Dalam catatan sejarah, Islam pernah mengalami masa kejayaan pada abad pertengahan klasik baik di bidang politik, ekonomi dan juga ilmu pengetahuan. Saat itu Islam maju dalam peradaban ilmu pengetahuan seperti sains, astronomi, matematika, kedokteran filsafat dan lainnya. Hal ini dikarenakan proses transfer ilmu pengetahuan dari berbagai peradaban berjalan dengan lancar apalagi didukung sepenuhnya oleh pemerintah Islam. (Nasution 1995, 34-40)
Pada abad ke 13, Barat kala itu mengalami kemuduran, kemudian tertarik mempelajari sains Islam untuk mereka kembangkan. Mereka juga mempelajari Bahasa Arab agar memudahkan mereka mempelajari dan menafsirkan teks-teks Islam. Saat Islam mengalami kemunduran di abad ke 19, orang-orang Barat kembali ke dunia Islam membawa sains dan teknologi yang mereka pelajari dari dunia Islam dan mereka kembangkan selama enam abad. (Nasution 1995, 34-40)
Perkembangan ilmu pengetahuan yang dibawa oleh Barat kemudian dinilai lebih ilmiah, rasioanalis, berpikiran maju, berperikemanusiaan dan lebih unggul dari pada kajian ilmu pengetahuan Timur (Islam). Timur disebutkan memiliki ciri yang statis, irasionalis dan terbelakang. Padahal menurut Edwar Said pernyataan tersebut adalah dogma dari para orientalis untuk menjatuhkan Timur (Islam). (Shihab 1999 , 289)
Barat memiliki tujuan dalam ekspansi dan dominasi dunia. Sains modern, kehidupan modern dan peradaban modern yang dibawa oleh Barat akan menimbulkan keabaian bagi kaum Muslimin tentang pesan-pesan ilmu pengetahuan ilmiah yang terkandung dalam Al-Qur’an. Inilah yang menjadi keprihatinan bagi seorang mufasir Tantawi Jawhari. Melalui bukunya Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tantawi Jawhari mencoba memperingati kaum Muslimin untuk menghindar mengikuti dunia Barat dan kembali kepada syariat.
Penulisan tafsir Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim bertujuan mendorong kaum Muslimin untuk melakukan kajian-kajian sains yang terdapat di Al-Quran sehingga dengan demikian Islam dapat bangkit mengungguli Barat baik dalam bidang agraris, kedokteran, matematika, arsitektur, pertambangan, dan lainnya. Tidak heran mengapa Islam mengalami kemuduran di tengah kemajuan peradaban Barat karena menurutnya tafsir Al-Qur’an hanya melakukan pengkajian fiqih. (Shohibul Adib 2011, 171)
Tentang Tantawi Jawhari
Tantawi Jawhari lahir pada tahun 1287 H/1870 M di Mesir tepatnya di desa Kifr Iwadillah. Ia adalah seorang cendekiawan, pembaharu, pemikir Islam modern yang memotivasi kaum Muslimin untuk menguasai ilmu secara luas. Tantawi Jawhari mendapat julukan Mufasir Ilmi karena keluasan ilmu yang dimilikinya. (Nasional 2002, 307)
Di masa kecilnya ia belajar di Ghar sembari membantu orang tuanya yang bekerja sebagai petani. Setelah menyelesaikan pendidikannya di madrasah Ghar, ia melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar, Cairo. Disini ia bertemu dengan tokoh pembaharu terkemuka Muhammad Abduh. Muhammad Abduh adalah tokoh inspirasinya dalam berfikir . (Redaksi 1992, 1187)
Karena terpengaruh dari pemikiran Muhammad Abduh, Tantawi Jawhari sangat menentang adanya bid’ah dan taklid. Ia merasa tidak puas dengan sistem pengajarannya di Al-Azhar terutama dalam hal tafsir. Hingga akhirnya Tantawi Jawhari memutuskan untuk pindah ke Universitas Darul Ulum dan menamatkan studinya pada tahun 1893 M.
Setelah selesai kuliah, ia mengajar di madrasah Ibtida’iyah dan Tsanawiyah. Hingga kemudian menjadi dosen di Universitas Darul Ulum. Pada tahun 1912 M ia diangakat menjadi dosen di Al-Jami’ah Al-Misriyah untuk mata kuliah Falsafah Islam. (Nasional 2002, 307)
Tantawi Jawhari selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dengan membaca beberapa buku, majalah maupun surat kabar. Ia aktif mengikuti pertemuan-pertemuan ilmiah dalam berbagai bidang. Selain menekuni ilmu-ilmu agama, ia tertarik dengan ilmu fisika. Ilmu fisika dipandang sebagai penangkal dari kesalapahaman orang tentang Islam yang menentang ilmu teknologi modern. Maka dari itu tak sedikit dari buku tafsirnya perpaduan antara ilmu fisika dengan Al-Quran. Sebab itulah ia dikenal sebagai tokoh penggabung dua peradaban. (Fuad Taufiq Imron 2016)
Salah satu hal terpenting untuk menguasai ilmu modern adalah penguasaan Bahasa Inggris. Baginya secara garis besar, Bahasa Inggris memiliki peranan penting dalam sebuah studi sebab Bahasa merupakan alat untuk menguasai berbagai ilmu.
Ada tiga gagasan pemikiran Tantawi Jawhari sebagai visi merubah pemikiran umat Islam. Pertama, ia ingin memajukan daya pikir umat Islam. Kedua, pentingnya memiliki ilmu Bahasa dalam menguasai bidang ilmu pengetahuan modern. Dan ketiga, Al-Quran sebagi satu-satunya kitab suci yang dapat memotivasi pengembangan ilmu pengetahuan. (Nasional 2002, 307)
Tantawi Jawhari wafat pada tahun 1358 H/1940 M di Mesir. Hingga akhir hayatnya ia menulis kurang lebih sebanyak 30 buku yang ia tulis selama 37 tahun mulai jadi guru hingga pensiun dosen pada tahun 1930 M. (Armainingsih 2016 )
Karya-karya Tantawi Jawhari diantaranya adalah Jawahir Al-’Ulum, Al-Quran wa Al-’Ulum Al-’Asriyah, Al-Nizam wa Al-Islam, Al-Taj wa Al-Murassa, Nizam Al-‘Alam wa Al-Umam, Aina Al-Insan, Ashlu al-‘Alam, Al-Hikmah wa Al-Hukama’, Bahjah Al-‘Ulum fi Al-Falsafah Al-‘Arabiyah wa Muwazanatuha bi Al-‘Ulum Al-‘Asriyah, Al-Qawa‘id Al-Jauhariyah fi Al-Turuq Al-Nahwiyah, Jamal Al-‘Alam, Al-Arwah dan Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim. (Armainingsih 2016 ) Karya yang terkenal adalah Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim.
Tentang Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim
Kitab Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim merupakan kitab yang menghimpun ayat-ayat Al-Quran tentang alam dan keajaibannya. Kitab tafsir ini terdiri dari 25 juz ditambah dengan lampiran maka semua berjumlah 26 juz dalam 13 jilid. Pertama kali dicetak oleh Muassanah Mustafa Al-Baabi Al-Halabi pada tahun 1929 M.
Adapun kitab ini berisi analisa pandangan dunia Al-Quran secara keseluruhan terutama yang berkaitan dengan sains (ilmu alam). Penjelasan lafaz yang diberikan dijelaskan secara ringkas yang disebut dengan tafsir lafzi. Selanjutnya teks yang dipandang berhubungan dengan sains dijabarkan secara panjang lebar dengan memasukkan pembahasan ilmiah berupa teori-teori modern diambil dari pemikiran sarjana Timur dan Barat agar dapat menjelaskan secara keseluruhan kepada kaum Muslimin atau non-Muslimin bahwa sesungguhnya Al-Qur’an relavan dengan perkembangan sains. (Armainingsih 2016 )