Sedang Membaca
Tribute to Jeihan Sukmantoro: Imanku ialah Pengalamanku
Doddi Ahmad Fauzi
Penulis Kolom

Seniman, tinggal di Bandung

Tribute to Jeihan Sukmantoro: Imanku ialah Pengalamanku

Tahun 1995, adalah tahun pertama saya bertemu dengan Bapak Jeihan Sukmantoro. Ia pelukis Indonesia yang ternama, yang berasal dari Solo. Saya lupa tanggal dan bulan pertemuan itu. Tapi masih berderang dalam ingatan, pertemuan itu terjadi sekira habis azan Isya berkumandang, di kediaman pelukis Jeihan, Jl. Gang Mesjid II No 11, kawasan Cicadas, Bandung. Saya mendapatkan nomor telepon rumah Pak Jeihan dari penyair Juniarso Ridwan, yang di sanubari saya, Kang Jurniarso adalah seorang filantrofis.

Saya membawa sebuah bingkisan yang dibungkus dengan kertas koran, saat menemui Pak Jeihan itu. Tidak lupa mengaitkan tas ransel pada kedua sayap pundak, sedang di dalam ransel, terdapat map yang berisi proposal, disertai surat permohonan. Ada stempel organisasi TMIB juga di dalam ransel itu.

Saya diterima dengan baik, dan saat itu, Pak Jeihan menerima saya dengan ditemani oleh Atasi Amin. Belakangan saya ketahui, Kang Ata adalah putra sulung Pak Jeihan. Saya menemui Pak Jeihan, pelukis masyhur itu, adalah untuk berharap dapat berkah, agar rencaba yang tertera dalam proposal, bisa berjalan dengan mulus. Tak mulus pun tak apa, tapi terlaksana dengan baik.

“Saya Doddi Ahamd Fauji, mahasiswa dari IKIP Bandung. Menemui Bapak dengan tujuan untuk menyampaikan bingkisan ini,” kira-kira begitulah bunyi salam perkenalan yang saya sampaikan.

Pak Jeihan menatap lekat wajah saya, tersenyum, dan menerima bingkisan itu. Beliau kemudian membukanya. Wajahnya tampak berseri, namun sedikit tampak terkejut.

“Ini siapa yang melukis?” tanya Pak Jeihan, dengan suaranya yang cepat dan sedikit gagu.

“Saya Pak, itu saya buat sebagai hadiah untuk Bapak.”

Tampak sedikit kekagetan pada wajah Pak Jeihan. Mungkin di hati kecilnya ingin berkata, “Hey bocah, tidak tahukah saya pelukis Indonesia yang memelopori harga lukisan karya pelukis Indonesia memiliki harga puluhan juta?”

“Untuk saya?” tanya Pak Jeihan, dengan suara cepat dan sedikit gagu, yang menjadi ciri khas cara bicara Pak Jeihan. Selain dari suaranya, ciri khas lain yang saya ingat dengan likat, adalah mengenakan sarung belang, baos oblong, merenung agak lama sebelum menjawab atau bicara, dan berbicara yang berapi-api sambil mendekatkan muka ke wajah saya.

Baca juga:  Sekadar Takzim untuk Penerjemah Karya Agung Ibnu Arabi

Saya menjawab “ya”, dengan ikut ditegaskan oleh anggukan kepala.

Pak Jeihan membuka seluruh bungkus bingkisan yang sebutlah sejenis lukisan hasil gubahan seorang pembelajar, yang sungguh tidak tahu malu dan tidak tahu diri. Pak Jeihan menaruh lukisan itu pada sofa, kemudian ia tersenyum, kalu berkomentar.

“Lihat Ata, ini lukisan yang bagus. Ada warna hijau yang unik, seperti hijau hakikat. Nah, nah, nah… kamu berbakat. Eh, siapa namamu tadi?

“Doddi, Pak,” jawabku, dengan rasa bangga menerima sanjungan dari seorang maestro lukis. Saat itu, saya belum berkenalan dengan istilah maestro.

“Kenapa dihadiahkan ke saya?”

“Saya berharap dapat berkah. Saya mau ke Australia, mau ikut festival teater di Wolongong University.”

“Kapan itu?”

“Bulan September, Pak.”

Saya menjawabi pertanyaan Pak Jeihan, sambil membuka ransel, dan mengeluarkan proposal untuk rencana keberangkatan kami ke Australia, mengikuti Festival Teater Kampus. Bagi saya, berangkat ke luar negeri tahun itu, adalah salah satu impian besar. Saya kira, mimpi itu juga menjadi mimpi dari para mahasiswa yang kereatif dan punya visi. Mungkin tidak ada mahasiswa yang tidak memiliki mimpi bisa ke luar negeri.

Pak Jeihan Memeriksa proposal itu, sambil mengajukan beberapa pertanyaan. Tentu saya tidak ingat, obrolan apa saja malam itu. Namun saya ingat, Pak Jeihan memberikan beberapa nama yang harus saya hubungi. Selain dari Kang Juniarso Ridwan, dari Pak Jeihan ini saya memperoleh beberapa nama lain yang harus saya hubungi, di antaranya Pak Kuswa Budiono dan Pak Rido Easy. Belakangan saya tahu, Pak Kuswa Budiono adalah salah satu pelukis rekanan sejawat Pak Jeihan, sedang Pak Ridho Easy adalah salah satu direksi di koran Pikiran Rakyat.

Dari Pak Jeihan, saya menerima berkah yang dibungkus dengan amplop. Saat itu, berkah yang saya terima itu, cukup besar nilainya.

Setelah pertemuan itu, dan saya berhasil berangkat ke Australia, walaupun tersesat arah. Semestinya saya dan Yoyo Yogasmana sampai ke Canberra, namun kami hanya sampai di Kota Perth, Australia Barat. Jarak antara Perth di Barat, ke Canberra di timur, kurang lebih sama dengan jarak dari Kota Banda Aceh ke Merauke. Jadi kami putuskan tidak melanjutkan perjalanan. Kami keliling-keliling saja di Kota Perth, dengan mengunjungi Kings Park, kota tua Fremantle, menyusuri jalanan di kawasan Nedlands, berkunjung ke Uninersity Western Australia, dan merenung di tepi Sungai Angsa (Swan River) yang airnya jernih dan menyenangkan itu.

Baca juga:  Puisi Terbaru D. Zawawi Imron: Virus Corona dan Belalang

Di kota itu, saya menulis beberapa judul puisi, laporan perjalanan dan destinasi wisata, yang kemudian dimuatkan di beberapa koran.

Sepulang dari Australia, saya menemui kembali Pak Jeihan, dengan membawa kliping puisi yang telah dimuatkan di Koran. Salah satu puisi itu, adalah seperti ini:

PULANG

Di mana orang-orang menimba susu
memeras anggur dan mengolah madu
bebas bernyanyi dan tidak dilarang menangis
boleh mengemis tapi juga tidak dipaksa untuk memberi
di situlah gema adzan subuh menusuk mataku
agar menangis untuk dirinya

Perbedaan musim seakan menghijrahkanku
ke sebuah negeri tanpa laut
hanya gurun pasir dan desau angin
meskipun demikian, kakiku tak pernah bertanya
apakah aku telah menginjak jalan pulang yang lurus
dan bila tiba nanti, masih adakah daun pintu
yang kaubuka: Aku akan pulang

Adapun pulang ialah ke mana kakiku melangkah
ke situlah aku menduga

Fremantle, 1995

Pak Jeihan senang melihat puisi saya dimuatkan di koran. Ia pun mengeluarkan buku puisi, dan bercerita tentang keterlibatannya dalam menulis puisi. Saya jadi banyak mendengarkan kisah dia, termasuk pergulatannya dengan “puisi mbeling”.

Saya baru tahu saat itu, bahwa saya bukan hanya berhadapan dengan pelukis agung, namun juga dengan seorang penyair yang memiliki daya juang tinggi. Duh, betapa naifnya diri ini.

Jeihan Sukmantoro adalah pelukis kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, pada 26 September 1938. Pelukis bercorak ekspresionisme ini, mulai melukis sejak masih kecil. Ia belajar seni lukis di Himpunan Budaya Surakarta (HBS). Ia mengenyam pendidikan formal di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD), Institut Teknologi Bandung (ITB), namun tak pernah menyelesaikan pendidikannya, karena sikapnya yang cenderung memberontak. Sikap itu muncul, menurut para dokter, karena ia mengalami ‘near death experience’ akibat kecelakaan yang membuatnya tak dapat mengikuti pendidikan sejak awal. Jeihan tidak mendapatkan pendidikan formal sampai menginjak usia 15 tahun.

Baca juga:  Ketika Santri Kangen Ditakzir Kiai Barok

Jeihan adalah pelukis yang memelopori penjualan lukisan di pameran dengan harga yang menakjubkan. Kala itu tahun 1984, bertempat di Hotel Sari pan Pacipic Jakarta, ia menggelar pameran luksian berdua, bersama senior sekaligus gurunya, yaitu Seodjodjono.

Pak Soedjodjono menaruh harga lukisan paling mahal 5.000 USD. Mestinya Pak Jeihan menaruh harga lebih murah, jika saja dunia kesenian juga mengenal feodalisme. Tapi Pak Jeihan malah menaruh harga 10 kali lipat lebih mahal dari harga lukisan Pak Soedjodjono. Di Luar dugaan, lukisan Pak Jeihan malah soldout.

“Sejak itu, para pelukis memasang harga yang mahal. Pak Popo, Pak Barli, dan lain-lain. Saya berpendirian, harga karya seni itu tidak ternilai. Jikapun diuangkan, harganya harus mahal, karena merupakan sebuah konsepsi dari alam pikir yang dalam. Kamu tahu, hidup itu membutuhkan falsafah, dan di dalam lukisan, terdapat falsafah,” kata pelukis figuratif-ekspresionistik dengan ciri khas wajah orang selalu dilukiskan dengan mata hitam dan bolong.

Inilah ungkapan filosofi yang selalu saya ingat dari Pak Jeihan:

“Puncak dari diam adalah gerak, dan puncak dari gerak adalah diam.”
“Imanku ialah pengalamanku.”
“Di mana masih terbit matahari, dan lalu kita bergerak, maka di situ masih ada rezeki.”

Kata-kata itu sungguh dalam maknanya bagi saya. Sekalipun untuk mencapai hakikat yang dimaksudkan pak Jeihan, saya harus merenung berulang-ulang, dan itupun belum tentu sampai.

Sejam kemudian, tanggal 29 November 2019 pukul 1930 WIB, hujan deras mengguyur kota Bandung, seakan mengantar kepergian Pak Jaihan untuk selamanya. Selamat jalan guruku. Moga Allah yang Kuasa, menempatkanmu di sisi terbaik. Pribadi agungmu, ikut mengantarkanku seperti sekarang ini, yaitu sedikit mengecap naluri membangkang pada sesuatu yang dirasa kurang masuk akal, atau kurang adil.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top