Sedang Membaca
Telah Terbit Ensiklopedia Ulama Penulis Kitab Karya Gus Nanal
Rijal Mumazziq Z
Penulis Kolom

Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah Kencong Jember

Telah Terbit Ensiklopedia Ulama Penulis Kitab Karya Gus Nanal

Whatsapp Image 2020 05 29 At 7.30.01 Pm

Ketika menyampaikan makalah berjudul Melacak Genealogi Tasawuf Imam al-Ghazali di Nusantara dalam Seminar “Kefahaman Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah dan Pemikiran Semasa 2019” di Kolej Universiti Perguruan Ugama (KUPU) Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, Kamis Pahing, 14 Dzulhijjah 1440 H bertepatan dengan 15 Agustus 2019, saya menyebut nama Ajengan Ginanjar Sya’ban, Ustadz Ahmad Fauzi Ilyas, dan Gus Nanal Ainal Fauz.

Ketiga nama ini saya sebut sebagai anak-anak muda yang konsen di bidang turats klasik warisan ulama Nusantara. Mereka juga sudah membukukan hasil penelitiannya. Ajengan Ginanjar Sya’ban melaluui Mahakarya Ulama Nusantara yang berisi ulasan berbagai kitab karya ulama kita. Sedangkan Ustadz Ahmad Fauzi Ilyas menorehkan dua karya, Warisan Ulama Nusantara: Tokoh, Karya dan Pemikiran dan Pustaka Naskah Ulama Nusantara: Fatwa, Polemik, Sanad Ijazah dan Korespondensi.

Jika karya pertama berisi ulasan atas karya ulama kita, maka karya kedua berisi daftar 700 kitab yang ditulis oleh 241 ulama Nusantara dalam bahasa Arab, Jawa, Melayu, Indonesia dan sedikit Pegon Sunda.

Berbagai karya dalam buku tersebut dijelaskan secara sistematis dengan menampilkan judul kitab, kandungan, alasan penulisan, tebal, bahasa dan tulisan, penerbit dan tahun terbit, tahun selesai penulisan, pentashhih naskah, pemberi kata pujian/endorsmen/taqridz, diperoleh dari, dan pengoleksi.

Buku karya Ustadz Fauzi Ilyas ini melengkapi dan melanjutkan buku karya Wan Mohammad Shaghir Abdullah, pendiri Khazanah Fathaniyah Kuala Lumpur, yang berjudul Katalog Karya Melayu Klasik yang berhasil memuat 2000 naskah kitab.

Setelah menyebut nama dua orang ini, saya melanjutkan satu nama lagi. Gus Nanal Ainal Fauz. Masih muda, punya kegemaran melacak berbagai karya ulama Nusantara sekaligus mengkoleksi dan mengkajinya.

Bahkan, saking cintanya pada karya ulama Nusantara, ketika menikah pun dia memberikan mahar berupa kitab-kitab klasik kepada istrinya. Selanjutnya, Gus Nanal semakin kecanduan mengkoleksi kitab-kitab langka ini, hingga hari ini.

Bagi saya kegemaran ini unik. Di saat beberapa orang sudah hampir melupakan karya-karya ulama Nusantara di masa lalu, mereka ini memilih memburunya. Mengkajinya, lantas menyajikan hasil kajiannya ini kepada khalayak. Yang sebelumnya meremehkan karya ulama kita, kini menghormati dan membukanya kembali. Yang sebelumnya tidak tahu, akhirnya tahu. Yang pada mulanya enggan mengkaji, kini mulai jatuh hati. Dan seterusnya. Dampaknya sangat keren!

***

Ketika pada akhirnya Gus Nanal menerbitkan karya ini, saya bersyukur. Sebab, kitab ini memberikan perspektif baru tentang tsabat, sebuah kodifikasi jalur keilmuan alias sanad. Tsabat, yang berarti hujjah, adalah sebuah buku yang memuat matarantai intelektual penulisnya.  Selain Tsabat, para ulama menyebutnya dengan istilah lain, yaitu Fahras.

Banyak ulama memiliki tsabat, namun keberadaannya tidak begitu populer. Misalnya, Tsabat milik Syakh Mahfudz Attarmasi yang berjudul Kifayat al-Mustafid, juga tsabat milik Syekh Muhammad Zainuddin Abdul Majid (1898-1997), pendiri ormas Nahdlatul Wathan, yang berjudul Tsabat al-Farid fi Asanid As-Syekh Ibni Abdil Majid. Karya ini ditarkhrij oleh cucunya, Dr. Tuan Guru Abdul Aziz Sukarnawadi.

Baca juga:  Kisah Tiga Sufi Besar yang Miskin

Syekh Yasin bin Isa al-Fadani bahkan menghimpun sanad ulama Nusantara dalam al-‘Iqd al-Farid min Jawahir al-Asanid. Dari tiga kitab ini saja bisa terlacak jejaring internasional para ulama Nusantara. Selain itu, kumpulan sanad ini membuktikan reputasi pemiliknya. Kepada siapa dia belajar, kitab apa yang dipelajari, bahkan era ketika dia berguru. Semua ada catatannya. Komplit.

Keberadaan sanad alias transmisi intelektual dan ijazah (lisensi ilmiah) merupakan tradisi Islam yang terwariskan secara turun temurun, dari generasi ke generasi, dari satu era ke zaman berikutnya. Sanad menyambungkan seseorang dengan gurunya dalam jalur transmisi keilmuan, yang bersambung terus dengan gurunya guru, terus kepada gurunya, dan berakhir pada penulis kitabnya.

Sedangkan ijazah merupakan lisensi atau izin yang diberikan oleh guru kepada muridnya, sehingga dia bisa meriwayatkan atau mengajarkan apa yang telah dia dapat dari gurunya tersebut. Jadi, dalam tradisi intelektual Islam ini, ijazah bukan dipahami sebagai “selembar tanda kelulusan” sebagaimana yang dipahami masyarakat di dunia pendidikan pada saat ini. Jadi, berbeda jauh. Meskipun tentu saja istilah “ijazah” yang ada saat ini juga diserap dari tradisi keilmuan Islam.

Perkara sanad dan ijazah ini, jika diibaratkan, persis kisah pesilat yang berguru kepada pendekar. Si pendekar tentu saja belajar jurus kepada gurunya, dan gurunya belajar lagi kepada gurunya, seterusnya hingga kepada pencipta jurus itu sendiri. Sedangkan izin akan diberikan oleh si pendekar manakala si pesilat sudah menguasai berbagai jurus, punya fisik dan mentalitas tangguh, serta punya emosi yang stabil ditunjang dengan etika yang bagus. Guru akan menilai kelayakan muridnya ini sebelum memberikan ijazah. Hal ini diberlakukan untuk menjaga konsistensi gerakan dan pola jurus, hingga tetap sesuai dengan yang diajarkan oleh master atau pencipta jurusnya.

Demikian pula dalam aspek keilmuan agama. Standarisasi ini diberlakukan agar orang tidak sembarangan belajar atau mencari guru, atau orang tidak sembrono mengajarkan ilmunya. Semua ada aturannya. Bukan mempersulit, tetapi untuk menjaga keberlangsungan keilmuan Islam agar tidak melenceng dari relnya.

Ketika Gus Nanal Ainal Fauz menerbitkan karyanya, Ats-Tsabat al-Indonesiy, pada bulan April lalu, saya takjub. Kagum. Kiai muda yang bukan hanya telaten mengumpulkan dan mempelajari karya ulama Nusantara, melainkan juga rajin mencatat dari dan kepada siapa dia belajar, sekaligus menyusun matarantai sanad keilmuannya. Istimewa!

Dalam kitab setebal 185 halaman ini, Gus Nanal memang mengurutkan secara kronologis berdasarkan era hidup muallif-nya. Sistematika ini sangat membantu pembaca, sebab tidak perlu ribet dengan urusan melacak kurun, melainkan langsung melihat nama ulama yang diurutkan dan di dalamnya disertakan tahun wafat berdasarkan kalender hijriyah. Gus Nanal mengawalinya melalui Syekh Abdusshamad al-Falimbani, yang wafat pada 1203 H, berikut berbagai karya-karyanya, dan tentu saja dari siapa Gus Nanal memperoleh transmisi keilmuan ini. Gus Nanal mengakhirinya dengan menuliskan berbagai karya Dr. Luqman Hakim al-Indonesiy yang berasal dari NTB, dan KH. Rizqi Dzulqarnain al-Batawiy, Jakarta.

Baca juga:  Memandang Perempuan sebagai Manusia Seutuhnya

Jika dicermati, ada beberapa pola pengambilan sanad yang dilakukan penulisnya. Pertama, Gus Nanal mengambil sanad secara langsung kepada para penulis yang masih hidup. Misalnya, kepada KH. Najih Maimoen Zubair, KH. Zuhrul Anam Hisyam, KH. Afifuddin Muhajir, KH. Afifuddin Dimyathi, Dr, Luqman Hakim al-Indonesiy, dan sebagainya.

Kedua, melalui jalur melingkar. Kitab ulama Indonesia, tetapi sanad-nya disambungkan oleh ulama Yaman, Suriah (Syam) dan Mesir. Contoh, dalam mengambil sanad berbagai karya Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang, Jakarta, Gus Nanal memperolehnya dari Habib Salim Asy-Syathiri, Tarim, Hadramaut. Demikian pula dengan sanad kitab Irsyadus Sari karya pendiri NU. Selain dari jalur KH. Fathurrahman Sarang, dari ayahnya, KH. Ali Masyfu’; dari ayahnya, KH. Fathurrahman; yang meraihnya dari KH.M. Hasyim Asy’ari, Gus Nanal juga memperoleh transmisi kumpulan kitab ini melalui jalur Habib Salim As-Syathiri yang memperolehnya dari Syekh Yasin bin Isa al-Fadani, dari KH. M. Hasyim Asy’ari.

Selain itu, Gus Nanal justru mengakses sanad kitab-kitab karya Syekh Mahfudz Attarmasi melalui gurunya, Syekh Syadi Arbas ad-Dimasyqi, Suriah; dari Syekh Hasan Hitou, yang memperolehnya dari Syekh Yasin bin Isa al-Fadani, dari Syekh Hasan bin Abdussyakur Assurbawi dan Syekh Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari, dari Syekh Mahfudz Attarmasi. Dari jalur Hadramaut, Gus Nanal meraihnya dari Habib Salim Asy-Syathiri, Yaman. Inilah istimewanya. Transmisi dobel.

Selain dari jalur ulama Yaman dan Suriah, ada juga dari ulama Mesir. Dalam hal ini Gus Nanal mengambil sanad karya Syekh Arsyad Thawil al-Bantani melalui jalur Syekh Hisyam Bahriyah al-Mishri, juga sekaligus dari KH. Najih Maimoen Zubair dari Syekh Yasin al-Fadani.

Yang unik, meskipun trasmiternya dari luar negeri, baik Yaman, Suriah, maupun Mesir, “cantolan”-nya tetap pada jalur Syekh Yasin bin Isa al-Fadani. Dari sini sudah jelas dan terang benderang alasan kenapa ulama keturunan Minangkabau ini disebut sebagai al-Musnid ad-Dunya.

Ketiga, para ulama yang ada di dalam kitab ini semuanya adalah pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah, Asyairah, Maturidiyyah, ‘ala madzahib al-arba’ah, dan shufiyah. Jadi, kita tidak akan menjumpai ulama Wahabi, Syiah, atau kelompok menyimpang lain.

Keempat, karena Gus Nanal pernah belajar di STAI Imam Syafi’i Cianjur, dia pun mengakses dua gurunya sebagai transmiter sanad. Di kampus ini, dia ditempa oleh jaringan ulama Suriah. Antara lain Syekh Syadi Arbas ad-Dimasyqi dan Syekh Hasan Hitou. Nama terakhir ini istimewa. Selain menguasai beberapa bahasa asing seperti Inggris dan Jerman, Syekh Hasan Hitou sampai saat ini menulis Ensiklopedi Imam Syafii. Proyek intelektual ini sudah dia mulai sejak 1989, dan tetap berlangsung hingga saat ini. Syekh Hasan Hitou mentargetkan karya monumental ini sebanyak 160 jilid, dan sekarang yang sudah diselesaikan mencapai 70 jilid. Luar biasa! Baik Syekh Hasan Hitou dan Syekh Syadi Arbas Ad-Dimasyqi, keduanya menjadi bagian dari transmisi sanad beberapa kitab yang ditelusuri oleh Gus Nanal.

Baca juga:  Mengenal Baharthah: Sang Saudagar Kitab

Kelima, ada beberapa nama ulama yang dijadikan sandaran transmisi sanad oleh Gus Nanal. Misalnya, guru saya, KH. Achmad Sadid Jauhari. Pengasuh PP. Assunniyyah, Kencong Jember ini memberikan jalur sanad beberapa ulama. Di antaranya,jalur Sykeh Yasin al-Fadani, Syekh Zainuddin al-Baweyani, Syekh Nahrawi Banyumasi, Syekh Maimoen Zubair, dan Syekh Nawawi al-Bantani.

Kitab-kitab karya Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani diijazahkan oleh Kiai Sadid Jauhari (dan KH. Ahmad Barizi Madura), dimana beliau berdua memperolehnya dari Syekh Yasin bin Isa al-Fadani, dari Tubagus Ahmad Bakri Sempur (Mama Sempur, Purwakarta), dari Syekh Muhammad Abdul Haq, cucu Syekh Nawawi, dari kakeknya.

Selain Kiai Sadid, beberapa nama ulama lain yang menjadi sumber perolehan sanad adalah KH. Ahmad Barizi Muhammad Fathullah, Lanbulan, Sampang Madura, yang juga merupakan seorang penulis kitab produktif, serta KH. Ahmad Marwazi, Jakarta, yang merupakan santri Syekh Yasin bin Isa al-Fadani.

Upaya yang dilakukan oleh Gus Nanal ini harus diapresiasi. Selain kurang lebih 1000 judul karya yang dihimpun dari 90 ulama Nusantara, kiprahnya dalam menelusuri berbagai karya ulama Nusantara, lampau maupun kini, menjadi salah satu proyek prestisius yang dia jalani dengan dana pribadi. Apalagi, kegemarannya mengumpulkan karya ini juga membuatnya kerap melakukan rihlah ilmiah ke berbagai daerah di tanah air dengan tujuan sowan kepada muallif kitab, sekaligus meminta ijazah kepadanya.

Akhirnya, meminjam analisis KH. M. Afifuddin Dimyathi, setidaknya ada tiga sifat keutamaan yang layak disematkan pada kitab ini. Pertama, Informatif: karena kitab ini memberi informasi-informasi berharga tentang karya-karya ulama Nusantara di berbagai bidang. Kedua, inovatif. Karena dalam cara penyajiannya diurutkan berdasarkan tahun wafat muallif juga disertai sanad kepadanya sehingga membantu mengetahui peta keilmuan ulama Nusantara sepanjang sejarah, juga mempertahankan tradisi periwayatan dalam Islam. Ketiga, motivatif, karena kitab ini memberi semangan generasi milenial untuk mengikuti jejak mereka dalam berkarya dalam bahasa al-Qur’an dan As-Sunnah. Wallahu A’lam Bisshawab

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top