Kitab yang bertajuk lengkap Syifa’ al-Shudur fi Bayan al-Tawassul wa Fadhl al-Awliya’ wa Karamatihim wa Ziyarah al-Qubur (Penawar Hati; Penjelasan tentang Tawassul, Keutamaan Para Wali beserta Karamahnya dan Ziarah Kubur) ini merupakan karangan seorang ulama kharismatik Demak, allahu yarham KH. Abdullah Zaini bin Muhammad Uzair.
Terdiri atas tiga pasal. Sebagaimana yang disebut dalam subjudul, pasal pertama menjelaskan tentang hakikat tawasul kepada para nabi, wali dan orang-orang salih. Pasal kedua tentang keutamaan para wali serta karamah mereka, dan pasal ketiga ihwal ziarah kubur. Terakhir, dipungkasi (khatimah) dengan bahasan tentang kuburan.
Dengan bahasa yang sederhana, KH. Abdullah Zaini menerangkan persoalan debatable seputar tema tersebut secara sistematis dan berdasarkan dalil-dalil yang sarih, yang dinukil dari al-Quran dan hadis.
Pada pasal pertama, misalnya, setelah menerangkan takrif dan hukum tawasul, KH. Abdullah Zaini menyitir al-Maidah ayat 35 sebagai dalil absahnya tawasul. Setelah itu beliau menukil riwayat seorang lelaki buta yang sowan kepada Nabi Muhammad meminta doa supaya butanya diangkat oleh Allah. Kisah ini diriwayatkan oleh banyak imam, di antarnaya al-Nasa’i, al-Tirmizi, Ibn Majah, al-Hakim, al-Khatib al-Tibrizi dari Utsman bin Huniaf r.a. Begini singkatnya,
Seorang lelaki buta datang kepada Nabi Muhammad dan berkata, “Wahai Rasul, berdoalah untukku supaya aku dapat melihat seperti orang lain umumnya.”
Nabi lalu menjawab, “Jika kamu mau, akan kudoakan kamu. Tapi jika kamu bersabar atas takdirmu, maka itu lebih baik bagimu.”
Si lelaki itu tetap pada permintaan awalnya. Walhasil Nabi Muhammad memberinya doa untuk ia baca. “Baiklah. Sekarang berwudulah, lalu berdoalah dengan doa ini;
اللهم إني أسألك و أتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة إني توجهت بك إلى ربي في حاجتي هذه ليقضي لي اللهم فشفعه لي
Ya Allah, aku memohon dan bersimpuh kepadamu perantara nabiMu, Muhammad, Sang Nabi Penyayang. Aku bertawajuh kepada Tuhanku memohon supaya mengabulkan hajatku ini. Makbulkanlah untukku, Ya Allah.
Usai didiktekan bunyi doa tersebut, si lelaki itu membacanya dengan sungguh-sungguh. Serampung berdoa, lelaki itu berdiri dan membuka mata. Dengan wasilah Nabi Muhammad, sembuhlah kebutaannya.
Kemudian pasal dua, keutamaan para wali dan karamahnya. Pada pasal ini, KH. Abdullah Zaini membeberkan siapa itu wali dan apa yang membedakan antara karamah, sihir, dan mukjizat.
Dalam kitab ini, KH. Abdullah Zaini memberi takrif karamah sebagai peristiwa luarbiasa yang tak disertai klaim kenabian, bukan pula permulaan dari kenabian, yang tampak pada seseorang yang mengikuti laku Nabi Muhammad, yang menjalankan syariat dan tidak menyelisihinya, dan dibarengi keyakinan yang sahih serta amal salih.
Takrif tersebut kiranya sangat penting kita gamit. Supaya kita tak gampang takjub dan percaya kepada siapapun yang mendaku dirinya sebagai wali sebelum kita tahu betul laku kehidupannya.
Selanjutnya pasal ketiga, pasal ihwal ziarah kubur. KH. Abdullah Zaini membuka pasal ini dengan menyebutkan hukum ziarah kubur, yaitu sunnah, berdasar hadis yang diriwayatkan Sayyidina Ali bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Dulu aku melarang kalian zirah kubur. Sekarang ziarahlah!”
Hukum ziarah kubur menjadi sunah, jika tujuannya untuk mengingat kematian atau untuk bertabaruk. Tetapi dapat berubah menjadi makruh bagi perempuan jika mereka tak dapat menahan kesedihannya dan justru histeris di pekuburan.
Berbeda dengan dua pasal sebelumnya, di pasal ketiga ini, KH. Abdullah Zaini kerap menekankan beberapa poin dengan memberi istilah-istilah seperti faidatun (faidah), muhimmatun (penting), tanbihun (pengingat) dan tatimmatun (tambahan/penyempurna).
Pada bagian akhir, kitab ini ditutup dengan khatimah (penutup) tentang persoalan penting mengenai maqbarah atau kuburan, seperti mendirikan bangunan di atas kuburan, menginjak dan menduduki kuburan, membawa hewan tunggangan ke dalam kuburan, menanam pohon di atas kuburan dan lain sebagainya.
Ada yang menarik ketika KH. Abdullah Zaini menjelaskan hukum menginjak kuburan atau membawa hewan ke dalam kuburan. Secara hukum fikih, praktik tersebut sangat makruh. Lebih makruh daripada menginjak orang. Lalu apabila seseorang melihat seekor hewan mengencingi kuburan, kuburan siapapun, maka orang tersebut harus mengusirnya. Apalagi kuburan tersebut merupakan pusara seseorang yang terkenal kewalian dan kealimannya seperti Sayyidi (Tuanku) Kiai Kholil Madurah.
Pada penyebutan Kiai Kholil, di situ lah yang menarik, yaitu aspek lokalitas. Penyebutan tersebut membuat kitab Syifa’ al-Shudur ini dekat dengan para pembaca, yang tak lain adalah masyarakat Jawa-Madura sendiri.
Saya menduga Kiai Kholil Madura yang disebut KH. Abdullah Zaini adalah Syaikhona Kholil Bangkalan. Sebab sudah maklum, selain tradisi ziarah walisongo masyarakat Jawa yang selalu menyertakan makam Syaikhona Kholil Bangkalan sebagai tujuan wajib ziarah, Syaikhona Kholil juga merupakan guru para ulama besar di Indonesia, terutama ulama-ulama Jawa-Madura. Wallahu a’lam.