Sedang Membaca
Kompleksitas Pribadi Gus Dur, Antara Kehendak dan Determisme Lingkungan
Rahmat Petuguran
Penulis Kolom

Rahmat Petuguran adalah dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang. Ia juga peneliti bahasa pada Pusat Kajian Budaya Pesisir Fakultas Bahasa dan Seni. Buku yang pernah ditulis antara lain Politik Bahasa Penguasa (2016), Mengelola Kesalahpahaman (2017), Linguistik Disruptif (2019).

Kompleksitas Pribadi Gus Dur, Antara Kehendak dan Determisme Lingkungan

Sebagai manusia yang dilekati aneka atribusi sosial, KH Abdurrahman Wahid adalah pribadi yang kompleks. Kompeleksitas itulah yang membuat perkataan, pemikiran, dan keputusannya tidak selalu mudah dipahami. Dalam pemikirannya kerap terdapat kontradiksi yang sukar dijelaskan.

Dalam risalah hidupnya yang ditulis Greg Barton, kita bisa temukan bahwa Gus Dur bisa menjadi sangat tegas namun terkadang kompromistis. Di satu kesempatan ia bisa tampak sangat kuat namun tampak sangat rapuh di lain waktu. Karena itu, untuk memahami kepribadian dan pemikirannya, aspek psikologis dan sosial dalam kehidupannya peru dipahami.

Sebagaimana kebanyakan manusia, Gus Dur hidup pada ruang persengketaan antara kebebasan dan pengekangan. Ia hidup pada dualisme antara kehendak pribadinya sebagai manusia dengan lingkungan yang membentuknya.

Dualisme itu tampaknya mewakili dua aliran besar dalam filsafat kepribadian: determinisme dan indeterminisme.  Determenisme mengasumsikan bahwa peristiwa terjadi sebagai “keharusan” karena ditentukan oleh kondisi lain di sekitarnya.

Adapun indeterminisme mengasumsikan bahwa individu memiliki kehendak bebas. Pada posisi ini inividu diasumsikan punya kekuatan yang membuatnya independen, bahkan mampu mengubah lingkungan.

Gus Dur: Sebuah Kronik

Seperti kebanyakan orang, Gus Dur memiliki kehendak pribadi. Kehendak itu muncul secara alamiah sebagai manusia biologis, psikologis, dan spiritual.  Di sisi lain, Gus Dur hanyalah pelaku sejarah bagi berbagai kondisi di sekitar di luar kehendaknya. Sebagai pelaku sejarah Gus Dur adalah proksi dari berbagai sistem nilai dan kekuatan sosial yang terlebih dahulu ada.

Dalam biografi yang ditulis Greg Barton, diungkapkan ada sejumlah peristiwa yang menunjukkan Gus Dur memiliki kekuatan menentukan jalan nasibnya.

Baca juga:  Eksklusif dari Iran: Jejak Gus Dur di Tanah Persia

Saat kuliah di Al-Azhar, Mesir, misalnya – dia memilih untuk meninggalkan kelas matrikulasi yang terlalu mudah baginya.  Keputusan itu membuatnya bisa bergaul dengan masyarakat lebih luas, tak terkungkung kelas formalnya.

Keputusan untuk bergabung dengan Dewan Syuriah NU tampaknya juga pilihan individualnya. Meskipun diakuinya, itu juga atas dorongan kakek dan ibunya. Kemudian hari, keputusan untuk mencalonkan diri menjadi Ketua PBNU juga merupakan keputusan strategis yang dirumuskan sesuai kehendaknya.

Begitu pula ketika menjadi Presiden, keputusan untuk mengunjungi banyak negara, mengunjungi daerah konflik, juga menahan peran militer dalam penyelesaian konflik juga keputusan bebas yang dibuatnya.

Meski tampak ada banyak keputusan bebas yang dibuatnya, Gus Dur mengalami berbagai situasi yang membuatnya tak selalu dalam posisi yang sepenuhnya dikehendaki.

Saat menyusun kepengurusan PBNU ketika ia menjabat pada periode pertama, ia tak bisa menghendaki masuknya berbagai tokoh “titipan” yang tak dikehendakinya. Kondisi ini membuat kepengurusan NU seolah terbelah: di satu sisi adalah kelompoknya, di sisi lain adalah kelompok lain.

Dalam batas tertentu, keputusan melanjutkan studi ke Timur Tengah pun bisa dibaca “telah ditentukan” oleh situasi lingkungannya. Sebagai putra laki-laki tertua dari KH Wahid Hasyim, Gus Dur dikondisikan untuk mewarisi kepemimpinan pesantren di keluarganya. Kuliah di Timur Tengah adalah mekanisme pencangkokan yang lazim dalam dunia pesantren saat itu.

Ketika ia menjadi presiden, hal-hal di luar kehendaknya semakin banyak. Ia harus berhadapan dengan situasi yang sangat cair, tempat berbagai tokoh berebut kepentingan. Selain berhadapan dengan lawan politiknya di MPR, ia juga berusah payah mengendalikan orang-orang di kabinetnya.

Baca juga:  Gus Dur dan Perkataan “Al-`Adah Muhakkamah”

Sebagai bukti bahwa ia tak sepenuhnya berkuasa atas kabinetnya, ia merasa tidak puas dengan para menteri yang dia angkat hanya karena kompromi politik. Meski begitu, ia tak selau memiliki kebebasan untuk melakukan bongkar pasang Menteri.

Di luar itu semua, salah satu peristiwa besar yang saya kira di luar kehendaknya pula adalah ketika ia dilengserkan jadi presiden. Meskipun Gus Dur berusaha mempertahankan posisi itu, ia jebol oleh desakan politik yang diinstrumentasikan lawan-lawan politiknya.

Menjadi Gus Dur

Baik peristiwa yang dikehendaki maupun tak dikehendaki telah membentuk Gus Dur sebagai pribadi yang kompleks. Dengan kata lain, Gus Dur yang kita kenal hari ini merupakan kronik yang dibentuk oleh aneka peristiwa di sepanjang hidupnya.

Identitasnya yang kompleks dibentuk oleh aneka modal budaya, baik yang dibawanya secara biologis, diterimanya secara sosial, maupun diupayakannya secara kultural.

Secara biologis, riwayat bahwa dia adalah cucu KH Hasyim Asyari dan KH Bisri Syansuri, putra dari KH Wahid Hasyim, telah memberinya banyak kesempatan menjadi Gus Dur (yang kita kenal hari ini). Di banyak kesempatan, riwayat biologis itu memberinya aneka kemudahan (sekaligus tantangan).

Kesempatan itu turut membentuknya menjadi Gus Dur yang dicatat sejarah sebagai intelektual, presiden, pluralis, juga atribut lain yang dilekatkan orang hari ini.

Ia juga diberkati dengan kecerdasan dan daya ingat sangat baik. Tampak jelas bahwa keuntungan kognitif ini turut menentukan jalan hidupnya di kemudian hari.

Baca juga:  Kisah Gus Dur bersama Seorang Wali dari Aceh

Namun hal-hal biologis itu tidak selalu punya peran dalam membentuk Gus Dur yang kita kenal hari ini. Misalnya, menilai Gus Dur cenderung tidak mengoptimalkan keistimewaan kognitifnya.

Di sisi lain, ia mengoptimalkan potensi-potensi bawaan itu pada bidang yang amat ia minati.

Perhatiannya terhadap demokrasi membuatnya bersekutu dengan sejumlah ilmuwan sosial dan membentuk Forum Demokrasi.  Kesempatan itu membuat minatnya pada perjuangan sipil berkembang.

The One and Only

Hubungan timbal balik antara kehendak pribadi dan kondisi zaman itulah yang membuat Gus Dur menjadi Gus Dur.  Gus Dur awal bertransformasi menjadi Gus Dur kemudian melalui aneka praktik sosial yang khas pada era itu.

Karena praktik sosial pada periode itu khas, ia menjadi Gus Dur dan akan menjadi satu-satu-satunya Gus Dur yang terlahir.

Para pengikutnya memang banyak yang mengikuti jejaknya: baik jejak intelektual, keagamaan, maupun politiknya. Tapi tidak satu pun dari mereka bisa menjadi sepertinya.

Bahkan kalaupun hidupnya bisa menjadi prototipe bagi orang lain, sejarah tidak melahirkan Gus Dur untuk kali kedua. Gus Dur adalah pribadi yang ditempa zaman dan lingkungan sehingga memiliki visi kebangsaan dan vitalitas intelektual yang kita kenal dan kenang hari ini.

Beruntunglah bangsa Indonesia, dikarunia inspirasi berupa seorang hamba Tuhan yang melakukan pembaharuan sepertinya. Abdurahman Wahid alias Abdurrahman Ad-Dakhil. Semoga Tuhan memuliakannya.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top