Gerakan Tajdid (pembaharuan) di bidang tafsir secara periodik selalu terjadi sepanjang sejarah penafsiran Al-Qur’an, Ini jelas nampak dalam perkembangan produk tafsir sepanjang sejarah. Pembaharuan ini bisa terjadi pada cara penyusunan tafsir, metode pengambilan sumber penafsiran, orientasi penafsiran dan pusat perhatian kajian bahkan pada pola tata urut penyajian.
Dalam khazanah tafsir klasik, kita mengenal katagori thabaqat al-mujtahidin al-uwal, yaitu para mufassir dari kalangan shahabat, tabiin dan tabiit taabiin, lalu thabaqat naqalat tafsir, yaitu para ahli hadis yang meriwayatkan tafsir, seperti Abdur Rozaaq as Shon’ani (211 H), lalu thabaqat al-mufassir an-naqid, yaitu mufassir yang kritis dan mentarjih dari beberapa pendapat, seperti Ibnu Jarir at Thobari (310 H), dan terakhir thabaqat al-mufassir al-mutakhayyir qaulan wahidan, yaitu mufassir yang hanya memilih salah satu pendapat, seperti mufassir-mufassir mazhab.
Dan jika kita fokuskan perhatian kita pada era kontemporer (abad 14 H-sekarang), maka kita bisa mengklasifikasikan gerakan-gerakan pembaharuan dalam tafsir sebagai berikut:
Pertama, tafsir yang berusaha menyingkap aspek kemukjizatan Al-Qur’an di bidang ilmu pengetahuan alam atau lebih dikenal dengan “tafsir ilmi”, gerakan ini di era klasik diangkat oleh Imam Fakhrur Rozi dan Imam Al-Ghazali, dan di abad 14 H ini dipelopori oleh Syekh at Thabiib al-Iskandarani (w 1306 H) dalam tafsirnya “Kasyful Asraar an Nuuraniyah al Quraaniyah fiimaa Yataallaqu bil Ajraam as Samaawiyah” dan diikuti oleh Syekh Thantawi Jauhari (w 1357 H) dalam tafsirnya “al-Jawaahir fi Tafsiiril Qur’an”.
Kedua, tafsir yang berusaha memberdayakan Al-Qur’an untuk mengatasi problem faktual kehidupan masyarakat atau lebih dikenal dengan “tafsir ijtima’i”, gerakan ini dipelopori oleh Muhammad Abduh (w 1323 H) dan Rosyid Ridho (w 1353 H) dalam “Tafsir al-Manaar” dan diikuti oleh Syekh al-Maraghi dalam “Tafsir al Maraghi”.
Ketiga, tafsir kontekstual yang disusun berdasarkan kajian keserasian kata, kalimat, fashilah (penutup ayat), ayat, kelompok ayat dan kelompok ayat yang lain, dan juga keserasian antar surah. pada era klasik gerakan ini dimulai oleh Imam al Biqa’i dalam “Nadhm Durar fii Tanaasub al Aayaat wa as Suwar“, yang kemudian pada abad 14 H ini diangkat kembali oleh Syekh al Maraghi (w 1371 H), diikuti dengan inovasi yang lebih sistematis oleh Syekh Said Hawa (w 1409 H) dalam tafsirnya “al-Asaas Fit-Tafsir”, dan di Indonesia dipopulerkan oleh Prof. Dr. M Quraisy Shihab dalam “Tafsir Al-Misbah”.
Keempat, tafsir berdasarkan kesatuan tematik dalam surah atau yang mengkaji tema pembahasan tertentu dari beberapa ayat yang terkait, ia dikenal dengan uslub “tafsir maudhu’i”, gerakan tafsir ini dipelopori oleh Dr. Muhammad Abdullah Darraz (w 1377 H) dalam kitabnya “an Nabaul Adhim” terbit tahun 1957 M yang menyajikan tafsir maudhu’i surah Al-Baqarah secara lengkap, diikuti oleh Syekh Muhammad Al-Ghazali (w 1996 M) yang menulis tafsir maudhui lengkap seluruh surah Al-Qur’an dengan nama “nahwa Tafsiirin maudhuiiyin Lisuwaril Quran”.
Kelima, tafsir yang berusaha menginduksi lafal-lafal Al-Qur’an di berbagai letaknya secara runtut dalam Al-Qur’an untuk mendapatkan makna dan rahasia ayat sembari mempertimbangkan gaya bahasa dan konteks ayat baik secara khusus maupun secara umum, yang dikenal dengan nama “al-manhaj al-bayaani”. Metode ini dicetuskan oleh Prof Amin al Khuli (1385 H) dalam kitabnya “Manahijut Tajdid fin Nahwi wal Balaghah wat tafsir”, dan dipraktekkan oleh murid sekaligus istri beliau yaitu Prof Aisyah bint Syathi’ (1998 M) dalam “At-Tafsir al Bayaani lil Qur’anil Karim”, dan juga digunakan oleh Prof Fadhil Sholih as Saamiraa’i (lahir 1933 M) dalam “Alaa Thariiq at Tafsiir al Bayaani” yang sudah terbit 4 jilid.
Keenam, tafsir yang berusaha menyajikan tafsirnya berdasarkan urutan turunnya surah (tartib nuzuli) demi menghasilkan makna dengan menghadirkan suasana turunnya al Quran dalam periode dakwah Nabi, Pola ini dikenalkan pertama kali oleh Syekh Muhammad Izzah Darwazah (w 1404 H) dengan “Tafsir al Hadist”, dan di abad 15 ini digunakan oleh Syekh habannakah al Maidani (w 1425 H) dalam “Ma’arijut Tafakkur wa Daqaaiqut Tadabbur” dan Dr. M Abid al jabiiri (w 2010 M) dalam “at Tafsir al Waadhih”.
Ketujuh, tafsir yang berusaha menyingkap maqashid-maqashid dan tujuan Al-Qur’an baik yang umum maupun khusus dengan mengeksplorasi makna-makna kebahasaan, serta konteks mikro dan makro ayat. Tafsir ini dikenal dengan “tafsir maqaashidi”, gerakan ini dipelopori oleh Syekh Thahir Ibnu Asyur (w 1393 H/ 1973 M) dalam “at Tahrir wa at Tanwiir”, dan Indonesia mulai diperkenalkan oleh Prof. Dr. Abdul Mustaqim dalam kitabnya “At Tafsir al Maqaashidy; al Qadhaaya al Muaashirah Fii Dhaw al Quran wa as Sunnah“.
Kitab ini menjelaskan masalah-masalah kontemporer yang harus dipahami oleh umat Islam di seluruh dunia, dalam rangka menciptakan kehidupan yang layak dan ideal antar umat beragama, seperti wasathiyyatul Islam (moderatisme Islam), amar ma’ruf nahi munkar “tanpa kekerasan”, kepemimpinan yang bertanggung jawab di hadapan Allah dan rakyat, naluri seksual, interaksi dengan non muslim dan toleransi, interaksi dengan lingkungan, problem pakaian wanita, keutamaan bekerja yang halal, fenomena hoaks, dan tentang kecurangan dan suap.
Kitab ini menggabungkan kajian Al-Qur’an dan hadis untuk menjelaskan tema-tema yang dipilih, dengan menggunakan sistematika “tafsir ijmali” yaitu menjelaskan makna ayat secara global dengan terkadang dikuatkan dengan rujukan beberapa kitab tafsir yang muktabar, untuk menghasilkan makna yang komprehensif dikaitkan dengan maqashid syariah. Kitab ini dengan cermat menggabungkan uslub tafsir ijmali dan maudhu’i dalam satu kajian.
Pemikiran-pemikiran Prof Abdul Mustaqim yang dituangkan dalam kitab ini sangat aktual kontekstual dan mewakili semangat moderatisme Islam yang digaungkan di dunia Islam pada tahun-tahun terakhir ini. Ini sekaligus juga bukti bahwa ulama’ Indonesia juga ikut serta dalam memasyarakatkan moderatisme Islam di dunia. Secara khusus, Pemikiran Prof Abdul Mustaqim dalam beberapa tema sangat tegas dalam menentang pemikiran kaum liberal, misalnya ketika beliau menolak legalisasi LGBT (hal 29), juga tegas menentang pemikiran konservatif, misalnya ketika beliau menolak “an niqob” dalam pakaian muslimah dan mengatakan bahwa itu hanyalah adat (hal 67).
Lain dari itu, saya sangat beristifadah dari kitab ini, ketika membaca pandangan Prof Abdul Mustaqim ketika menerangkan tentang pentingnya “hifdhul biiah” (menjaga lingkungan) dan memasukkannya sebagai salah satu maqaashid syariah yang juga harus diperhatikan (hal 59). Di samping alasan-alasan rasional yang beliau sampaikan ketika menerangkan kenapa pedagang Muslim zaman dulu berhasil mengenalkan Islam yang ramah dan toleran (hal 75).
Saya berharap kitab ini menjadi pintu gerbang kajian-kajian tafsir maqaashidi di Indonesia, sehingga pesan-pesan Al-Qur’an yang belum tersingkap bisa segera diberdayakan dari makna-makna lafadh dan konteks ayat dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat dan menolak mafsadah bagi mereka.