Gus Dur mengemuka sebagai tokoh publik lebih lantaran sikap slenge’an-nya dan bukan karena lelaku normatifnya.
Sebagai bagian dari trah bangsawan pesantren tradisional tak sedikit dan tak jarang sepak terjang Gus Dur keluar dari pakem tradisional — sebagai fakta atau korban plintiran media massa.
Heboh “selamat pagi” menggantikan “assalamu’alaikum”, menerima azas tunggal Pancasila maupun merajut hubungan diplomatik dengan Israel adalah hanya beberapa contoh sikap slenge’an atau di luar jalur utama yang ditempuh Gus Dur.
Watak easy going, tak suka formalitas dan tendensi humor kelas tinggi Gus Dur amat mencolok. Kesan teaterikalnya sebagai figur publik memancing rasa ingin tahu khalayak.
Di tengah kebingungan nasional atas berbagai isu dan polemik yang memancing kegaduhan khalayak, Gus Dur hadir dengan mantra masyhurnya: “Gitu aja kok repot”.
Semua klise di atas adalah standar kenormalan bagi Gus Dur.
Gus Dur adalah pemberontak yang kocak. Publik seperti bersepakat menunggu lelucon Gus Dur dalam setiap kesempatan. Namun sikap antagonisnya sering menimbulkan tak sedikit kebencian banyak pihak kepada dirinya.
Publik Gus Dur lintas segmen. Yang serius maupun yang cengengesan bisa terakomodir semua.
Dalam seni dan budaya, agama maupun politik amat lincah Gus Dur dan signifikan berkiprah dan menjadi aktor utama. Ia adalah bintang di banyak ruang dan isu.
Lalu siapakah Gus Dur sebenarnya?
Sebutan Bapak Bangsa atau julukan-julukan besar lain yang dilekatkan padanya tampaknya terlampau formil dan normatif.
Gus Dur adalah sesuatu — ini atau itu dan bukan ini atau itu semua.
Justru karena tak menempati suatu ruang tertentu Gus Dur bisa berada di mana saja. Ia tak berusaha membangun predikat khusus. Ia meluas dan menembus batas-batas.
Gus Dur adalah makhluk generik. Ia lebih intuitif ketimbang konseptual. Barangkali ia “seniman sosial” dengan kreativitas besar dan tak terduga bentuk dan arahnya.
Dengan bercelana pendek, Gus Dur berdiri di teras istana negara. Betapa slenge’an performa ini bagi seorang presiden dan pembesar umat.
Dalam beragam dimensinya, Gus Dur sangat perlu ditiru dan sekaligus tidak sama sekali. Ambuitas dan ambivalensi ini hanya bisa bijaksana diterima oleh mereka yang tak terjangkiti kultus buta padanya.