Sedang Membaca
Fahrenheit 451: Membakar Buku di Hari Buku
Faris Ibrahim
Penulis Kolom

Faris Ibrahim, berasal dari Pandeglang, Banten. Mahasiswa program MA jurusan Islamic Studies di UIII, Depok. Lulus dari Universitas al- Azhar, Kairo, tahun 2021.

Fahrenheit 451: Membakar Buku di Hari Buku

Hbo S Fahrenheit 451 Ben Franklin S Book Burning Brigade

Cerita bagus memikat sejak kalimat pertama. Penulis- penulis bagus membuat kita jatuh cinta pada pandangan yang pertama. Mereka tidak akan menunggu sampai kalimat kedua, paragraf kedua, halaman kedua, apalagi bab kedua untuk bisa menarik perhatian kita. Itulah yang dilakukan Ray Bradbury saat menulis Fahrenheit 451. Ia memulai mahakaryanya itu dengan provokasi menarik sejak kalimat pertama: “membakar sungguh menyenangkan.” 

Menyenangkan apanya? Seasyik- asyiknya membakar kembang api, tetap saja akhirnya gemerlapnya menghilang. Membakar pastilah berujung: kehilangan. kehilangan tidak menyenangkan, kehilangan menyedihkan. Makanya kita sering mendengar orang tua kita bilang: jangan bakar- bakaran, jangan main- main dengan api. Orang tua, takut kehilangan kita, itu sebabnya mungkin mereka selalu berat hati meretui hubungan kita dengan api.

Mereka tahu hubungan kita dengannya kadangkala tanpa pemahaman. Yang tidak paham, biasanya terjeremus dalam petaka. Api terbiasa menyulut petaka. Itulah kenapa setan sering disimbolkan dengan api. Main api artinya main- main dengan setan: memancing kedatangan mala- petaka. Api memang bukan mainan, api hadir ke dunia untuk dikendalikan. Dengan api Aang menjadi Avatar, dengan api pula ia melukai lengan Katara, gadis yang paling ia cintai.

Lewat Fahrenheit 451, Bradbury ingin mengajak kita membayangkan itu: keadaan di mana api sudah tidak lagi terkendali, kemudian membakar sesuatu yang paling kita cintai. Setiap tahun kita merayakan Hari Buku karena semua orang mencintai buku, namun apa jadinya kalau kita hidup di zaman di mana semua orang membenci buku? itulah Fahrenheit 451. Tokoh utamanya, Montag, sangat menikmati pekerjaannya: “Senin bakar Millay, Rabu Whitman, Jum’at Faulkner.”

Sejak rumah- rumah sudah kebal dari kebakaran, mereka- mereka yang berprofesi sebagai pemadam kebakaran terancam pengangguran. Rezim berpikir keras, akhirnya munculah sebuah alternatif profesi: petugas kebakaran. Tugas Montag bukan lagi memadamkan, tugasnya membakar. Ia dan teman- teman butuh sesuatu untuk dibakar, sesuatu yang dibenci oleh semua orang sehingga kehilangannya sangat diharap- harapkan. Tersebutlah satu benda bernama: buku.

Baca juga:  Mutu Kitab Kuning Terbitan Lokal Terjaga 

“Buku adalah peluru,” kata kapten Beatty. Orang bisa saling membunuh gara- gara buku. Buku menyulut kemarahan. Kulit putih tidak pernah gembira saat membaca Uncle Tom’s Cabin, kulit hitam naik pitam saat membaca Little Black Sambo. Buku hanya memecah belah masyarakat. Dengan mempercayai maksim itu, petugas kebakaran sepenuh hati melakoni kerjaannya membakar buku. Kebencian masyarakatlah yang jadi pembenaran.

“Bakar sampai menjadi abu, lalu bakar lagi abunya,” kalimat itu bukan hanya slogan petugas kebakaran. Dari slogan itu kita bisa menjejak kebencian masyarakat terhadap buku yang bencinya sampai ke tulang- tulang. Buku adalah penjahat. “Kata- kata bodoh, kata- kata bodoh, yang jahat dan menyakiti,” begitu kata Mrs. Bowles yang menangis bukan karena keindahan puisi Dover Beach, puisi Matthew Arnold itu jahat karena membuatnya menangis saat mendengarnya.

Itulah yang kita temukan saat membaca paruh awal Fahrenheit 451. Seakan kita dituntun lewat premis- premis logis tokoh- tokohnya untuk mengangguk setuju berakhir membenci buku, menjadikannya penjahat, lantas membakarnya. Namun, beruntungnya memang, Bradbury tidak menceburkan kita begitu saja dalam kekeliruan, tanpa pelampung. Lewat Montag, si tokoh utama, kita diajak pelan- pelan bertobat pernah serampangan meyakini buku sebagai penjahat.

Buku tidaklah jahat, yang jahat kita saja manusia, Bradbury paham betul maksud dari perkataan itu. Usianya masih 15 tahun saat mendengar Hitler memanggang buku- buku di jalanan Berlin. Masa remajanya juga ia habiskan dengan menonton Stalin memenjarakan para pujangga, membakar buku- bukunya. Dan puncaknya adalah pada tahun 1950, saat Senator McCarthy menangkapi teman- teman penulisnya dengan dalih pemberantasan Komunisme.

Baca juga:  Resensi Buku: Ingin Saleh Boleh, Merasa Saleh Jangan

Sebagai seorang anak yang tumbuh dengan kecintaan melahap buku, hatinya terbakar menyaksikan pembakaran buku dari masa ke masa.  Alhasil dengan kumulasi pengalaman kelam itu, terkumpulah semua alasan untuknya menuliskan Fahrenheit 451, sebuah pledoi terhadap hak asasi buku yang selalu didakwa sebagai penjahat yang nyatanya selalu jadi korban kejahatan para penjahat. Buku dibabat demi melanggengkan kekuasaan, padahal ia hanyalah alat.

Sebagaimana motor yang bisa dipakai pergi sholat, motor juga bisa dipakai menyiram air keras ke orang sehabis sholat. Alat terggantung penggunanya, buku tergantung pembacanya. Kitalah yang salah baca, bukan salah buku. Fahrenheit 451 boleh jadi maksudnya bukan suhu terbakarnya buku, melainkan suhu panasnya kepala kita yang terbakar kebencian saat membaca. Kita membaca untuk mencari pembenaran, bukan kebenaran, di sanalah letak salahnya.

Jika ada seribu rujukan yang mengatakan Covid- 19 benar- benar tragedi, dan hanya satu yang bilang itu konspirasi, maka kita berapi- api menyomot yang satu itu sebagai pembenaran, benar- salah itu urusan belakangan. Saat kita pilih- pilih bacaan, pilih- pilih buku, pilih- pilih tontonan saat itulah sebenarnya kita mulai bersalah, mulai jadi penjahat. Jahat karena menutup seluruh kemungkinan yang benar jadi salah, yang salah jadi benar.

Terkadang dalam membaca kita tidak siap membaca hal- hal‒ yang seperti kata Faber: “Memperlihatkan pori- pori di wajah kehidupan,” alias memperlihatkan kenyataan bahwa kita sedang meyakini sesuatu yang salah. Kesalahan terkadang seperti jerawat di sela pori- pori wajah kita. Kita tidak mau itu terlihat, kita berusaha mengaburkan wujudnya dengan bedak, menutup- nutupinya dengan plester luka, kita halalkan segala cara untuk menutupi kesalahan kita.

Baca juga:  Ribuan Manuskrip Nusantara "Diawetkan" di Perpustakaan Inggris

Ketika kita menutup- nutupi kesalahan, mengingkari kebenaran, sebenarnya itulah cara termudah untuk menyimpulkan kepribadian kita yang anti buku: anti pengetahuan. Setiap Hari Buku, rasanya kita semakin menjelema jadi sosok yang anti buku: kita masih saja memilah- milah pengetahuan, menonton siaran dari kanal pemuja pilihan politik kita saja, dan mencampakkan yang bukan. Bukankah itu sama saja dengan perilaku membakar buku: melenyapkan pengetahuan?

Kita membayangkan Fahrenheit 451 begitu tak tergapai sebagai distopia, padahal peristiwanya sangat lekat dengan keseharian kita saat membaca. Kita dimanfaatkan oleh mereka- mereka yang tidak membaca namun berkuasa untuk membenci yang mereka benci, menyukai yang mereka sukai. Kita dikotak- kotakkan, demi kepentingan. Semakin kita jauh dari pengetahuan, semakin malas kita membaca, mereka semakin senang; jerawat kekuasaan semakin samar terlihat.

Ketika kekuasaan semakin terbit benderang, pengetahuan semakin menunduk terbenam. Istana akhirnya mendikte kampus. Presiden membakar buku- buku di halaman. Kita yang sadar hanya bisa berteriak- teriak di balik pagar sambil sesekali menggoyang- goyang. Ban- ban mengepul di jalanan berhari- hari terpanggang, sampai akhirnya kita benar- benar lapar dan kelelahan. Akhirnya kita membenarkan apa kata Faber sang kordinator lapangan: “Sekarang, sudah terlambat.”

Keesokan harinya kita masih turun ke jalanan ramai- ramai, hanya saja kali ini bukan untuk membakar ban dan menggoyang- goyang pagar istana, hari ini kita ingin membersamai presiden membakar buku- buku yang tersisa. Kita sangsikan nasehat orang tua untuk tidak bakar- bakaran. Kita aminkan perkataan Montag: “membakar, sungguh menyenangkan.”Hari itu Hari Buku, untuk pertama kalinya dalam sejarah kita memperingatinya dengan membakar buku.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Scroll To Top