaya iptek harus mengedepankan kepakaran (expertise) yang mencakup autentisitas, otonomi, otoritas, dan integritas terhadap kalangan ilmiah.
Dengan penuh kerendahan hati, kita perlu menyadari saat anomali hadir dalam ketidakselesaian bagaimana sistem politik menjalankan tugas dan mengerti hakikat keberadaannya akan pengembangan iptek, masalah panjang sangat berpeluang muncul. Mulai dari hilangnya semangat ilmuwan, tersendatnya manajemen dalam dunia riset, hingga pemaksaan kehendak dalam relasi kuasa yang hadir. Ilmu pengetahuan yang mestinya netral, akan syarat kepentingan dengan dalih kepentingan penguasa.
Situasi tersebut tergambarkan oleh Jacques Ellul dalam esainya, Masyarakat Teknologi (1964) sebagai dampak akan desentralisasi. Dimana demi tindakan menyeluruh yang sulit dicapai, negara berpeluang dengan mudahnya melaksanakan sesuatu dengan tindakan dari pembuatan peraturan bersifat otoriter. Ini tentu bermasalah. Kita diuji dalam fase kesadaran revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi. Di satu sisi memang sebuah keharusan dalam perhatian iptek, di sisi lain kita masih mendapati sebuah anomali dan krisis dalam berbagai hal.[]