Sedang Membaca
Diaspora Santri (17): Tradisi Nahdlatul Ulama di Turki
Avatar
Penulis Kolom

Mahasiswa Islamic Studies dan Minor Philosophy Ibn Haldun University Istanbul, Wakil Ketua Tanfidziyyah PCINU Turki.

Diaspora Santri (17): Tradisi Nahdlatul Ulama di Turki

“Orang Turki itu juga orang NU aslinya,” klaim ini sering sekali penulis sampaikan kepada rekan-rekan penulis ketika bertemu dan ditanya ahwal masyarakat muslim di Turki. Secara sekilas, klaim ini memang terlihat sedikit dipaksakan tapi klaim ini pun bukan merupakan klaim tak berdasar.

Sebelum memulai eksplorasi tentang keislaman di Turki, penulis melihat perlunya untuk mendefinisikan kembali NU itu sendiri sehingga klaim diatas tidak hanya hoax belaka. Nahdlatul Ulama jika ditarik lagi ke belakang dalam sisi historis nya memang terbentuk secara organisasi (baca: jam’iyah) pada 1926 silam. Terstrukturnya NU secara organisasi menandakan adanya sebuah “common voice” (baca: jamaah). Oleh karena itu, sebagaimana Gus Mus sampaikan dalam Konferwil IPNU dan IPPNU Jawa Tengah 2014 silam bahwa NU memiliki dua dimensi yaitu dimensi jamaah dan jam’iyah.

Sehingga, ketika mencoba mendefinisikan sesuatu sudah selayaknya untuk mencoba mendefinisikan secara holistik tanpa mengecualikan aspek yang dianggap berkontribusi pada definisi tersebut. Singkatnya, ketika mencoba mendefinisikan Nahdlatul Ulama dua aspek; jamaah dan jam’iyah pun juga harus masuk dalam definisi tersebut. Penulis pun mencoba mendefinisikan sebagai berikut, “Nahdlatul Ulama adalah jami’yah (organisasi) keislaman yang terbentuk dari “common voice” (jamaah) secara socio-kultural dengan berlandaskan Ahlus Sunnah wal Jamaah An-Nahdliyah.”

Baca juga:  Manusia adalah Binatang yang Bisa Tertawa

Konsep Ahlussunnah Wal Jamaah An-Nahdliyah dengan karakternya yang moderat tanpa menghapus nuansa lokal atau seperti yang dicetuskan dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang sebagai “Islam Nusantara” merupakan salah satu spirit NU yang menjadi pembeda dengan Islam “amatiran” yang banyak menjamur saat ini dengan gerakan “hijrah” nya.

Berbicara tentang budaya Islam Nusantara yang merupakan sintesis antara Islam dengan budaya lokal pun juga termanifestasi dalam socio-cultural di Turki. Hal ini terlihat dari irisan budaya keislaman antara Turki dan Indonesia. Ziarah kubur misalnya atau di Turki sendiri disebut dengan, “Mezar/ Kabir Ziyareti” juga menjadi bagian dari ala NU di Turki terlihat dari ramai serta megahnya maqbarah ulama di Turki semisal maqbarah Abu Ayyub Al-Anshari di Istanbul maupun Mawlana Jalaluddin Rumi di Konya. Selain itu, tahlilan pun juga memiliki saudaranya di Turki yaitu “Yasin Okunması” atau pembacaan surat yasin untuk orang yang meninggal. Hingga, budaya galak gampil atau mencari angpau saat lebaran pun juga ada di Turki ketika “bayram” (baca: lebaran) tiba.

Turki sendiri memiliki budaya , “Kandil Günleri” atau di Indonesia biasa disebut dengan hari perayaan Islam seperti Isra’ Miraj, Maulid, Ashura, Nishfu Saban, dsb. Sebagaimana kemiripan keislaman antara Turki- Indonesia. Dua negara mayoritas Islam non-Arab ini pun juga memiliki perdebatan keislaman yang mirip pula. Sebagai contohnya, mengenai perdebatan akan sampainya pahala bacaan yasin terhadap orang yang sudah meninggal maupun hukum ziarah kubur.

Baca juga:  NU di “Meja Makan”

Dari penjelasan di atas secara implisit memverifikasi klaim penulis akan ke-NU an orang Turki secara jamaah. Kemudian muncullah pertanyaan akan “kenapa kemiripan budaya ini bisa terjadi antara Indonesia dan Turki yang terbentang 9.000 km jauhnya?.” Jikalau dilihat dari teori masuknya muslim di Indonesia, yang salah satunya adalah teori Persia abad 13 M yang Persia sendiri merupakan tetangga dari Turki. Sehingga tidak menutup kemungkinan akan beberapa kesamaan antara tiga negara tersebut.

Selain itu, narasi Islam Nusantara dengan prinsip hubbul wathan minal iman atau dalam bahasa Turkinya, “Vatan Sevgisi İmandandır” juga tepatri dalam semangat nasionalisme di Turki. Hal ini terlihat dari bersatunya suara masyarakat Turki dengan turun ke jalan dalam mencoba menggagalkan percobaan kudeta pada 15 Juli 2016 silam. Selain itu pemandangan bendera Turki yang hampir memenuhi sudut kota dan mobil yang berseliweran di jalan merupakan bentuk lain dari hubbul watahan ini. Hingga, ketika istiklal marsı  atau lagu kebangsaan Turki diputar semua aktifitas masyarakat behenti dan berdiri hormat dangan khidmat menyanyikan lagu kebangsaan mereka. Semua hal tersebut merupakan pemandangan yang akan banyak dijumpai ketika berada di Turki.

PCINU Turki pun seakan memiliki rumah kedua di Turki dengan banyaknya irisan budaya keislaman di atas. Sehingga, kegiatan secara socio-cultural pun sangat aktif di Turki. Ditambah lagi, dengan banyaknya kesamaan tersebut mengenalkan NU di Turki pun terkesan lebih mudah dan diterima oleh masyarakat umum. Selain itu, banyaknya dernek (lembaga wakaf) dan tekke (zawiyah tasawuuf) juga secara tidak langsung membantu masyarakat NU baik untuk tirakat maupun untuk belajar dan berdiskusi.[]

Baca juga:  Jelang Munas Alim Ulama (5): Tiga Ulama Sumbawa dan Tiga Tuan Guru Pertama

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top