Sedang Membaca
Gus Dur, Ali Asghar dan Mie Instan Jepang
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Gus Dur, Ali Asghar dan Mie Instan Jepang

Waktu itu akhir Desember 1996. Gus Dur diundang oleh salah satu lembaga milik Kementerian Luar Negeri Jepang, Japanese Institute for International Relations (JIIR) ke Tokyo untuk sebuah seminar internasional mengenai Islam.

Gus Dur dan saya sampai di Hotel Okura sekitar jam 10.30 setelah dijemput dari Narita menggunakan Limousine dan menempuh perjalanan sekitar 2 jam. Begitu tiba, kami berdua, terutama saya, langsung merasa rada “intimidated” dengan Hotel yang begitu wah dan pelayanan ala Jepang yang super sopan dan halus, tapi luar biasa efsien dan efektif! Lebih “seru” lagi ketika Gus Dur mau mengajak makan siang dan memeriksa buku menu room service hotel.

Saya rasanya shock melihat harga yang tertera di sana, sampai Gus Dur pun tersenyum-senyum. “Mahal ya Kang, makan di Hotel mewah ini.” Kata beliau.

Saya bilang, “Kalau mahal itu fitnah, gus. Yang bener suuangat mahal!” dan kami berdua pun ngakak!

“Tapi Gus, sebenarnya kita ini kan ditanggung untuk makannya juga.” Kata saya

“Iya, tapi sampeyan lihat kan kita ini belum masuk jam makan siang, dan ini belum dicover. Makanya kita tadi disangoni panitia untuk makan pagi dan siang kalau masih belum di atur panitia.” Kata Gus Dur.

“Bener Gus, tapi kok mahal begini ya, jangan-jangan sangu yang diberikan gak cukup. Lihat saja, sarapan kontinental ala Amerika aja sekian ribu Yen. Kalau makan siang lebih mengerikan lagi, Gus.” Saya bilang.

Baca juga:  Pelopor Modernisasi Pendidikan Islam (2): Muhammad Abduh

“Sudah gini saja Kang. Kita jalan-jalan saja keluar Hotel, cari warung kecil khas Jepang. Mungkin nanti ada yang lebih murah. Sangunya nanti kita simpan buat beli oleh-oleh…” Kata Gus Dur.

“Oke Gus, saya ndherek saja…”

Maka jalanlah kami berdua keluar Hotel agak jauh di depan Kedubes AS. ternyata GD benar, ada sederetan restoran Jepang yang mungil-mungil yang menjajakan makanan seperti bento, ramen, shusi, yosenabe, di samping makanan dalam kotak seperti mie cup ala Jepang (ramen), dsb. Kami berdua masuk dan memesan yosenabe (sup ikan) dan beberapa potong sushi serta ocha (teh) panas. Lumayan juga bisa makan kenyang dengan harga jauh sekali di bawah menu Hotel Okura.

“Nah, Kang. Kita kan gak perlu pesen makanan di Hotel. Kita beli saja mie cup beberapa dan nati kalau lapar kita makan di kamar. Ngirit uang sangu kan…”

“Sip lah Gus, saya juga suka model mie cup ini kok.” Jawab saya. Dan kami lalu membeli bebrapa biji mie cup dan dimasukkan ke tas plastik putih, terus kembali ke hotel. (Terus terang saya agak malu juga membawa tas plastik berisi mie cup karena sangat tidak pas dalam lingkungan yang demikian kontras! Tapi karena Gus Dur cuek saja, maka saya pun gak mau mikirin..)

Baru saja kami akan masuk lift, tiba-tba ada suara memanggil GD, dan ketika kami menengok ternyata ada orang berbaju India warna putih berlari kecil menghampiri Gus Dur.

Baca juga:  Syekh Yusuf al-Makassari dan Karyanya (3): Zubdatul Asrar fi Tahqiq Ba’dh Masyrabil Akhyar

“Gus Dur, wait up!…”

“Oh, Masya Allah, Dr. Ali Asghar, how’ve you been?” (Apa kabar Dr Ali Asghar) Gus Dur menyalami orang itu. Dia adalah pemikir dari India yang cukup terkenal. Namanya dikenal juga dengan Ali Asghar Engeener.

“You just coming in or you’re alreday here for several days?” Tanya Dr. Ali (Anda baru saja sampai atau sudah beberapa hari disini?)

“We’re just in a couple of hours ago and came back from lunch.” Gus Dur mengatakan bahwa kami baru sampai dan barusan makan siang.

“Oh, I should have been go to lunch with you, Gus. I really am starving, but couldn’t eat here in the Hotel. The price’s crazy!” Kata AA, yang mengatakan bhw beliau gak mungkin makan siang di hotel, karena harganya edan-edanan. (Kami pun tertawa bareng)

“Oh, by the way Doctor, this is Dr. Hikam, my colleague from Jakarta. He’s just graduated from the US and work at LIPI. Of course, he’s a NU too, hehehe..” Kata Gus Dur mengenalkan saya yang lalu saling bersalaman. Saya lihat Gus Dur sangat gembira bertemu Dr. AA di sini dan langsung kumat penyakit guyonnya.

“Begini Dr Ali. Kita tadi keluar Hotel juga karena harga makanan di sini gila-gilaan. Daripada uang sangu kita bayar ke hotel lebih baik kita makan di warung kecil saja. Jadi sekarang, saya dan Kang Hikam ini ikut gerombolan Abu Noodle, bukan Abu Nidal teroris… Hahahaha…” (Saya dan Dr AA juga cekakakan karena GD memelesetkan nama tokoh teroris Palestina dengan mie cup).

Baca juga:  Satu Dekade Berpulangnya Gus Dur: Mari Merawat Kebudayaan yang Melestarikan Kemanusiaan

“Wah kalau begitu saya juga harus jadi anggota grup Abu Noodle, dong. Dimana tempatnya?”

Gus Dur pun memberi tahu tempatnya.

Malamnya, ketika ada resepsi “mewah” yang dihadiri oleh Menlu, kami bertiga duduk di meja yang sama. Baru saja duduk, Dr. Ali Ashghar sudah menepuk bahu Gus Dur.

“Gus Dur, saya sekarang resmi jadi anggota kelompok Abu Noodle. Tadi siang saya juga beli beberapa mie cup dan saya akan makan itu saja, kecuali ada makan gratis seperti malam ini, hehehe…”

Saya benar-benar terpesona dengan keakraban beliau berdua yang dalam keadaan apapun selalu tak melupakan humor. Malam itu Gus Dur diminta memberi sambutan utama dalam resepsi disusul oleh yang lain, termasuk Dr. Ali. Beliau bilang sama saya, “Indonesia sangat beruntung punya Gus Dur.”

Saya jawab, “India juga sangat beruntung punya anda, Dr. Ali.” (RM)

(Sumber: Buku Gus Durku Gus Dur Anda Gus Dur Kita, Penulis Muhammad AS Hikam, Penerbit Yrama Widya, 2013)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top