Sedang Membaca
Rokok, Puasa, dan Konsepsi Waktu Orang Jawa
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Rokok, Puasa, dan Konsepsi Waktu Orang Jawa

Enbyquqvaaaqj Z

Orang-orang Nusantara, khususnya Jawa, memang terkenal dengan tabiatnya yang kreatif. Sebagaimana Jean-Paul Sartre yang konon dapat membangun sistem filsafat sendiri berdasarkan kesalahpahamannya dalam memahami pemikiran Heidegger. Juga, dalam lapangan psikologi klinis, Ludwig Von Binswanger yang mampu meracik metode psikologi yang dikenal sebagai Daseinalyze yang konon berangkat pula dari kesalahpahamannya dalam memahami Heidegger.

Menurut beberapa pengulas kedua teoritisi itu kesalahpahamannya lazim dikategorikan sebagai sebentuk “kesalahan yang kreatif.” Namun, bagi saya, kesalahan kreatif itu bukanlah sebentuk kesalahan yang mutlak. Taruhlah orang Jawa yang ternyata mampu mentransformasikan kisah-kisah Hindu India, yang medasari kisah-kisah wayang Jawa, menjadi sebuah kisah yang mampu berdiri sendiri. Seperti tokoh Wara Srikandi yang di tanah asalnya, India, adalah seorang transgender yang otomatis, ketika memiliki relasi dengan Arjuna, berkategori homoseksual. Apakah transformasi orang Jawa atas kisah yang berasal dari India itu adalah sebuah kesalahan?

Dalam setiap persinggungannya dengan etnis ataupun kebudayaan lain, orang-orang Jawa di masa lalu ternyata tak sekedar menerima tanpa daya. Di sinilah kemudian konsep hegemoni dari Antonio Gramsci dapat dipertanyakan pula. Ternyata, ketika mesti bersinggungan dengan kebudayaan lain, orang Jawa tak mesti sama dengan mereka atau setidaknya tak merasa tertundukkan dengan berbagai kompensasinya.

Baca juga:  Romo Mangun: Timun Wungkuk Jaga Imbuh

Kisah-kisah persinggungan dengan agama-agama besar pun juga tak jauh berbeda. Taruhlah walisongo dan kerajaan Demak hingga kerajaan Mataram Islam yang konon merupakan bagian dari kekhalifahan Turki Ustmani yang jelas-jelas adalah sebentuk “khilafah.” Siapakah yang berani menyatakan bahwa walisongo dan kerajaan Demak hingga kerajaan Mataram Islam secara mutlak adalah bagian dari sebuah “khilafah”? Bukankah konon keislaman orang Jawa lebih berdekatan dengan keyakinan kalangan Syi’ah, atau setidaknya tasawuf atau sufisme, yang jelas-jelas tak pernah menyebut  bahwa si Osman dan si Murad adalah para Qutub?

Ketika pun ada unsur Turki Ustmani yang turut mendukung terbentuknya walisongo dan kerajaan Demak hingga kerajaan Mataram Islam, hasil yang tampak adalah seperti halnya transformasi Wara Srikandi yang sebermulanya adalah seorang transgender menjadi seorang perempuan yang seutuhnya.

Persinggungan orang-orang Jawa di masa lalu dengan kebudayaan luar saya temukan pula pada kebiasaan merokok kalangan tua di kala puasa Ramadhan. Di pedesaan Jawa, sampai hari ini, masih dapat kita saksikan orang-orang sepuh yang ketika jam 4 sore, yang mungkin 2 jam menjelang berbuka, sudah merokok.

Orang-orang yang berkutat dengan fikih, barangkali, akan ada yang membatalkan puasa para orangtua itu—meskipun asap rokok beserta segala efeknya pada perut masih bisa diperdebatkan apakah hal itu sebentuk pemanjaan nafsu yang berujung pada kenikmatan jasmani atau justru sebaliknya. Di sinilah, saya kira, orang tak harus serta-merta berkutat dengan teks. Bahwa, di balik aktifitas merokok orang-orang tua di pedesaan Jawa itu, di kala 2 atau 3 jam menjelang berbuka puasa, terdapat sebuah konsep waktu yang cukup berbeda dengan konsep waktu orang-orang Arab ataupun orang-orang Barat.

Baca juga:  Kapitayan (1): Dinamika di Tengah Temaram Zaman

Ternyata, bagi orang-orang Jawa di masa lalu, jam 4 sore sudah masuk hari esok. Jadi, perpindahan hari tak terjadi pada jam 12 malam dan waktu maghrib bukanlah sepenggal momen perpindahan dari siang hari ke malam hari. Di sini orang mesti ingat bahwa orang-orang Jawa di masa lalu meniti hari tak sekedar berdasarkan hari-hari yang lazim seperti Ahad, Senin, Selasa, dst. Namun, mereka juga meniti hari dengan waktu pasaran yang berjumlah 5: Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing.

Maka jamak dijumpai ketika, seumpamanya, orang ingin merti luhur atau mengadakan penget dengan menggelar slametan surtanah/geblak, 3 hari, dst. Waktu perhelatan itu terkadang, ketika dihitung secara awam, tak tepat pada waktu kematian orang yang akan diingat. Sebab, orang awam, yang tak paham konsep waktu dalam kebudayaan Jawa, hanya mendasarkan diri pada waktu maghrib sebagai pembatas malam dan jam 12 malam sebagai pembatas hari.

Dengan demikian, dapat dipahami kenapa orang-orang sepuh di pedesaan Jawa sudah menghisap rokok meskipun waktu berbuka puasa masih jauh dari hidung. Namun, yang agak menggelitik, adalah kenapa mereka tak ngopi dan makan pada saat itu juga. Satu hal yang pasti, dalam kebudayaan Jawa, terdapat perbedaan yang radikal di antara sebatang rokok dan sepiring nasi beserta secangkir kopinya.

Baca juga:  Haji dan Desentralisasi Rumah Tuhan

Konon, orang-orang Jawa tak akrab dengan istilah saum yang bermakna menahan diri dari makan dan minum beserta segala hal yang dapat menggugurkannya dari waktu fajar hingga adzan maghrib. Mereka ternyata lebih berasa ketika menyebut aktifitas itu sebagai “pasa” yang berarti menyelaraskan rasa (ngepasna rasa). Dan bukankah agama itu tak sekedar soal tubuh dan nalar, namun juga dzauq?

 

 

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top