Suatu Jumat pagi, di Pesantren Darussholah Jember, KH Yusuf Muhammad (Gus Yus) Allahu Yarham, lamat-lamat menasehati jemaahnya, “Jangan suka thulul amal, nanti Sampeyan jadi tolol.” Thulul amal atau thulul amali itu berpanjang-panjang angan, ngelamun istilah Jawanya.
Istilah thulul amal adalah apa yang diharapkan oleh jiwa dari sesuatu yang dicintai seperti umur panjang, kaya raya, pekerjaan bagus, terkenal ataupun menginginkan perempuan “syantiq” sebagai istri, dan seterusnya. Tetapi, orang tersebut, tidak berikhtiar untuk kaya, tidak berusaha untuk jadi orang pinter atau kerjaan bagus. Bisa juga soal waktu, seorang anak remaja masih SMA atau santri di pesantren, tapi ingin istri cantik, ya belum waktunya. Itu semua namanya thulul amal.
Pertanyaan saya adalah, adakah istilah thulul amal yang positif dalam khazanah literatur keislaman?
Saya meyakini ada. Tapi saya tidak tahu persisnya, karena latar belakang pendidikan saya lebih dekat dengan ilmu-ilmu eksakta. Kalau pun ada istilah thulul amal yang positif, sepertinya tidak sepopuler thulul amal.
Nah, sembari menunggu istilah yang lebih pas, kita pakai “thulul amal yang positif”. Thulul amal (mungkin masuk dalam perintah iqra) yang kita butuhkan. Orang Jember (saya lahir Jember) menyebut “thulul amal” yang positif itu dengan visi, visioner, berpandangan jauh ke depan.
Thulul amal yang positif, bisa berarti imajinasi (pelajar di sekolah juga masih “aneh” mengartikan imajinasi=mengarang). Ingat imajinasi, saya ingat kaul Albert Einstein: “Imagination is more important than knowledge. Knowledge is limited. Imagination encircles the world.”
Belajar dengan imajinasi adalah siklus tanpa akhir – tidak hanya secara individu, tetapi di seluruh masyarakat dan usaha manusia. Para pemikir hebat dan penemu dari masa lalu telah menunjukkannya. Sir Isaac Newton misalnya mengatakan: “If I have seen further than others, it is by standing upon the shoulders of giants”. Raksasanya Newton adalah imajinasinya.
Ibnu Sina tidak akan berani melakukan percobaan bedah, jika tidak semangat dalam “thulul amal“. Al-khawarizmi akan berhenti menjadi penyair dan ilmu fikih saja, jika tidak punya “thulul amal” atau imajinasi di bindang astronomi dan matematika. Dan masih banyak lagi tokoh, baik dalam dunia Islam ataupun lainnya.
Nah, saya mengamati dari jauh (karena dari jauh, maka bisa meleset), kaum santri ini kurang dalam “thulul amal“. Buktinya, di kalangan santri (NU) masih lebih banyak menggeluti ilmu keislaman saja. Dari latar belakang pendidikan seperti itu, saya kira, belum banyak, atau bahkan belum ada anak-anak santri yang berangan-angan mendarat ke bulan, bahkan mungkin itu diharamkan. Ini ironis. Mengapa?
Sebab, khazanah kebudayaan kita sebenarnya sangat mendorong imajinasi atau “thulul amal“. Misalnya sama-sama bisa terbang, imajinasi tentang Gatutkaca lebih dulu ada daripada Superman. Dan bukan tidak kebetulan, Gatutkaca sendiri adalah raksasa.
Menurut dalang terkenal, Mbah Tejo, tokoh ini adalah tokoh yang disukai oleh Bung Karno, sementara kesukaan Gus Dur adalah Kumbakarna, raksasa juga, adik dari Dasamuka. Sayangnya budaya kita seringkali kurang diseriusi, sehingga daya ide anak-anak kita juga kurang mendapatkan ruang yang memadai.
Salah satu dari peraih Nobel di bidang ekonomi tahun ini, Paul Romer, meneliti tentang ide dan pertumbuhan, tentang fenomena apa yang menjadikan beberapa negara bisa menggali ide-ide masyarakatnya lalu bisa bertumbuh ekonominya. Saya kira Singapura bisa menjadi contoh di sini, tanpa mengandalkan sumber daya alam, Singapura yang merupakan negara kecil terbilang sangat maju. Padahal, Singapura sama sekali tidak mempunyai sumber daya alam yang melimpah.
Negara tersebut juga pernah dicontohkan oleh Gus Yus kepada jemaahnya ketika beliau menganjurkan kebersihan. Saya mengenang Gus Yus karena “thulul amal” luar biasa. Imajinasi beliau tentang masa depan kita butuhkan sekali.
Waktu itu, agar kita berpikir jauh ke depan, dengan lucunya beliau bertanya, “Sampeyan tahu di mana letak negara Singapura? Itu lho, baratnya Lamongan.” Seketika jemaahnya tertawa lepas.
William Nordhaus, peraih Nobel di bidang ekonomi bersama Paul Romer di tahun ini, adalah di tokoh yang menonjol dalam perdebatan tentang bagaimana menanggapi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia, yaitu perubahan iklim.
Dialah yang pertama kali memiliki ide bahwa pemanasan di bumi harus dibatasi tidak lebih dari 2 derajat celcius daripada suhu sebelum era industri. Model-model perhitungan yang dia ciptakan telah menjadi tonggak utama sebagian besar analisis biaya perubahan iklim saat ini.
Ide, gagasan, imajinasi generasi anak-anak kita harus terus dikembangkan sehingga bisa meneruskan penelitian-penelitian yang ada untuk kepentingan kesejahteraan kita dan juga perikemanusiaan. Dan kelak jika ide-ide ini telah matang tentu perlu dukungan politis untuk penerapannya.
Gus Yus sendiri adalah sosok yang tidak bisa dilepaskan peran politiknya dari naiknya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke kursi presiden RI di awal reformasi, seperti yang pernah diberitakan di NU Online. Gus Yus begitu, karena terbawa imajinasi Gus Dur. Ide reformasi, ide rekonsiliasi, ide politik berwibaha dan maju, yang dimiliki Gus Yus, sekali lagi, tidak lepas dari imajinasi Gus Dur.
Beliau ini alim, kharismatik, komunikasi publiknya baik, rendah hati, —dan jangan lupa; presentasi atau pidatonya selalu memukau. Ketika bicara, diksi Gus Yus selalu terjaga sehingga tak ada hati yang terluka. Ia rajin mencari jalan tengah saat sejumlah kutub saling berhadapan. Mungkin karena itu, beliau dipercaya para kiai sepuh dan kiai muda sekaligus.
Beliau punya peran dalam imajani saya memandang dunia (dan akherat). Di Hari Santri ini, kita butuh “imam” seperti beliau, dengan “thulul amal” dan imajinasinya.
Saya kangen Panjenengan Gus Yus. Al-fatihah…