Puak Melayu Petalangan mendiami Kabupaten Pelalawan di Riau. Petalangan adalah sub-suku Melayu yang memiliki budaya Melayu nan khas, berbeda dengan Melayu lainnya di Riau. Orang Melayu Petalangan mendiami sekitaran Sungai Kampar di Kabupaten Pelalawan hingga perbatasan Indragiri Hulu, Riau.
Orang Petalangan pastinya menganut Agama Islam 100 persen. Saya tak menjumpai orang Petalangan yang beragama selain Agama Islam.
Nah, saya menemukan tradisi beragama nan unik di Petalangan, tempat saya berasal, sebuah tradisi keislaman berbalut budaya di dalamnya. Berikut akan saya ceritakan satu per satu ihwal keunikan Islam ala Petalangan ini.
Pertama, orang Petalangan jika hendak berlebaran atau berpuasa Ramadhan, tak bisa dilepaskan dari mandi balimau. Mandi yang dilakukan menggunakan buah atau daun jeruk yang disebut limau. Jeruk yang digunakan adalah jenis limau mentimun. Jika kondisi mendesak, maksudnya jika tidak mendapatkan buahnya, daunnyalah yang dijadikan sebagai pengganti.
Sebelum menjadi bahan pelengkap mandi, limau mentimun dikupas dan dimantrai terlebih dahulu. Hal ini berlaku bagi warga Petalangan tanpa terkecuali.
Mandi balimau juga dilakukan oleh para perempuan Petalangan selepas ia menjalani masa datang bulan (haid). Segera setelah lepas masa haid, biasanya para perempuan mencari rumpun limau mentimun untuk dibaca (dimantrai) sendiri sebelum dijadikan pelengkap kala mandi.
Jadi, perempuan-perempuan di masyarakat Petalangan kebanyakan sudah hafal mantra membaca limau ini, karena aspek penting dari mandi balimau tersebut. Dalam hal ini, orang Petalangan menyebutnya dengan maco limau cuci. Sebutan ini berlaku tersebab, limau ini dijadikan alat untuk bersuci selepas haid atau ketika hendak memasuki bulan Ramadan atau saat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Dari ritual balimau ini, dapat diambil kesimpulan bahwa bersuci dalam Islam Petalangan sangatlah penting. Ia dipadukan dengan buah limau lengkap dengan mantra (doa) khasnya.
Bersuci bagi orang Petalangan tidak hanya sekadar wudhu atau tayamum, atau mandi wajib saja, tapi ia diimbuhkan dengan membaca limau cuci dengan mantra khusus. Bagi orang Petalangan, bersuci dengan ritual khasnya ini adalah suatu kewajiban.
Tradisi Islam Petalangan lainnya yang tak kalah memikat adalah tradisi tampung tawar. Tampung tawar adalah ritual memercikkan air tampung tawar saat pindah rumah, memulai sesuatu hajatan, bisa berladang, memacakkan tiang rumah, dan segala hajat penting lainnya. Jadi, ritual tampung tawar atau tepung tawar tak bisa lepas dari keseharian, ia telah berpadu-padan dengan kehidupan harian orang Petalangan.
Sebagai penjelas, tepung tawar biasanya terdiri dari bahan seperti daun gandarusa (Justicia gendarussa), ati-ati (Coleus atropureus), sedingin (Bryophyllum pinnatum), dan setawar (Costus speciosus). Kesemua ramuan ini diikat dalam satu kebatan. Sementara bahan pelengkap lain adalah beras yang ditaruh di dalam mangkok yang sebelumnya diisi air terlebih dahulu.
Air beras dalam mangkok inilah yang dimantrai oleh seorang dukun atau kiai sambil mengaduk-ngaduknya dengan ikatan tanaman obat berupa sedingin dan kawan-kawannya tadi.
Nah, walau tepung tawar ini lebih ke ranah budaya, tapi para kiai atau tokoh agama di Pelalawan tetap memadukannya dengan ritual ibadah. Para kiai Petalangan tetap menggunakan tepung tawar dalam keseharian. Salah satunya misalnya adalah saat pendirian masjid, tepung tawar pasti akan menjadi pelengkap dengan memercikkannya ke pondasi pertama masjid tersebut. Jadi, kembali agama (Islam) di Petalangan berpadu-padan dengan budaya.
Bertautnya aspek religi dan budaya di Petalangan juga bisa ditemukan dalam tradisi tahlilan. Hal ini saya temui saat saya usia-usia SD hingga SMP di pertengahan 1990-an hingga awal 2000-an. Di masyarakat Petalangan kala itu, ritual tahlilan tak lengkap jika di situ tak disediakan peasap-an. Apa itu?
Peasap-an adalah perkakas ritual dengan bahan-bahan seperti kemenyan dan gaharu yang dibakar di dalam sebuah pinggan. Sebelum tahlilan dimulai, biasanya kiai yang memimpin tahlilan mengusapkan asap dari kemenyan dan gaharu ini ke muka terlebih dahulu.
Namun, sayangnya sekarang ritual tahlilan menggunakan peasap-an ini sudah jarang ditemukan di Petalangan, khususnya daerah Kecamatan Pangkalan Lesung, Pelalawan. Hal ini tersebab adanya doktrin ajaran Islam model baru yang dibawa orang luar ke Petalangan. Isi doktrin tersebut adalah budaya peasap-an dianggap syirik. Sehingga di pertengahan tahun 2000-an budaya kemenyan dan gaharu saat tahlilan ini hilang di sebagian tempat di Petalangan.
Menolak Bala dan Puasa Setengah Hari
Masyarakat Petalangan tenar pula dengan sastranya, dalam hal ini adalah mantra. Mantra adalah bacaan lisan atau semacam doa yang kalimat-kalimatnya teratur atau tersusun rapi sehingga indah terdengar di telinga. Mantra dipakai dalam keseharian orang Petalangan, seperti saat mereka hendak bepergian, mencari rezeki, seperti hendak mencari ikan di sungai atau laut, berburu binatang hutan, melakukan hajat besar seperti perundingan, pernikahan, hingga menemui pasangan yang ditaksir, dalam hal ini untuk yang masih muda. Begitulah pentingnya mantra bagi orang Petalangan.
Uniknya, mantra yang identik dengan budaya bahkan terkadang dikatakan syirik oleh sebagian kalangan itu malah berbalut dengan unsur religi. Menurut penelitian saya di Petalangan, hampir setiap mantra yang ada diawali dengan Bismillah, dan diakhiri dengan kalimat Lailahailallah. Dua kalimat penting dalam tradisi Islam. Selain itu, dalam mantra orang Petalangan, tak bisa lepas pula dari salawat untuk Baginda Nabi Muhammad SAW.
Dalam ritual ibadah memiliki keunikan tersendiri pula, misalnya adalah saat berdoa sehabis sholat atau di acara-acara kenduri, acara resmi kampung atau desa, dan keseharian orang Petalangan lainnya yang memerlukan pembacaan doa.
Pembacaan doa orang Petalangan nan unik adalah saat kalimat wal waba’a wal fakhsya’a dilafazkan. Maka, biasanya orang Petalangan akan membalik kedua telapak tangan mereka dari sebelumnya terbuka menjadi telungkup ke arah depan. Membalik telapak tangan ini, menurut kepercayaan orang Petalangan adalah sesuai dengan lafaz doa tersebut, yakni menolak bala bencana yang datang. Makanya gerik tangan juga harus seperti menolak sesuatu (benda), atau seperti mendorong mobil mogok. Harapannya, semuanya dilakukan demi tertolaknya bala dalam kehidupan.
Membalikkan telapak tangan seperti menolak suatu benda ini hanya dilakukan saat kalimat wal waba’a wal fakhsya’a saja, hanya beberapa jenak, setelah kalimat ini diucapkan, posisi telapak tangan dikembalikan lagi seperti laiknya telapak tangan saat berdoa umumnya. Unik! Ya, begitulah yang bisa dilihat dalam masyarakat Petalangan.
Lalu berikutnya, yang tak kalah unik, yaitu puasa setengah hari di hari terakhir bulan Ramadhan. Puasa di hari terakhir disebut dengan puaso bonsu oleh Orang Petalangan. Bonsu sama dengan bungsu. Bagi sebagian orang Petalangan, puasa hari terakhir ini harus dibedakan dengan puasa 29 hari sebelumnya. Membedakannya adalah dengan berbuka lebih awal, yakni di waktu Zuhur datang. Tak ada penjelasan lebih lanjut, mengapa puasa setengah hari ini dijalankan, selain alasan tadi, yakni untuk membedakan saja dengan puasa di hari lainnya dalam sebulan Ramadhan.
Begitulah Islam dan kebudayaan dijalankan di masyarakat Melayu Petalangan. Dan, ini tentu saja—setelah ditelaah—adalah keunikan sisi religiusitas orang Petalangan Riau. Dalam arti, orang Islam Petalangan menjalankan agamanya secara berbeda dengan Islam lainnya, semisal Islam Jawa, Islam Bugis, atau Islam yang dibatasi oleh organisasi semacam NU, Muhammadiyah, atau lainnya. Bisa dikatakan, Islam Petalangan adalah konsep dan praksis Islam nan unik yang mempunyai langgam khasnya tersendiri.