Sedang Membaca
Belajar Setia kepada Matahari
Ali Usman
Penulis Kolom

Menulis tema-tema agama dan politik. Pengurus Lakpesdam PWNU DIY.

Belajar Setia kepada Matahari

Matahari, menurut para ahli bijak, merupakan simbol kesetiaan. Ia menyinari bumi beserta isinya, termasuk manusia, telah berlangsung sejak milyaran tahun lalu hingga sekarang yang tak pernah pupus oleh waktu, kecuali pada saatnya nanti di akhir zaman, yang oleh doktrin agama disebut kiamat.

Dan mungkin saja, saat kiamat itu, (potensi) cahaya matahari akan sirna, atau siklusnya berubah, terbit dari barat dan terbenam di timur. Hanya Tuhan yang tahu atas kuasa-Nya. Kata Albert Schweitzer, pemenang hadiah Nobel Perdamaian tahun 1952, “Manusia mempunyai banyak pengetahuan, tetapi soal rahasia di balik penciptaan hanya menjadi monopoli Sang Ilahi”.

Tapi sejauh ini, matahari tak pernah ingkar janji, selalu setia terbit dari timur dan terbenam di barat. Ia juga menjadi simbol cinta, yang meski menerangi dari jarak sangat jauh dari bumi, dengan jarak rata-rata 149.680.000 km (93.026.724 mil), sinarnya memberi rasa hangat yang cukup proporsional. Andai saja, jarak itu bertambah atau berkurang, mungkin akan menimbulkan cuaca yang semakin panas dan dingin melebihi kondisi sekarang.

Internalisasi terhadap matahari melahirkan berbagai mitologi dalam kepercayaan agama-agama di berbagai pengalaman negara dunia, dari Yunani, Mesir, Jepang, hingga Indonesia. Istilah yang populer, misalnya, dikenal “dewa/dewi matahari”, yang menunjukkan pada kekuatan dan perlindungan.

Baca juga:  Orientasi Politik NU Menyehatkan Demokrasi

Dalam kepercayaan agama Hindu, dikenal Surya, yang juga diadaptasi ke dalam dunia pewayangan sebagai dewa yang menguasai atau mengatur tata surya atau matahari, dan diberi gelar “Batara”. Surya digambarkan sebagai seorang pria bercahaya indah dengan rambut serta lengan emas berkilau.

Surya memiliki tunggangan berupa kereta yang ditarik oleh tujuh kuda yang memiliki warna seperti tujuh warna pelangi. Ia memiliki berbagai nama lain dan kadang dikaitkan dengan dewa Wisnu atau Siwa.

Surya digambarkan dengan dua atau empat lengan. Biasanya memegang dua bunga teratai, dan ketika dalam empat lengan, dia akan memegang cangkang keong, bunga teratai, chakra, dan simbol perlindungan.

 

Merenung matahari

Usaha untuk melakukan internalisasi pada sub ciptaan Tuhan ini tentu bergantung pada selain pengalaman sosial, juga ketajaman rasa, taste masing-masing individu. Sebab ada orang atau kelompok, yang tidak punya sensitivitas dalam merefleksikan ciptaan Tuhan. Apa yang dilihat dan dirasakannya tak pernah membekas dalam renungan.

Padahal jika ia seorang muslim, Allah Swt. menyindir dengan ungkapan, afala ta’qilun, afala tafakkarun, afala tadabbarun? Di sinilah, setiap individu memiliki pengalaman yang berbeda, meski kadang sama-sama melakukan perenungan.

Aktivitas berpikir merupakan penanda seorang yang berakal sehat. Berpikir, melahirkan imajinasi kebahagiaan, atau bisa sebaliknya. Pikiran manusia, bahkan, menurut John Milton, dapat menciptakan surga atau neraka.

Baca juga:  Ulama Adil dan Ulama Fasik

Kembali pada perenungan matahari. Bahwa dalam keseharian, terdapat keluarga yang menjadikan inspirasi matahari sebagai simbol kebahagiaan, kerukunan, dan keharmonisan. Ada ungkapan begini, “Suami membangun rumah, tetapi si istri yang membawa matahari ke dalam rumah”.

Mengapa matahari? Lord Byron (1788-1824), penyair Inggris, menulis, “Apabila matahari tertawa, jiwaku lebih mendekat kepada Tuhan”. Mencoba ikut alur ungkapan ini, maka, jika matahari tak tampak di langit, kita sendirilah yang mestinya menjadi matahari itu.

Namun di Inggris, berdasarkan pengalaman Stephie Kleden-Beetz (2001), cuacanya selalu dibalut kabut dan tak putus dirundung hujan. Cuaca bagus, mataharilah sinonimnya. Maka ulang tahun sangr Ratu Inggris, yang jatuh pada bulan April, selalu baru dirayakan dengan meriah pada bulan Juni, justru karena menanti matahari. Ketika lagu pop Sombre dimanche (hari Minggu kelabu) jadi hit di Perancis, konon banyak orang bunuh diri. Cuaca, menjadi biang keladinya.

Penyair Sapardi Djoko Damono mengabadikan kesannya pada matahari ke dalam sebuah sajak berjudul, “Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari”.

Waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang

Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan

Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan baying-bayang

Aku dan baying-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.

Merenungi matahari, bagi Sapardi Djoko Damono, tulis Ignas Kleden (2011) membawa pesan kuat tentang kerukunan, damai, dan kerendahan hati. Kepada matahari, kita terinspirasi arti loyalitas, keharmonisan, disiplin, tanggung jawab, dan lain sebagainya.

Baca juga:  Integrasi Kalam Asy’ariyah dan Maturidiyah pada Manhaj Teologis Nahdlatul Ulama

Kita, dalam kapasitas apapun, perlu belajar dari matahari, dan jadilah matahari!

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top