Dulu, menjelang Reformasi, Amien Rais punya cerita menarik tentang kancil pilek yang disukai banyak orang.
Saya modifikasi saja cerita itu supaya lebih segar dan kontekstual.
Di hutan, baru saja berlangsung pemilu untuk memilih pemimpin baru yang mengharu-biru seluruh warga hutan. Ada dua kandidat yang maju. Keduanya sama-sama punya banyak pengikut. Salah satu dari dua calon itu adalah seekor singa tua yang suka marah-marah.
Setelah kampanye berbulan-bulan, digelarlah pencoblosan. Perkiraan hasil pemilu pun segera kelihatan. Menurut hasil quick count, si singa tua ternyata kalah telak. Maka makin marah-marahlah dia. Para pengikutnya ketakutan tak karuan. Entah mendapat ide dari mana, setelah bisik-bisik kesana-kemari, dengan kompak akhirnya mereka memberitahu bahwa “berdasarkan ijtima’ kaum satwa” dan menurut data di lapangan, singa tua itulah yang sebetulnya menang.
Si singa setengah senang, setengah bimbang.
Suatu pagi, singa kaget bukan kepalang. Baju kebesaran yang biasa dipakainya ternyat bau pesing. Tapi tak seekor hewan pun memberitahunya. Perilaku pangikut yang mengerumuninya bahkan memberi kesan bahwa baju yang dipakainya itu seolah-olah berbau wangi.
Ia jadi curiga. Jangan-jangan para pendukung itu memang pembohong semua. Ia bermaksud melakukan tes kejujuran. Hasil tes itulah yang akan dipakai untuk mengetahui apakah sebetulnya para pengikutnya mengatakan dengan jujur tentang status kemenangannya.
Sang singa tua segera menggantung baju kebesarannya pada dahan sebatang pohon untuk dicium oleh para pengikutnya. Ia ingin tahu, apakah mereka selama ini sebetulnya berkata jujur tentang kenyataan.
Yang pertama dipanggil adalah sapi.
“Sapi, katakan dengan jujur apa pendapatmu,” ujar singa setelah beberapa lama sapi mengendus-endus dan tampak tidak segera bisa memberi kesimpulan.
“Siap! Baju ini bau pesing,” kata sapi akhirnya.
Singa tua itu terperanjat tak terkira.
Ia tahu sapi bicara jujur. Tapi caranya yang terlalu terus terang, tanpa tedeng aling-aling, kontan membuatnya murka. Singa itu marah besar. Dalam sekejap, tubuh sapi pun rubuh diterkam dan dicabik-cabik oleh singa persis di depan mata para pengikut lainnya.
Giliran berikutnya yang dipanggil adalah kampret.
Mereka maju secara berombongan dengan tubuh-tubuh gemetar.
“Ayo cium baju kebesaranku itu dan katakan pendapatmu dengan jujur!,” instruksi si singa.
Kampret-kampret pun segera mengerubuti baju kebesaran si singa.
Semua tahu, kampret adalah hewan dengan indera penciuman paling tajam. Mereka tak mungkin salah menangkap bau. Pertanyaannya, beranikah mereka berkata jujur setelah peristiwa sapi yang tragis?
“Baju ini wangi luar biasa, Yang Mulia,” kata para kampret itu serentak setelah berpikir cukup lama.
Mata singa tua tiba-tiba terbelalak, tampak berkilat-kilat.
Semula para hewan yang berkerumun mengira bahwa itu adalah kilatan kegembiraan. Tapi ketika si singa terus menggeram dan makin lama suara gigi-giginya yang saling beradu terdengar makin keras, semua tahu bahwa singa tua itu sedang menahan marah yang meluap-luap.
Dalam sekejap, tiba-tiba semua kampret telah lenyap di balik terkaman kuku sang singa. Semua hewan menyaksikan dengan penuh ketakutan.
Berkata jujur disikat, tak berkata jujur pun lenyap. Bagaimana ini?
“Siapa diantara kalian yang bisa mengatakan kepadaku tentang baju ini dengan jujur? Maju!,” singa tua kembali memberi instruksi.
Dengan penuh was-was, semua hewan akhirnya mendorong tubuh kancil.
“Cil, katakan dengan jujur: wangi atau pesing?”
Kancil pun maju dan mengendus-endus beberapa lama. “Yang Mulia lihat sendiri. Saya kemana-mana bawa sapu tangan karena flu sejak beberapa hari ini. Saya sedang pilek, jadi saya tidak mencium bau apa-apa…,” kata kancil yang memang dikenal pintar bermain sandiwara.
Semua hewan yang lain merasa lega. Sang Singa tua pun tertawa.
Itulah sebabnya, sampai hari ini si singa tua tidak tahu persis apakah sebetulnya ia kalah atau menang dalam pemilu di hutan itu. Real count memang masih terus berlangsung.