Sedang Membaca
Santri Sebagai Pilar Perdamaian
Qonita Khoirunnisa
Penulis Kolom

Siswi MA Ali Maksum Yogyakarta. Hobi menulis dan berenang. Cita-cita pengusaha yang hafidzah.

Santri Sebagai Pilar Perdamaian

Pengantar: Sejak 21 Januari 2019 kami menurunkan 20 esai terbaik yang tersaring dari Sayembara Esai Tingkat SMA/Sederajat pada akhir tahun 2018. Setelah pemuatan lima besar, 15 esai berikutnya dimuat berdasarkan urutan abjad nama penulisnya.

——-

Disebabkan, santriwati harus mengikuti kegiatan pesantren,  juga harus menyelesaikan karya tulis di madrasah untuk syarat mengikuti ujian akhir semester (UAS), maka saya sangat sibuk. Akan tetapi, Pondok Pesantren Krapyak yang menyediakan komputer untuk mengakses sejumlah informasi, membuat saya tidak kalah update dengan pelajar di luar pondok pesantren.

Selanjutnya, karena saya mengikuti program ungulan jurnalistik, saya mendapat tugas untuk mencari informasi seputar dunia luar, yakni masalah terorisme yang makin banyak memakan korban dan mempengaruhi pola pikir masyarakat Islam di Indonesia khususnya. Saya pun coba mencari tahu lebih dalam apa yang mendorong para penganut paham ekstrimisme tersebut. Dari sinilah saya mencoba merangkai tulisan ini.

Menurut saya, para penganut paham ekstrimisme tidak akan terjerumus jika mereka mendapat pemahaman Islam secara benar. Artinya, tidak hanya membaca dalil-dalil keagamaan secara tekstual saja. Walaupun memang pada kenyataannya tidak semua orang yang memiliki paham ekstrimisme agama berujung pada aksi terorisme. Akan tetapi, cikal bakal terorisme sangat mungkin melewati paham ekstrimisme terlebih dahulu.

Menurut Siti Muyassarotul Hafidzah dalam tulisannya yang diterbitkan oleh buletin Rahima,  karakter paham ekstrimisme cenderung ingin mengubah dasar negara, memosisikan masyarakat yang terbuka menjadi masyarakat yang eksklusif dan tertutup.

Ini sesungguhnya bertentangan dengan nalar Islam yang dibangun oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Ajaran yang didakwahkan Rasulullah Saw adalah mengagungkan perdamaian dan kesetaraan serta mengutamakan toleransi dan saling menghargai. Ajaran tersebut sering kita kenal dengan rahmatan lil ‘alamin.

Kemudian jika saya merenungi nasib Indonesia sekaligus nasib Islam, generasi unggul sangatlah dinantikan. Mengingat Indonesia memiliki impian sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr  yakni  negara yang baik dan penuh ampunan. Sebagaimana menurut Ustadz Musyafa. Lc, “negeri yang baik” bisa mencakup seluruh kebaikan alamnya, dan “Rabb Yang Maha Pengampun” bisa mencakup seluruh kebaikan perilaku penduduknya sehingga mendatangkan ampunan dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala , Rabb alam semesta.

Baca juga:  Nietzsche, Islam, dan Bias Orientalisme: Tanggapan terhadap Ahsan Rasyid

Lantas, siapakah generasi unggul itu? Rasanya bukan mereka yang suka berfoya-foya, bermalas-malasan, dan tidak peduli dengan permasalahan agama dan negara. Apakah mereka yang memiliki segudang ilmu duniawi?

Ya. Mungkin Indonesia membutuhkan mereka. Tapi bagaimana untuk nasib Islam? Karena untuk menciptakan perdamaian terkait masalah terorisme, Islam membutuhkan generasi yang tak hanya unggul dalam ilmu dunia nya tapi juga unggul dari segi agama.

Satu generasi unggul yang saya maksud dan harapkan bisa memenuhi kriteria adalah santri. Dengan demikian, saya ingin mengatakan kepada dunia bahwa santri memang harus dipertahankan eksistensinya. Karena santri memiliki kecintaan yang besar terhadap ilmu dan agama serta mencintai bangsa dan negara. Dengan ditetapkannya hari santri pada 22 Oktober, kita dapat melihat penghargaan yang diberikan oleh pemerintar kepada santri nusantara.

Syi’ir Alala

Kembali pada paham ekstrimisme, untuk memahami agama secara mendalam dan membuktikan cintanya pada Islam dan Indonesia, kami sebagai santri nusantara menerapkannya berdasarkan teori syi’ir alala yang berisi sebagai berikut :

اَلَا لَاتَنَالُ العِلْمَ اِلَّابِسِتَّةِ   #  سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَابِبَيَانِ

ذُكَاءِوَحِرْصٍ وَاصْطِبَارٍوَبُلْغَةٍ  #  وَإِرْشَادِأُسْتَاذِوَطُوْلِ زَمَانِ

Yang maksudnya, dalam menuntut ilmu harus menjalani syarat-syarat dalam syi’ir di atas. Oleh karena itu, santri harus memperhatikan hal-hal berikut ini:

  1. Akal yang cerdas
Baca juga:  Siapakah Pengguna Media Keislaman Digital?

Diambil dari sumber http://cheyrien.blogspot.com/, yang dimaksud cerdas adalah kemampuan untuk menangkap ilmu, bukan berarti IQ harus tinggi.  meski dalam mencari ilmu IQ yang tinggi juga sangat menentukan. Perlu diingat  bahwa kecerdasan  adalah laksana pedang, semakin sering diasah dan dipergunakan maka pedang akan semakin mengkilat dan tajam, sebaliknya jika didiamkan maka akan karatan dan tumpul.

Begitu pula akal, semakin sering dibuat untuk berfikir dan mengaji maka akan semakin tajam daya tangkapnya dan bila dibiarkan maka akan  tumpul tidak akan mampu menerima ilmu apa pun juga. Kami selalu mengasah kemampuan di siang dan malam. Karena memang kami tidak memiliki waktu luang di pesantren.

  1. Semangat

Dalam menimba ilmu santri harus bersemangat dan bersungguh-sungguh. Pagi sampai siang kami bergelut di dunia sekolah, sore kami haus mengikuti program unggulan yang akan mengasah bakat yang kami miliki. Adapun pada malam kami mengaji baik Alquran maupun kitab.

Kami juga melaksanakan musyawarah untuk mengulang kembali pelajaran yang belum paham bersama teman-teman kelompok. Belum lagi bagi mereka yang mengikuti program tahfidz. Mereka harus pandai-pandai mengatur waktu supaya tidak ada waktu yang terbuang sia-sia.

  1. Sabar

Kehidupan di pesantren mengajarkan kami untuk tabah menghadapi cobaan dan ujian dalam mencari ilmu. Pertama, tidak semua guru dan kiai yang akan mengajar ngaji rawuh.(hadir). Kami akan terus menunggu walaupun terkadang beliau-beliau tidak dapat rawuh.

Kedua, ketika kami rindu dengan orangtua di rumah, kami tak bisa langsung pulang untuk sekedar melepas rindu. Karena kami di sini hidup dalam naungan peraturan. Kami harus sabar sanpai waktunya bertemu datang. Mungkin masih banyak lagi kesabaran yang harus kami lewati, dan tak semua orang mampu melewatinya.

  1. Biaya
Baca juga:  Syekh Zakariya al-Anshari dalam Diri Gus Ulil Abshar Abdalla

Menuntut ilmu memang butuh biaya. Seperti yang telah disebutkan dalam sumber yang di atas, kata “biaya” janganlah diartikan mentah seperti  harus punya uang apalagi uang yang banya. Biaya di sini hanya kebutuhan kita makan minum sandang dan papan secukupnya, pun tidak harus merupakan bekal materi.

Dalam sejarah kepesantrenan dari zaman sahabat Nabi sampai zaman ulama terkemuka, kebanyakan para santrinya adalah orang-orang yang tidak mampu, seperti Abu Hurairoh. Ia adalah sahabat Nabi yang perawi Hadis terbanyak yang  fakir secara harta materi duniawi. Imam Syafi’i juga seorang yatim.

  1. Nasihat guru

Saya  menemukan banyak guru yang memiliki sanad keilmuan sampai pada Rasulullah Saw, seperti K.H Hilmy Muhammad, K.H Afif Muhammad, K.H Zakky Muhammad, K.H Nilzam Yahya, serta masih banyak lagi. Dengan demikian, ketika kami menemukan teks-teks keagamaan, kami segera bertanya pada beliau- beliau. Kami menunggu nasihat-nasihat beliau.

  1. Masa yang lama

Bagi kami, menuntut ilmu tidak bisa dalam waktu singkat. Target sekian tahun pun sebenarnya tidak cukup jika ingin mendapatkan seluruh ilmu tanpa terkecuali. Saya sudah tiga tahun di pesantren, dan kami memiliki slogan “pantang pulkam sebelum khatam”.

Mungkin tidak semua santri dapat menjalani semua itu, tapi kami berusaha untuk melakukannya. Dengan ilmu dan akhlak, kami yakin kami memiliki karakter untuk menjadi anak bangsa yang sehat dan mencintai perdamaian. Minimal, kami tidak mudah terpengaruh oleh paham-paham ekstrimisme-radikalisme yang membuat citra Islam dan Indonesia makin terpuruk.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top