Sebuah data dari Transfermarkt menunjukkan bahwa klub-klub Saudi Pro League atau Liga Arab telah menghabiskan dana sampai 954 juta euro untuk mendatangkan pemain dari liga-liga sepak bola Eropa. Jumlah pengeluaran Liga Arab tersebut hanya kalah dari Liga Inggris yang menghabiskan dana paling banyak di bursa transfer pemain.
Langkah drastis Liga Arab itu perlu dilihat dalam konteks kebijakan Saudi yang lebih luas. F. Gregory Gause dalam The Foreign Policy of Saudi Arabia (2014) menjelaskan bahwa negara tersebut memiliki kecenderungan untuk menjaga kekuasaan di dalam negeri serta mempertahankan statusnya sebagai negara yang berpengaruh di kawasan Timur Tengah maupun Dunia Muslim secara umum.
Untuk mencapai tujuannya, Saudi jelas menyadari perlunya fondasi ekonomi yang kuat dan citra internasional yang baik. Dalam konteks inilah Liga Arab membangun popularitasnya, sebagai salah satu bentuk diversifikasi ekonomi dan menciptakan alternatif baru bagi ekonomi minyak.
Keterlibatan negara dalam pengembangan sepak bola Saudi terlihat dari tampilnya Public Investment Fund (PIF) sebagai penyokong dana dari klub-klub besar Saudi yang mendatangkan bintang-bintang sepak bola. Sebesar 75% saham dari empat klub terkuat di Liga Arab seperti Al-Ahli, Al-Hilal, Al-Ittihad, dan An-Nasr berada di tangan lembaga investasi Saudi tersebut.
Gubernur PIF, Yasir Ar-Rumayyan mengatakan dalam sebuah wawancara dengan CNBC bahwa generasi muda Saudi yang berusia di bawah 30 tahun menginginkan agar dana investasi yang dikelola oleh negara diarahkan untuk bidang olahraga. Menurut Yasir terdapat sebanyak 63% dari generasi muda menginginkan langkah investasi untuk membuka jalan ekonomi baru lewat olahraga.
Belanja besar-besaran pemain lalu dilakukan oleh klub yang berada di bawah kepemilikan PIF. Bahkan tiga dari klub di antaranya masuk ke dalam jajaran 10 besar tim paling boros di bursa transfer pemain musim panas 2023. Al-Hilal menjadi klub peringkat kedua di dunia dalam soal pengeluaran uang untuk pembelanjaan pemain. Tim yang saat ini dihuni oleh Neymar tersebut hanya kalah dari Chelsea dalam urusan belanja pemain.
Nampaknya, Saudi serius mengembangkan industri sepak bola dan bukan menjadikannya sebatas eksperimen ekonomi biasa. Saudi bisa jadi sudah belajar dari kegagalan China Super League (CSL) yang kini kembali lesu setelah pada 2016 lalu pernah melakukan transfer sensasional sebagaimana yang dilakukan Liga Arab tahun ini.
Keputusan Saudi untuk terjun ke industri sepak bola juga kemungkinan terpicu oleh geliat pertumbuhan ekonomi negara-negara tetangganya sesama negara teluk semisal Uni Emirat Arab, Qatar, atau Bahrain yang sudah melakukan diversifikasi ekonomi lewat sportaiment dan mencoba melepaskan diri dari ketergantungan pada minyak.
Qatar bahkan sudah jauh mendahului Saudi dalam bidang industri olahraga karena sudah berinvetasi di klub Eropa mulai dari menjadi sponsor klub besar semisal Barcelona, mengakuisisi Paris Saint Germain lewat Qatar Sports Investment, menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, dan langganan menggelar balapan F1 dan MotoGP.
Hal ini juga yang nampaknya tengah dilakukan oleh Saudi. Dalam industri sepak bola, Saudi membeli Newcastle United setelah sebelumnya sempat menawar Manchester United. Saudi juga berencana untuk mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2034. Balapan F1 juga kini sudah mulai diselenggarakan di Jeddah.
Terdapat beberapa pihak yang menilai bahwa strategi Saudi yang masuk ke dalam industri olahraga ini merupakan salah satu bentuk sportwashing. Sebuah usaha pembersihan reputasi pihak tertentu dengan menggunakan acara olahraga. Hal tersebut pernah dituduhkan pada Italia di Piala Dunia 1934 dan yang termutakhir adalah Rusia di Piala Dunia 2018.
Jika dilihat dari sudut pandang tertentu, penilaian yang menyatakan Saudi melakukan sportwashing mungkin ada benarnya. Namun, nampaknya aspek ekonomi menjadi alasan yang paling kuat untuk melihat motif negara tersebut dalam ekonomi olahraga. Manuver Saudi yang merapat dengan blok negara BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) beberapa waktu lalu bisa dilihat sebagai pencarian peluang yang lebih luas dalam bidang ekonomi.
Sebagai sebuah negara yang selama ini berhubungan erat dengan Amerika, keputusan tersebut barang kali terasa cukup janggal. Tetapi, jika melihat pada kebiasaan Saudi terdahulu yang mencoba menjalin hubungan dengan rival Amerika seperti Rusia ketika Raja Abdullah berkunjung ke Moskow pada 2003 atau rangkaian kunjungan ke negara-negara dengan kekuatan ekonomi besar di Asia pada 2006, rasanya orientasi luar negeri Saudi memang lebih cenderung pragmatis.
Baghat Korany dan Moataz Fattah (2008) menjelaskan bahwa yang terpenting bagi pemerintahan Saudi adalah mempertahankan klaim kekuasaan kerajaan dan menjaga citra internasional. Langkah-langkah kebijakan negara itu akan bergantung pada aspek tersebut. Termasuk ketika pemerintah menggandeng ulama yang menjadi wajah keagamaan mereka yang cenderung konservatif dan menjalin hubungan dekat dengan Amerika.
Maka ketika kini Saudi melakukan reformasi dalam kehidupan sosial dan keagamaan menjadi lebih terbuka dan moderat, dua alasan utama di ataslah yang juga menentukan. Saudi butuh fondasi ekonomi yang kuat, dan untuk memenuhi tujuan tersebut latar sosial yang dibutuhkan adalah suasana yang lebih inklusif dan terbuka.
Sepak bola adalah salah satu jalan yang coba dibangun oleh Saudi untuk mencapai tujuan mereka. Perpaduan elemen ekonomi dan kepentingan citra negara tersebut di hadapan masyarakat internasional semakin terlihat pada konten video atau gambar yang diunggah oleh klub-klub milik PIF dalam menyambut Hari Nasional Saudi.
An-Nasr merilis sebuah video yang menghadirkan pemain-pemain bintangnya mengenakan atribut budaya Saudi. Ronaldo tampil memakai jubah dan penutup kepala khas Arab dan berdiri memegang pedang sambil diiringi oleh alunan musik tradisional dengan beberapa orang yang terlihat seperti menari di sekelilingnya. Pada bagian lain video tersebut, terlihat juga salah seorang pemain tengah menikmati sajian teh khas Arab.
Dalam menyambut Hari Nasional Saudi, Neymar juga terpotret memakai pakaian yang sama dengan Ronaldo. Begitu juga dengan beberapa bintang sepak bola yang lain. Hal ini semakin memperjelas visi Saudi yang tidak hanya memikirkan aspek ekonomi yang bisa didapat dari industri sepak bola, namun juga memanfaatkannya sebagai sarana kampanye budaya. Menyatakan bahwa Arab Saudi kini sudah berubah dan siap untuk menyambut kebaruan yang datang pada mereka. Sebuah rencana yang terlihat serius, karena mereka memang memiliki target dalam rancangan Arab Vision 2030.