Sebagaimana yang sering diberitakan, ada 25 nabi dan rasul yang disebutkan dalam Al-Qur’an yang diutus di empat wilayah, yakni Jazirah Arabia, Irak, Mesir serta Syam dan Palestina. Nabi dan Rasul yang terbanyak adalah diutus di wilayah Syam dan Palestina jumlahnya mencapai 12 orang.
Sami bin Abdullah al-Mathrud dalam kitabnya Athlas Tarikh al’Anbiya Wa ar-Rusul, menyebutkan semua nabi dan rasul yang diperintahkan oleh Allah bertugas untuk menyeru umat manusia agar senantiasa beriman kepada Allah dan berbuat kebajikan, serta menjauhi segala keburukan mereka semua membawa bukti-bukti yang nyata. “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS Al-Hadid [57]:25).
Tentu ada pertanyaan besar Mengapa Nabi dan Rasul banyak diutus Allah di Syam dan Palestina, apakah sudah begitu sesatnya umat manusia sehingga Allah mengutus banyak nabi dan rasul pada kedua daerah tersebut? Masalah sesat atau tidak sesat semua itu tergantung keyakinan. Lalu, apakah Nusantara dulunya tidak pernah sesat? Mari kita kupas Agama atau kepercayaan masyarakat nusantara sebelum datangnya orang Arab.
Dulu di nusantara ada sebuah kepercayaan yang memuja sesembahan utama disebut Sang Hyang Taya yang bermakna hampa atau kosong. Orang Jawa dan Sunda Wiwitan mendefinisikan Sang Hyang Taya dalam satu kalimat Tan Keno Kinoyo Ngopo yang artinya tidak bisa diapa-apakan keberadaannya. Untuk itu supaya bisa disembah, Sang Hyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut Tu atau To yang bermakna daya Ghaib dan bersifat Adikodrati. Dalam bahasa Jawa kuno, Sunda kuno juga Melayu kuno kata Taya artinya kosong atau hampa namun, bukan berarti tidak ada. Ini adalah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan sesuatu yang tidak bisa didefinisikan. Tan Keno Kinoyo Ngopo, sesuatu yang tidak bisa dilihat juga tidak bisa diangan-angan seperti apa pun, ia ada tetapi tidak ada.
Dalam sistem ajaran kapitayan yang begitu sederhana waktu itu, Sang Hyang Taya tidak bisa dikenali kecuali ketika muncul dalam bentuk kekuatan Ghaib yang disebut Tu, Tu adalah bahasa kuno yang artinya benang atau tali yang menjulur. Tu inilah yang dianggap sebagai kemungkinan pribadi Sang Hyang Taya. Tu kemudian diketahui mempunyai sifat utama yaitu sifat positif dan sifat negatif. Yang baik bersifat terang dan yang tidak baik begitu gelap namun dalam satu kesatuan. Tu yang baik disebut Tuhan dan Tu yang tidak baik disebut Hantu.
Tu bisa didekati ketika dia muncul di dunia dalam sesuatu yang terdapat kata Tu seperti; wa-tu, tu-gu, tu-nggak, tu-nggul, tu-ban dan sebagainya yang menyiratkan adanya kekuatan Ghaib dari Tu yang bersemayam biasanya orang-orang akan memberikan sesajen kepada benda yang memiliki nama Tu.
Kapitayan ini diadopsi oleh Walisongo untuk menyebarkan Islam karena selama 850 tahun Islam tidak bisa masuk pada kalangan pribumi yang mayoritas penganut kapitayan, karena apa? Karena para saudagar muslim Arab yang belum paham ilmu Tafsir dan Takwil Al-Qur’an secara lengkap menceritakan bahwa Allah itu duduk di atas Singgasana bernama Arsy, loh? Itu kan seperti manusia? Orang-orang pribumi yang memahami Kapitayan tidak bisa menerima logika seperti itu bagaimana Tuhan duduk? Itu kan sama seperti manusia.
Dalam ajaran Kapitayan tidak mengenal dewa-dewa seperti Hindu dan Buddha. Nah, pada zaman Walisongo prinsip dasar Kapitayan dijadikan sarana untuk berdakwah. Dengan menjelaskan kepada masyarakat bahwa Sang Hyang Taya adalah لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ / Laisa Kamitslihi Syaiun, Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya (Asy-Syura:11). Berdasarkan dalil Al-Qur’an dan hadis yang artinya sama dengan Tan Keno Kinoyo Ngopo, sesuatu yang tidak bisa dilihat juga tidak bisa diangan-angan seperti apapun.
Walisongo juga menggunakan istilah Sembahyang dan tidak memakai istilah Salat. Sembahyang adalah menyembah Sang Hyang, dimana? Di Sanggar, tapi bentuk Sanggar Kapitayan kemudian diubah menjadi seperti Langgar-langgar di desa yang ada Mihrabnya dan dilengkapi Bedug, yang juga diadopsi dari kapitayan. Tentang ajaran ibadah tidak makan tidak minum dari pagi hingga sore tidak diistilahkan dengan Shaum karena masyarakat tidak mengerti tapi menggunakan istilah upawasa kemudian menjadi puasa.
Orang-orang dahulu jika ingin masuk Islam cukup mengucapkan syahadat, setelah itu selamatan pakai tumpeng. Jadi, Kapitayan selalu menyeleksi atas semua yang masuk. Jangan harap bisa diterima oleh Kapitayan bila ada Agama yang Tuhannya berwujud seperti manusia karena alam bawah sadar mayoritas masyarakat nusantara akan menolak. Tuhan kok seperti manusia? Agama Hindu pun ketika masuk ke Nusantara juga diseleksi. Ajaran Hindu yang paling banyak pengikutnya waktu itu adalah Waisnawa atau pemuja Wisnu. Namun, karena terdapat ajaran yang menyatakan bahwa Wisnu bisa muncul dalam sosok manusia, akhirnya ajaran itu habis tergusur digantikan ajaran Shiva yang berpandangan bahwa Tuhan tidak bisa mewujud sebagaimana manusia.
Baca tulisan selanjutnya: Sekelumit Tentang Agama Kapitayan (2)