Bocah kecil itu Berasal dari Andalusia, tepatnya di benteng Qutniyah, yaitu sebudah desa di wilayah Sevilla. Lengkapnya bernama Imam Syu’aib ibn Husain al Anshari atau yang lebih akrab dengan Sidi Abu Madyan.
Tak ada perkiraan sebelumnya kalau bocah kecil yang tumbuh dari keluarga peternak kambing ini nantinya akan menjadi sosok sufi besar yang adiluhung.
Sementara itu, banyak laqob (julukan) mulia yang disematkan kepada beliau, di antaranya adalah gelar Syekh asy-Suyukh (Maha Guru dari para guru), kemudian beliau juga berjuluk al-Ghauts, dan Muallimul Muallimin.
Hal ini dilandaskan atas jasa dan kiprah beliau sebagai penyambung estafet keharmonisan antara tasawuf dan syariat yang telah dibangun oleh Imam al-Ghazali sebelumnya, sehingga mengakar kuat di bagian barat dunia Islam.
***
Pada satu kesempatan saat Sidi Abu Madyan kecil tengah menggembala kambing-kambingnya. Bergetar hati beliau ketika melihat orang salat dengan begitu khusuknya. Kemudian, mendengar juga lantunan dari untaian-untaian indah ayat Alquran dan zikir seorang hamba yang hatinya hadir di altar Tuhan-nya.
Begitu permulaan krisis rohani yang menyerang jiwa Sidi Abu Madyan kecil.
Di buku Syekh asy-Suyukh Abu Madyan al-Ghauts Hayatuhu wa Mi’rajuhu Ilallah buah tangan Dr. Abdul Hamid Mahmud yang sudah dialihbahasakan menjadi [Syaikh Abu Madyan; Sang Guru Kaum Sufi] tergambarkan bagaimana kepiluan jiwa beliau lewat renungan hatinya.
Berikut redaksinya: “Aku merasa takjub ketika melihat orang shalat atau membaca Alquran. Kemudian aku pun mendekati mereka. Aku pun mulai merasa sedih karena tidak mengahafal sedikitpun dari ayat-ayat Alquran. Bahkan tidak tahu menahu cara saalat.”
Lantas beliau pun membulatkan tekad dan memutuskan mengembara untuk memuaskan dahaganya akan ilmu agama. Beberapa kali di tempat yang beliau singgahi misalnya Shatbah beliau menyambi kerja serabutan menjadi buruh nelayan untuk menyambung hidup. Sedang, di Marakesh beliau turut pula menjadi tentara pemerintah.
Dengan gigih hal ini dilakukan beliau dalam rangka guna mencari seorang guru spiritual/mursyid. Akhirnya kerja keras beliau mendapati buahnya, langkah sepasang kaki beliau mengantarkan perjumpaannya dengan sosok wali besar bernama Syaikh Abu Yaz’a di gunung Irujan.
Bersama sekawanan orang-orang, Sidi Abu Madyan muda ini coba ikut bertamu di rumah Syaikh Abu Yaz’a untuk taqarruban. Namun lagi-lagi jurang terjal menguji keteguhan beliau.
Semua tamu diterima masuk dan disambut hangat kecuali beliau. Pula, semua tamu dipersilakan menyantap makanan yang tersaji terkecuali beliau.
Meskipun beliau merasa sangat lapar dan hina dina, tapi tetap menunggu dengan tabah selama tiga hari. Saat beliau melihat Syekh Abu Yaz’a bangkit dari duduknya, beliau bersicepat ke bekas tempatnya untuk menggosok-nggosokan wajah beliau di tempat itu.
Nahas, setelah Sidi Abu Madyan muda mengangkat kepalanya seketika itu beliau langsung tidak bisa melihat. Beliau menjadi buta.
Sepanjang malam hatinya berkabung dan menangis seraya menggubah beberapa syair. Demikian bunyinya:
“Sedikit makanan dan ratapan bagi orang sepertiku, tidak ada yang mampu mengobatinya kecuali sang Kekasih.”
“Seperti apa ketundukan yang harus dilakukan sang pecinta? Jika yang dicintainya tidak memerdulikannnya.” [Hal 30]
Setelah pagi menyingsing, Syekh Abu Yaz’a memanggil Sidi Abu Madyan muda untuk mendekat padanya.
“Wahai orang Andalus mendekatlah!!”
Sejurus kemudian Syekh Abu Yaz’a mengusap wajah beliau dengan tanganya. Seketika itu Sidi Abu Madyan muda dapat melihat kembali seperti sedia kala.
Selanjutnya, Syekh Abu Yaz’a mengusap dada beliau dan berkata kepada para hadirin; “Orang ini akan memiliki kedudukan agung”.
Dan nyatanya hal ini terbukti benar. Wali abdal, ‘arif billah, yang hidup sezaman dengan Sulthanul Auliya (Syekh Abdul Qadir al-Jailani) ini telah meluluskan 1000 murid. Dan setiap satu dari mereka memiliki karamah dan barakah. Tak ayal bila sematan Maha Guru dari para guru ini melekat pada beliau Allahu yarham. Wa lahul fatihah