Sedang Membaca
Buya dan Sulitnya Membumikan Pancasila: Keadilan Sosial
Alim
Penulis Kolom

Direktur Institute of Disaster and Emergency Medicine (I-DEM). Meminati dunia seni dan buku. Tinggal di Jogjakarta

Buya dan Sulitnya Membumikan Pancasila: Keadilan Sosial

Masih mangayubagyo milad 84 Buya Syafii Maarif, sekaligus memperingati lahirnya Pancasila, mari kita renungkan kembali bagaimana agar dasar negara ini bisa membumi dan sunyata.

Dalam konsepsi Kuntowijoyo, Pancasila adalah obyektifikasi Islam. Secara mudahnya, obyektifikasi yang dimaksud adalah semacam interpretasi dan aktualisasi yang bisa diterima secara obyektif oleh pihak lain karena dirasakan baik secara natural. Jadi Pancasila itu nilai Islami yang juga dinyatakan baik dan diterima oleh semua umat beragama. … (Dan kini-pen) semua agama perlu melihat Pancasila sebagai suatu obyektifikasi ajaran agama, sebagai rujukan bersama. (Kuntowijoyo, 1984).

Atas dasar itu, kita semua umat beragama Indonesia baik masyarakat maupun pemegang roda pemerintahan harus selalu ingat bahwa Pancasila merupakan rujukan dalam berbangsa dan bernegara.

Tentu tantangannya besar. “Terutama sejak Orde Baru tumbang, Pancasila ini semakin tidak terperhatikan lagi,” kata Buya Syafii Maarif di sela kegiatan Festival Pancasila yang digelar di Universitas Negeri Yogyakarta pada Rabu, 6 Juni 2018.

Nilai-nilai Pancasila sebenarnya telah terimplikasi melalui setiap undang-undang yang diciptakan pemerintah Indonesia. Hanya saja, menurut Buya, gaung Pancasila itu kemudian surut ketika sila kelima tentang keadilan sosial yang notabene satu paket dengan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945, belum begitu terlihat hasilnya setelah 72 tahun merdeka.

Baca juga:  Silang Pendapat Bentuk Negara di Era Bung Karno

“Belum terlihatnya penerapan sistem perekonomian yang berkeadilan sosial itu,” kata Buya.

Misalnya, Indonesia mengidealkan penerapan sistem perekonomian Pancasila demi mencapai sebuah kondisi perekonomian yang berkeadilan sosial. Namun persoalannya, Indonesia sudah “terlanjur” menganut sistem perekonomian liberal sejak era Orde Baru.

Saat Indonesia menganut sistem ekonomi liberal ini, kata Buya, sekelompok orang dengan modal besar pun bebas menguasai berbagai aset sumber daya startegis yang mendorong makin tingginya jurang ketimpangan.

“Tugas pemerintah baik pusat dan daerah menjaga bagaimana agar distribusi perekonomian untuk mencapai keadilan itu terwujud,” ujar Buya.

Menurut saya pribadi, dengan ,”yatim piatunya” sila ke-5 (mengambil istilah Buya), akibatnya ada sebagian masyarakat yang kemudian mencoba jalan pintas dengan ide mengganti dasar dan sistem negara. Kita ambil contoh, setelah komunisme secara faktual kalah baik di dunia maupun di Indonesia, arah kita menjadi lebih condong kepada kapitalisme.

Sementara di sisi lain, ada juga pihak yang mengkampanyekan khilafah atau daulah untuk mengganti demokrasi Pancasila.

Dalam implementasinya pincang dalam hal keadilan, masih ditantang ideologi-ideologi lain. Begitu beratnya membumikan pancasila, meski arah pemerataan kesejahteraan mulai kethip-kethip tampak.

Sengaja saya batasi pembahasan sampai di sini, sebab kalau dilanjutkan sampai pada kebijakan penyelenggaraan negara, selain akan panjang, pasti akan memancing keributan karena masih suasana panas pilpres. (Diolah dari berbagai sumber)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top