Sedang Membaca
Rindu Allah  
Ren Muhammad
Penulis Kolom

Ren Muhammad adalah pendiri Khatulistiwamuda dan penulis buku. Tinggal di Jakarta, menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.

Rindu Allah  

Pengalaman Spiritual Ibramsyah Amandit

Mungkin telah berulang kali kita mendengar kalimat yang sepintas lalu terkesan indah dan muluk-muluk—tentang kerinduan tak tertanggungkan manusia akan Tuhannya. Bagus nian rasanya kata-kata itu didendangkan di segala tempat. Apalagi di masjid atau majelis taklim.

Lebih ajaib lagi, ucapan tersebut teramat sering meluncur dari para selebritas layar kaca yang sedang getol hadir di halaqah kajian Islam saban pekan—di rumah sesama rekan selebnya. Lidah mereka yang tak terlampau fasih menggunakan kosa kata Arab, kemudian dialihkan ke media sosial melalui akun pribadi dengan mengandalkan jari jemari, dan tentu Ustaz Google. Tinggal digandakan, dan lalu tempel. Jadilah kenaifan merajalela.

Para pengagum mereka yang sebagian besar rakyat jelata tak berkecukupan secara material, dan pendek akalnya, serta-merta mengamini apa yang diunggah idola mereka sebagai sebuah informasi yang benar. Tak perlu lagi dirujuk silang pada para pengampu ilmu. Langsung ditelan mentah-mentah. Habis perkara. Celakanya, para seleb ini entah kenapa selalu saja dengan mudah masuk ke mulut harimau dan keluar dari mulut buaya.

Ajaran Islam yang lemah lembut dan rahmatan lil ‘alamin tetiba berubah jadi keras dan tanpa ampun—yang cenderung mereka kibarkan, tak ayal diyakini oleh demikian banyak orang awam dalam beragama. Islam dalam hal ini.

Sejatinya itu bukan hanya perilaku para seleb yang sedang keranjingan agama dan kepengin tampil soleh/solehah di hadapan publik luas. Kaum Muslim pada galibnya juga demikian. Di sembarang tempat bahkan, kita bisa mendengar ujaran rindu kepada Tuhan secara gamblang dan terang. Di mana-mana banyak orang mabuk kepayang pada Tuhan. Tergila-gila pada-Nya. Padahal jika kita mau menilik lebih cermat, sesungguhnya mereka itu hanya sedang menjadi tong kosong yang berbunyi nyaring. Apa pasal?

Begini, Saudaraku.

Sebagai seorang Muslim yang telah dianugerahi hidup oleh Allah selama tiga dekade lebih, kami senang mengamati para pegiat agama yang dengan syahdu berkata mereka merindukan Tuhan dan malah gemar mengajak sesama saudaranya agar turut pula merindukan Tuhan. Hal ini jelas sebuah upaya yang pantas ditiru. Tapi ketika kami melontarkan sekelumit pertanyaan singkat pada mereka, jawaban yang kami terima malah bertolak belakang.

Baca juga:  Karen Armstrong, Beragama Seharusnya Sebuah Kedamaian

Mereka yang mengaku merindukan Tuhan itu, ternyata tak siap jika hidupnya harus berakhir seketika. Mereka seolah ingin hidup seribu tahun di dunia ini. Aneh. Bukankah para perindu sangat mendamba perjumpaan? Mengaku rindu tapi tak ingin bersua. Merasa rindu namun tak pernah berjumpa. Perbuatan semacam apakah ini? Lantas bagaimanakah yang sesungguhnya kita inginkan?

Baiklah jika memang belum sanggup bertemu kangen. Kami punya pertanyaan kedua: kapankah kita bertemu dengan Allah sehingga muncul kerinduan? Apakah kita memang sungguh benar mengalami perpisahan dengan-Nya? Jika benar begitu, bagaimana proses kejadiannya? Adakah di antara kita yang bisa mengingat perihal pelik semisal ini? Kami meyakininya, ada. Tapi hanya segelintir manusia bermutu saja yang sanggup melakukannya. Sedangkan sebagian besar yang lain, hanya tergulung dalam perasaan buta lagi semu.

Berkenaan dengan soal tersebut, sebenarnya kita punya panduan yang lumayan memadai. Mari kita ambil sepenggal sahaja ayat al Quran yang berbunyi:

“… dan Dia bersama kita dalam setiap keberadaan, dan Allah Mahamelihat apa yang kita kerjakan.” (QS al Hadid [57]: 4).

Momen kebersamaan dalam ayat tersebut tentu tak diawali dengan proses pertemuan dan sebuah akhiran. Sebab Allah tiada berawal dan berakhir. Tak membutuhkan awalan dalam bertindak, pun penghabisan sebagai pamungkas. Dia terlibat dalam segala hal secara rinci. Bahkan lebih dalam dari itu, Dia yang Khaliq, meliputi makhluk dan menyelubungi kita dengan huruf mim. Kita bersama Allah dalam keabadian-Nya. Tanpa sejak. Tanpa koma. Tanpa titik. Tanpa segala yang menistakan kesucian-Nya. Baiklah, kita berhenti sampai di situ. Supaya tulisan ini tidak semakin rumit untuk dipahami.

Sekarang kita anggit satu lagi ayat Alquran yang kiranya dapat membantu penalaran. Setidaknya inilah satu-satunya sumber rujukan yang sangat mungkin kita gunakan sebagai “dalil kerinduan”—andai memang kosakata itu masih perlu kita sertakan dalam laku keberagamaan.

 

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ

Baca juga:  Kisah Seniman A.D. Pirous

 

dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak turunan Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orangorang yang lengah (terhadap kemanunggalan Tuhan).’ (QS al A’raf [7]: 172)

 

Perhatikan dengan saksama kata yang digunakan Allah dalam ayat itu: anfusihim (jiwa mereka). Bukan ruh. Apalagi di alam ruh. Allah tidak berdialog dengan ruh kita, kerana kita memang tidak punya ruh.

 

ثُمَّ سَوّٰٮهُ وَنَفَخَ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِهٖ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْــئِدَةَ  ۗ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ

kemudian Dia menyempurnakannya (manusia) dan meniupkan Ruh-Nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan, dan mahkota akal bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS. As-Sajdah [32]: 9)

 

Kita dapat melacak petunjuk terkait kata Ruh(i) dan turunannya di dalam al Quran, melalui beberapa ayat berikut ini:

Ruhul Qudus = empat kata (al Baqarah [2]: 87, 253) & (al Ma’idah [5]: 110) & (an Nahl [16]: 102 )

Ruhul Amin = satu kata (asy Syu’ara’ [26]: 193)

Ruhun = satu kata (an Nisa’ [4]: 171)

Ruhii = dua kata (al Hijr [15]: 29) & (Shad [38]: 72)

Ruhi/u = tujuh kata (an Nahl [16]: 2) & (al Isra’ [17]: 85) & (al Mu’min [40]: 15) & (al Ma’arij [70]: 4) & (al Qadr [97]: 4)

Ruhan/in = dua kata (asy Syura [42]: 52) & (al Mujadilah [58]: 22)

Ruhanaa = satu kata (Maryam [19]: 17)

Ruhinna = dua kata (al Anbiya [21]: 91) & (at Tahrim [66]: 12)

Ruhihi = satu kata (as Sajdah [32]: 9)

 

Total jumlah keseluruhan, ada dua puluh dua kata. Masing-masing dari setiap kata di atas, digunakan secara istimewa, dan kita takkan mengupasnya dalam tulisan ini. Fokus amatan kita ada pada Ruhi yang sudah tentu bersifat tetap selamanya, sementara nafs atau jiwa, terkena hukum dinamis tak hingga. Nafs merasakan kehidupan terhubung dengan jasad, melalui perantaraan Ruhi. Nafs bisa merasakan was-was, susah, sedih, resah, gembira, siksa, tenang, dan  mati. Ia mengalami naik-turun, kejatuhan, kebangkitan. Nafs lah yang dimintakan janji (berbaiat) di Alam Alastu. Nafs adalah barang lama yang berawalan. Diciptakan. Berbeda tegas dengan Ruh-Nya.

Baca juga:  Kita Belajar Kembali Tentang Arti Mengapresiasi

Ruh (Ruuhi) tidak diciptakan tapi diwujudkan. Kalau terkait diri manusia istilahnya ditiupkan. Ia adalah spirit kehidupan. Senantiasa bersih dan terhormat. Tiada terkena waswas, tidak berkehendak, tidak berhawa, tidak susah, tidak resah, tidak sedih, tidak gembira, dan tidak merasakan siksa. Tidak naik atau pun turun martabatnya. Ia berasal dari Allah dan akan kembali pada-Nya. Innalillahi wa inna Ilaihi rozi’un (QS. al-Baqarah [2]: 156).

Lantas apa yang senyatanya kita rindukan? Merujuk pada (QS. al-A’raf [7]: 172) di atas, maka yang sekiranya kita dambakan adalah perjumpan dengan jiwa sendiri—yang tenteram kerta raharja. Jiwa yang mengendap dan mengendalikan badan kasat tapi tak pernah bisa dijamah indra. Maka menjadi mafhum bila kemudian Sang Jiwa inilah yang kemudian disapa oleh Allah dengan pasasi indah berikut: “Duhai jiwajiwa yang tenang. Kembalilah pada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. al Fajr [89]: 27-30).

Nah, apakah Jannati (Surga-Ku) dalam ayat di atas adalah sama dengan Surga Firdaus (Al-Kahfi [18]: 107); Surga ‘Adn (QS. Thaaha [20]: 76); Surga Na’iim (QS. al-Hajj [22]: 56); Surga Ma’wa (QS. as-Sajdah [32]: 19 & an Naazi’aat [79]: 41); Surga Darussalam (QS. Yunus [10]: 25); Surga Daarul Muqoomah (QS. Faathir [35]: 34-35); Surga Maqoomul Amiin (QS. ad-Dukhan [44]: 51); dan Surga Khuldi (QS. al-Furqaan [25]: 15)?

Lain kali kita akan membabarnya. Wallahu a’lam bisshawwab.. []

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0

Kisah Seniman A.D. Pirous

Lihat Komentar (3)
  • الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

    “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS ar Ra’ad [13]: 28)

  • Jadi penasaran sama kelanjutannya, syurga apakah yang Allah perkenankan untuk jiwa yang tenang itu, kemudian bagaimana mengatasi jiwa ketika berbagai perasaan sedih gundah resah takut melalapnya hingga seperti ketika berfikiran tentang hari pembalasan yang menyeramkan, bagaimana agar jiwa2 millenial selalu tenang..

  • Jadi penasaran sama kelanjutannya, syurga apakah yang Allah perkenankan untuk jiwa yang tenang itu, kemudian bagaimana mengatasi jiwa ketika berbagai perasaan sedih gundah resah takut melalapnya hingga seperti ketika berfikiran tentang hari pembalasan yang menyeramkan, bagaimana agar jiwa2 millenial selalu tenang..

Komentari

Scroll To Top