Sedang Membaca
Sekelumit Tentang Agama Kapitayan (2)

Sekelumit Tentang Agama Kapitayan (2)

Kapitayan 2

Bukannya Agama dulu itu Kejawen? Mari kita bahas dulu apa itu Kejawen.

Kata Kejawen secara gramatikal kebahasaan saja sudah salah. Dalam bahasa Jawa tidak ada kata Kejawen. Sebetulnya Kejawen diberikan kepada kelompok hasil reformasi yang dilakukan oleh Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar di daerah pedalaman. Reformasi dari masyarakat Kawulo yang artinya budak menjadi masyarakat merdeka sehingga menimbulkan konflik dengan elit Kesultanan Demak. Syekh Lemah Abang membentuk banyak sekali Desa Lemah Abang, dari daerah Banten sampai daerah ujung Timur Jawa.

Para pengikut Syekh Lemah Abang umumnya menentang tradisi ritual dan Fiqih Kesultanan Demak. Dalam buku Negara Kerta Bumi, disebutkan bahwa Syekh Lemah Abang pernah tinggal di Baghdad selama 17 tahun. Oleh karena itu, pemahamannya terhadap sistem kekuasaan, banyak terpengaruh oleh sistem kekuasaan di Baghdad. Syekh Lemah Abang sebetulnya kelahiran Persia atau Iran dan merupakan ulama Sufi keturunan Nabi. (Itrah Nubuwah)

Ketika balik ke nusantara dia melihat realita Kesultanan Demak yang masih meneruskan pola kekuasaan Majapahit, jika ada masyarakat yang akan menghadap Sultan atau Raja diharuskan menyembah dulu yang oleh Syekh Lemah Abang, dianggap tidak benar sebab ketika Syekh Lemah Abang menghadap Sultan maupun Raja dia tetap dengan posisi berdiri tidak menyembah dan sejak itu beliau melarang masyarakat menyembah jika menghadap Sultan.

Kita kembali ke ajaran Kapitayan. Ajaran pokok Kapitayan yaitu Memayu Hayuning Bawono atau menata keindahan dunia. Jauh sebelum era perhitungan Masehi dimulai, khususnya di tanah Jawa sudah ada satu keyakinan pada keesaan Tuhan (Monoteisme). Para leluhur kita, dulu sudah sadar diri jauh sebelum ajaran Agama baru yang diimpor dari Timur Tengah, India dan Cina hadir di nusantara. Para leluhur kita merasa bahwa keyakinan itu adalah untuk dipercaya dan dilakukan ajarannya, bukannya menjadi bahan perdebatan atau malah dicarikan eksistensinya, lalu menjadi sumber pertikaian dan peperangan. Oleh sebab itu nenek moyang orang Jawa sudah membekali dirinya dengan pengetahuan tentang Dzat atau kenyataan tertinggi serta tentang bagaimana bisa menemukannya.

Baca juga:  Hikayat Hari

Orang Jawa dan Sunda serta pada umumnya suku lain di Nusantara, seperti Batak Parmalim, Kaharingan Dayak Borneo, To Manurung-I La Galigo di Sulawesi dan lain-lain di masa lalu, telah percaya akan keberadaan suatu entitas yang tak kasat mata, namun memiliki kekuatan adikodrati yang menyebabkan kebaikan dan keburukan dalam kehidupan dunia. Mereka tidak pernah menyembah selain kepada Tuhan Yang Maha Agung. Meskipun ia adalah seorang Dewa atau Batara sekalipun semua itu tetaplah mereka anggap sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dan tentunya tidak layak untuk disembah sebagaimana Dzat Yang Maha Kuasa. Karena yang mereka pahami sebagaimana yang disebut kemudian dengan istilah Sang Hyang Taya.

Namun memang tidak bisa dipungkiri telah banyak orang – termasuk penghayat Kejawen sendiri – yang dengan mudah memanfaatkan ajaran leluhur itu dengan praktek klenik dan perdukunan, padahal sikap itu tidak pernah ada dalam ajaran para leluhur dulu. Seorang hamba pemujaan Sang Hyang Taya yang dianggap sholeh akan dikaruniai kekuatan Ghaib yang bersifat positif atau Tu-ah dan yang bersifat negatif atau Tu-lah. Mereka yang sudah dikaruniai Tu-ah dan Tu-lah dianggap berhak untuk menjadi pemimpin masyarakat. Mereka itulah yang disebut Ra-Tu atau Dha-Tu yaitu cikal bakal gelar Ratu dan Dhatu bagi para pemimpin Kerajaan Nusantara.

Mereka yang sudah dikaruniai Tu-ah dan Tu-lah, gerak-gerik kehidupannya akan ditandai oleh Pi, yakni kekuatan rahasia Ilahi Sang Hyang Taya yang tersembunyi. Itu sebabnya Ratu atau Dhatu menyebut diri dengan kata ganti diri Pi-nakahulun, jika berbicara disebut Pi-dato, jika mendengar disebut Pi-harsa jika mengejar pengetahuan disebut Pi-wulang, jika memberi petuah disebut Pi-tutur, jika memberi petunjuk disebut Pi-tuduh, jika menghukum disebut Pi-dana, jika memberi keteguhan disebut Pi-andel, jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut Pi-tapuja yang lazimnya berupa Pi-nda atau kue dari bahan tepung, Pi-nang, Pi-tik, Pi-ndodakriya atau nasi dan air serta Pi-sang, jika memancarkan kekuatan disebut Pi-deksa, jika mereka meninggal dunia disebut Pi-tara. Sehingga seorang Ratu atau Dhatu adalah pengejawantahan kekuatan Ghaib Sang Hyang Taya.

Baca juga:  Santri, Pengusaha, dan Kemajuan Ekonomi

Seorang Ratu atau Dhatu adalah citra pribadi Sang Hyang Tunggal. Namun zaman pun berganti dan keadaan dunia juga berubah sangat drastis. Ironisnya Agama Kapitayan sebagai tuan rumah pernah ditekan hebat oleh para tamunya, contohnya ketika zaman Kerajaan Kadhiri, penganut Agama Hindu yang mampu merangkul penguasa saat itu menekan golongan Kapitayan sehingga mereka harus naik ke Gunung Klothok dan Gunung Wilis, dimana artefak peninggalan Kapitayan banyak tersebar di sana yang sebagian dibawa oleh kaum penjajah ke Leiden, Belanda dan berkembang menjadi aliran kepercayaan Hasoko Jowo yang justru bermarkas di Leiden Belanda sana. Lalu di zaman Kerajaan Tumapel atau Singosari kejadiannya pun sama, penganut Agama Hindu-Buddha menekan hebat kelompok ini hingga mengungsi ke Pesisir Selatan Tanah Jawa. Selanjutnya di zaman Kerajaan Demak, penganut Agama Islam yang melakukan penetrasi bahkan hingga sekarang ini. Dan yang terakhir adalah di zaman Kolonial, penganut Agama Nasrani mendapat tempat elit di sosial kemasyarakatan dan lainnya.

Salah satu situs yang bisa kita kunjungi adalah Situs Semar di Cipaku Darmaraja Sumedang. Dalam naskah Medang Kamulyan dari Darmaraja Sumedang, arti Cipaku merupakan kepercayaan Sunda Buhun disebutkan:

…Bagenda Syah Jeneng Ratu di Karajaan Medang Larangan, anu karatonna, dicipta ku Sayyidina Sis alahis salam. Di Cai Paku satutasna surutna cai sagara ngeueum alam medang kamulyan. Ari disebut Cai Paku ieu tempat mangrupa pangeling-ngeling ieu tempat anu geus orot tina cai Sagara, loba tangkal paku ku ayana prahara alam medang kamulyan ka keueum ku Cai Sagara”.

(„…Baginda Syah Jadi Raja di Kerajaan Medang larangan, yang singgasananya, dibuat oleh Nabi Syith alahis salam. Di Cipaku setelah air laut surut mengenai dunia. Yang disebut Cipaku ini merupakan peringatan tempat yang sudah surut dari air laut, banyak pohon paku karena prahara alam dunia yang tergenang Air Laut“.)

Baca juga:  Arah Baru Konservatisme Moderat MUI: Mau ke Mana?

Naskah Medang Kamulyan

Hampir semua di Pulau Jawa ada petilasan Situs Semar baik sejak peradaban Sunda dahulu, maupun dalam Babad Jawa. Menurut sesepuh PLB Drs. Wisahya, “Situs purbakala ini, lebih tua dari situs aji putih maupun situs resi putih (Arya Bimaraksa). Awal mulanya ada CIPAKU dari Buyut Semar ini, entah siapa yang menanamkan Batu Situs Semar tersebut, tidak ada yang mengetahuinya”.

Dalam keyakinan penganut Kapitayan, leluhur yang pertama kali sebagai penyebar Kapitayan adalah Dang Hyang Semar, Putra Sanghyang Wungkuhan keturunan Sang Hyang Ismaya. Mereka mengungsi ke Nusantara bersama saudaranya, Sang Hantaga atau Togog akibat banjir besar di negara asalnya dan akhirnya Semar tinggal di Jawa sedangkan Togog di luar Jawa. Sedangkan saudaranya yang lain yaitu Sang Hyang Manikmaya menjadi penguasa alam Ghaib kediaman para leluhur yang disebut Ka-Hyang-an (Kahyangan.)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
5
Ingin Tahu
13
Senang
3
Terhibur
5
Terinspirasi
7
Terkejut
3
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top