Sosok ibu selalu menjadi inspirasi bagi anak-anaknya. Darinya, pendidikan pertama manusia dimulai. Tak jarang sosok ibu pun disebut sebagai “al-madrasatul ula” bagi peradaban manusia, dan dari rahim yang baik maka akan tumbuh benih-benih manusia unggul.
Hal ini terbukti pada sosok Nyai Hj. Solichah Wahid Hasyim yang telah melahirkan putra-putri bangsa. Mereka berkiprah di masyarakat bukan hanya berpengaruh lokal, melainkan nasional bahkan internasional.
Nyai Solichah Wahid merupakan putri dari KH Bisri Sansuri yang juga merupakan istri dari KH Abdul Wahid Hasyim (putra Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari). Ia menikah pada usianya yang relatif masih muda untuk ukuran saat ini, yakni 16 tahun. Tetapi pada saat itu usia tersebut sudah dianggap cukup matang untuk melangsungkan pernikahan.
Dari pernikahannya ia melahirkan empat putra dan dua putri. Rumah tangga beliau dengan KH Abdul Wahid Hasyim hanya empat belas tahun, lantaran sang suami wafat pada usia muda. Namun hal inilah yang menjadikan Nyai Solichah terlahir menjadi perempuan yang berpengaruh bukan hanya karena menjadi istri KH Abdul Wahid Hasyim, akan tetapi karena sepak terjangnya dalam organisasi dan membesarkan semua putra-putrinya.
Ketika Kiai Wahid wafat, ia masih berusia 30 tahun. Hampir semua keluarga besar menyuruhnya kembali ke Jombang setelah suaminya meninggal dunia. Namun dengan keteguhan dan keberaniannya, ia memutuskan untuk tetap tinggal di Jakarta. Dengan harapan ia mampu memberikan pendidikan formal setinggi-tingginya kepada semua putra-putrinya.
Sebagai sosok perempuan single parent, beliau memiliki perpaduan sempurna antara kekuatan seorang laki-laki dan kelembutan seorang perempuan. Ketegaran, ketabahan, semangat dan keberanian beliau menghadapi tantangan kehidupan selalu menjadi inspirasi putra-putrinya.
Dalam waktu cepat beliau mampu menyerap nilai-nilai yang ditransformasikan oleh suaminya, yang sebagian besar tentu berasal dari ajaran Islam dengan tambahan nilai-nilai barat yang positif.
Nilai-nilai pendidikan yang ia ajarkan di antaranya adalah pertama nilai kejujuran. Baik jujur terhadap diri sendiri, jujur terhadap orang lain atau masyarakat, atau jujur terhadap Allah SWT. Kedua, nilai keberanian, yaitu keberanian untuk menyampaikan pendapat dan keberanian untuk mengatakan kebenaran walaupun harus menghadapi risiko, juga keberanian dalam memikul tanggung jawab.
Nilai lain yang ditanamkan adalah nilai egaliter, yakni kesadaran tentang kesamaan dan kesetaraan di antara sesama manusia. Ia mengajarkan putra-putrinya untuk bergaul dengan siapa saja tanpa memandang status sosial, suku, dan agamanya.
Perannya sebagai kepala keluarga membuat putra-putrinya sadar bahwa laki-laki dan perempuan memang mempunyai perbedaan secara kodrati, tetapi agama Islam tidak membatasi perempuan untuk bisa mencapai prestasi sama dengan laki-laki. Keduanya harus diberikan prestasi dan penghargaan yang sama.
Selain menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya, ia mampu menjadi sosok perempuan karier yang sukses dalam pekerjaannya. Terbukti dari perannya menjadi anggota DPRD DKI pada pemilu 1955. Pada 1960 ia diangkat menjadi anggota DPR GD, dan menjadi anggota DPR RI pada tahun 1971 mewakili partai Nahdlatul Ulama. Pada 1982 terpilih lagi melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hingga1987.
Fokus kegiatan dan minat Nyai Solichah adalah Muslimat NU. Ia memulai keaktifannya dari tingkat paling bawah, membentuk ranting, lalu naik ke tingkat cabang, tingkat wilayah, dan akhirnya sampai pada tingkat pucuk kepimpinanan. Dalam kegiatan di lingkungan Muslimat, Ia merintis berdirinya Yayasan Kesejahteraan Muslimat (YKM) yang mengelola segala jenis fasilitas umum seperti Rumah Sakit, klinik, panti asuhan, rumah bersalin, dan fasilitas sosial lainnya.
Kegiatan sosialnya tidak hanya di lingkungan Muslimat NU saja, ia juga aktif di berbagai organisasi sosial seperti YDB (Yayasan Dana Bantuan), Yayasan Bunga Kamboja, IKPNI (Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia), Home Care, panti jompo dan pengajian untuk para ibu yang dinamakan al-Ishlah di Mataraman. Di dalamnya ia sangat aktif dan cukup berperan.
Dalam buku “Ibuku inspirasiku” sosok Nyai Solichah ditulis oleh kedua putranya, Gus Dur dan Gus Sholah. Nyai Solichah Wahid di mata kedua putranya adalah pribadi yang terbuka dan mudah bergaul dengan siapa saja, ia sangat rajin melakukan silaturrahim dengan banyak pihak.
Di mata Gus Dur, beliau bagaikan “Ayam Induk” bagi pimpinan NU. Ia tidak pernah kehilangan kontak dengan orang-orang penting dalam unsur-unsur masyarakat, baik dengan ulama lokal maupun nasional.
Menurut Gus Sholah, ia adalah ibu “Par Excellence” dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang ada, beliau mampu mendidik putra-putrinya di samping membina kariernya. Beliau tidak banyak bicara tentang kesetaraan gender, tetapi beliau melaksanakannya jauh sebelum masyarakat membahasnya.