Membaca sajian khusus edisi ke-22 kali ini, kita seakan-akan diberi jalan pintas dalam memahami dan mengenal hakikat ketuhanan. Kalau bahasa komputernya, kita diberi semacam shortcut, yang kita klik, bisa langsung menuju pengetahuan tentang jati diri Sang Maha Karya.
Nur Ahmad, seorang alumus dari Master’s Vrije Universiteit Amsterdam dan juga Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo Semarang ini telah berhasil membuat sajian khusus benar-benar spesial. Tulisan-tulisannya selalu diawali dengan pengalaman hidup, lahir-batin, yang dialaminya. Itulah kesenian dia dalam mengenalkan pembaca kepada hakikat ketuhanan.
Dalam membincang “Ekspresi Sufistik dalam Puisi Tradisional Jawa”. Kita dikenalkan dengan suluk dan beragam ekspresinya; apa itu suluk? Bagaimana genealoginya di tanah Jawa ini? kemudian merambah kepada pengenalan ushul-suluk ihya (prinsip tasawuf) dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali. Tidak hanya itu, Nur Ahmad juga mencontohkan Suluk Wujil, suluk yang menjadi ajaran Sunan Bonang, untuk mengenal Tuhan. Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu. “Barangsiapa mengenal dirinya, maka sungguh dia mengenal Tuhannya”.
Begitulah ekspresi ajaran Islam yang tersebar melalui cara-cara puitis. Ajarannya penuh dengan penghayatan yang mendalam. Dalam salat misalnya, tidak cukup kalau hanya sekadar gerak tubuh dan bacaannya. Nur Ahmad menambahkan, “seorang perlu berlatih untuk mengingat Tuhan dalam sembahyang. Jika tidak, mungkin sembah seorang masih seperti anak-anak. Hanya memperhatikan bacaan tanpa makna. Hanya mengawasi gerak tubuh tanpa jiwa”. Sembahyang manusia adalah proses untuk kembali mengingat prosesi azali. Sebuah ketundukan. Pengakuan akan Pencipta dan kemahakuasaan-Nya.
Di akhir tulisan–bagian ke lima–Nur Ahmad menutupnya dengan membabar tentang pentingnya keharmonian antar disiplin ilmu pengetahuan dalam ajaran Islam, khususnya melalui suluk. Yakni antara syariat dan hakikat, fikih dan tasawuf, keduanya harus harmoni, selaras dalam keilmuan umat Islam. Jika keduanya telah dikuasai oleh salik (penempuh jalan suluk), ia akan menjadi manusia yang paripurna, sudah selesai dengan urusan printilan dunia. Namun, harmoni inilah yang nampaknya hilang dari tubuh keislaman kita hari ini.
Bahkan, Syekh Yusuf al-Makassari al-Bantani pernah mengingatkan, “Siapa yang belajar ilmu syariah (fikih) namun tidak belajar ilmu hakikat (tasawuf) maka dia fasik; siapa yang belajar ilmu hakikat namun tidak belajar ilmu syariah maka dia zindik; namun siapa yang harmoni dalam pemahaman ilmu syariah dan ilmu hakikat maka dia telah menjadi sempurna dalam keyakinannya”
Terima kasih Nur Ahmad, sudah menyuguhkan tulisan yang bergizi dan nikmat. Sebagaimana sirup dan es, yang dituangkan ketika musim kemarau disaat kekeringan tiba. Bacaan ini menjadi hidangan yang menyegarkan.
Terima kasih juga kepada ilustrator dan pembaca setia Alif.ID, yang selalu memberikan dukungan kepada kami untuk terus berkembang sebagai media yang menyediakan bacaan-bacaan yang seru dan menyenangkan tentang keislaman dan kebudayaan.
Salam hangat dari kami, selamat membaca!
Redaksi