Saya apresiet dengan inisiatif sahabat Ulil Abshar Abdalla atas acara “Malam Doa untuk Palestina”, dengan pementasan pembacaan puisi karya-karya penyair Palestin yang dibacakan para penyair, budayawan dan tokoh publik di Taman Ismail Marzuki, 24 Agustus lalu.
Ini seperti sebuah siraman air sejuk di tengah hiruk pikuk kekacauan cara berpikir dan serbuan hoax tentang persepsi yang tidak sepenuhnya benar tentang Palestina.
Lebih dari itu, buat saya sendiri, acara ini memberikan dorongan yang kuat kepada para sastrawan pesantren untuk berkiprah lebih jauh. Pementasan tadi malam, sepenuhnya menurut saya, menunjukkan sebuah visi para santri dan cara mereka melihat masalah dengan jernih.
Bagaimanapun sastra (puisi) lebih kaya dan kreatif dalam menawarkan solusi atas cara berpikir kita yang intriktif. Acara malam itu, menginspirasi kita untuk melihat bagaimana geliat sastra dalam tradisi orang-orang pesantren sebagai sesuatu yang berdenyut.
Gus Mus, KH. Dzawawi Imron, Abina Quraish Shihab, Abdul Hadi WM, Jamal D. Rahman, Kang Acep Zamzam Noor dan Ulil sendiri, adalah nama-nama yang merepresentasi kalangan dan bahkan sangat mengenal pesantren dan tentu tradisi sastranya.
Di sisi lain, Prof Mahfud MD, Mbak Najwa Shihab, Reny Jayusman, mereka semua sebagai penampil yang kita tahu latar aktivitas mereka yang luar biasa.
Di sebelah lain, nama-nama yang cukup dikenal dalam sastra Indonesia, juga ambil bagian. Mereka antara lain Sosiawan Leak, Taufik Ismail, Butet Kartaredjasa, Joko Pinurbo, Fatin Hamama dan Sutardji Calzoum Bachri.
Meskipun pada akhirnya, buat saya, tidaklah penting melihat (atraksi) bagaimana pementasan pembacaan mereka atas puisi-puisi itu. Tetapi, bagaimana acara pementasan itu dihelat memberikan ruang apresiasi yang besar. Ia memberi konteks atas adagium lama: ketika politik kotor, sastralah yang membersihkannya. Di sini, inisiatif kaum santri itu menjadi signifier di tengah hiruk pikuk yang saya sebutkan sebelumnya.
Sayangnya, saya sedikit terganggu dengan musik pengiring saat pembacaan puisi itu berlangsung. Mungkin maksudnya menguatkan sisi dramatik pembacaan, namun buat saya malah tidak sampai ke arah itu. End tokh, pembacaan puisi-puisi oleh mereka itu sungguh telah mewakili unsur-unsur dramaturgis dalam pementasan sastra tanpa perlu pengiring musikal yang terdengar mengganggu kehidmatan.
Proviciat buat Gus Mus (real inisiator), dan rupanya tidak kalah penting Ning Ienas, juga Rizal WIjaya. Dan yang tak kalah penting ning Alissa Wahid, savic Ali dan tentunya semua sahabat-sahabat yang andil dalam acara itu: NU Online, GP Ansor, Gusdurian, dll.