Patut kita syukuri karena sebagian umat Islam ada girah dan semangat mempelajari Islam. Belajar ke sana belajar kemarin. Luar biasa. Hanya ada sayangnya. Apa?
Sayangnya tidak sempat lama, komperhensif, dan detail. Misalnya, belajar seperti di Pesantren (dan sejenis pesantre) yang 24 jam diajari penuh ilmu Agama. Di pesantren ini, kita tidak hanya diajak belajar agama, tapi juga dimulai dengan “caranya” cara belajar agama. Belajar agama di pesantren ada jenjang, ada tahap.
Nah, yang hari ini baru semangat belajar agama tidak melalu jenjang dan dahap seperti di pesantren, dan sejenis pesantren. Mereka, karena banyak faktor, belajar agama sejam dua jam, di internet yang kepotong kuota, di grup-grup WA sambil diselingi cacian, bahkan di majlis yang sebetulnya bukan temat belajar agama. Akhirnya main comot saja, sesuai selera, sesuai yang dipahami saja. Intinya tidak utuh belajar ilmu Agama, jauh dari ideal.
Yang mereka terima adalah produk fikihnya, ini halal, ini haram, ini Bid’ah dan seterusnya. Ibarat makanan mereka tinggal santap saja. Tidak diberi tahu proses memasaknya, bahannya apa saja, diolah seperti apa dan seterusnya. Ribet memang urusan dapur ini. Dalam ilmu Agama proses “memasak hukum”. Ini namanya adalah Ushul Fiqh.
Ibaratnya begini. Jika ada singkong kemudian diiris tipis dan digoreng maka jadilah keripik. Silahkan yang berselera kripik untuk memakannya. Tapi singkong tadi bisa juga digiling, maka jadi gethuk. Silahkan pula nikmati makanan khas daerah ini. Demikian pula produk hukum fikih, sama-sama dari dalil Al-Qur’an dan hadis tapi cara penyajiannya yang berbeda.
Mari kita buka lagi kitab-kitab hadis maka akan ada banyak ditemukan perbedaan pendapat di antara para sahabat Nabi saw. Di antaranya:
ﻭَﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﺳَﻌِﻴﺪٍ اﻟْﺨُﺪْﺭِﻱِّ – ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ – ﻗَﺎﻝَ: ﺧَﺮَﺝَ ﺭَﺟُﻼَﻥِ ﻓِﻲ ﺳَﻔَﺮٍ, ﻓَﺤَﻀَﺮَﺕْ اﻟﺼَّﻼَﺓُ – ﻭَﻟَﻴْﺲَ ﻣَﻌَﻬُﻤَﺎ ﻣَﺎءٌ – ﻓَﺘَﻴَﻤَّﻤَﺎ ﺻَﻌِﻴﺪًا ﻃَﻴِّﺒًﺎ, ﻓَﺼَﻠَّﻴَﺎ, ﺛُﻢَّ ﻭَﺟَﺪَا اﻟْﻤَﺎءَ ﻓِﻲ اﻟْﻮَﻗْﺖِ.
Abu Sa’id Al Khudri berkata: “Ada dua sahabat dalam perjalanan, ketika waktu salat tiba dan tidak menemukan air, maka beliau berdua melakukan tayamum. Keduanya pun salat. Setelah itu mereka menemukan air saat waktu salat belum habis.”
ﻓَﺄَﻋَﺎﺩَ ﺃَﺣَﺪُﻫُﻤَﺎ اﻟﺼَّﻼَﺓَ ﻭَاﻟْﻮُﺿُﻮءَ, ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﻌِﺪِ اﻵْﺧَﺮُ
“Satu dari mereka mengulang salat dengan berwudu. Sahabat yang lain tidak mengulang salatnya (cukup dengan Tayamum tadi).”
Mana yang disalahkan oleh Nabi? Mana pula yang dianggap melakukan bid’ah karena tidak sesuai dengan perintah Nabi? Maaf Sobat, Nabi kita bukan pemarah. Lihatlah sabda Nabi:
ﺛُﻢَّ ﺃَﺗَﻴَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ اﻟﻠَّﻪِ – ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻓَﺬَﻛَﺮَا ﺫَﻟِﻚَ ﻟَﻪُ, ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟِﻠَّﺬِﻱ ﻟَﻢْ ﻳُﻌِﺪْ: «ﺃَﺻَﺒْﺖَ اﻟﺴُّﻨَّﺔَ ﻭَﺃَﺟْﺰَﺃَﺗْﻚَ ﺻَﻼَﺗُﻚَ» ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻟِﻵْﺧَﺮِ: «ﻟَﻚَ اﻷَْﺟْﺮُ ﻣﺮﺗﻴﻦ».
Setelah mereka datang kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan bercerita kejadian itu maka Nabi bersabda kepada sahabat yang salat satu kali saja: “Kamu sudah sesuai sunnah. Cukup salatmu itu”. Dan kepada sahabat yang salat dua kali (dengan tayamum dan Wudu) Nabi bersabda: “Kamu dapat dua pahala.” (HR Abu Dawud dan Nasa’i)
Beberapa ulama ahli hadis seperti Al-Hafidz As-Sakhawi dalam Al-Maqashid Al-Hasanah dan Al-Hafidz Al-Ajluni dalam Kasyf Al-Khafa’ mengutip dari Imam Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal:
ﻭﻓﻲ اﻟﻤﺪﺧﻞ ﻟﻪ ﻋﻦ اﻟﻘﺎﺳﻢ اﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﻋﻦ ﻗﻮﻟﻪ: اﺧﺘﻼﻑ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﻣﺤﻤﺪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺭﺣﻤﺔ ﻟﻌﺒﺎﺩ اﻟﻠﻪ
Qasim bin Muhammad berkata: “Perbedaan pendapat para sahabat Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam adalah rahmat untuk hamba-hamba Allah”
ﻭﻓﻴﻪ ﺃﻳﻀﺎ ﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻌﺰﻳﺰ ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﻘﻮﻝ: ﻣﺎ ﺳﺮﻧﻲ ﻟﻮ ﺃﻥ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﻣﺤﻤﺪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻢ ﻳﺨﺘﻠﻔﻮا، ﻷﻧﻬﻢ ﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﺨﺘﻠﻔﻮا ﻟﻢ ﺗﻜﻦ ﺭﺧﺼﺔ.
Umar bin Abdul Aziz berkata: “Saya tidak senang jika para sahabat Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam tidak berbeda pendapat. Sebab jika tidak ada perbedaan maka tidak ada keringanan”
ﻭﻓﻴﻪ ﺃﻳﻀﺎ ﻋﻦ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ: ﺃﻫﻞ اﻟﻌﻠﻢ ﺃﻫﻞ ﺗﻮﺳﻌﺔ ﻭﻣﺎ ﺑﺮﺡ اﻟﻤﻔﺘﻮﻥ ﻳﺨﺘﻠﻔﻮﻥ ﻓﻴﺤﻠﻞ ﻫﺬا ﻭﻳﺤﺮﻡ ﻫﺬا ﻓﻼ ﻳﻌﻴﺐ ﻫﺬا ﻋﻠﻰ ﻫﺬا
Yahya bin Sa’id berkata: “Ulama itu luas. Para pemberi fatwa sudah biasa berbeda pendapat. Sebagian menghukumi halal dan sebagian lagi mengharamkan. Maka janganlah mencela saling mencela ulama”
Bersamaan dalam mempelajari ilmu-ilmu Agama, pelajari juga ilmu perbedaan pendapat, agar kita santai dalam menghadapi perbedaan, karena Nabi juga santai. Understand? Atau yang ‘Stand’ adalah yang ‘Under’?