Sedang Membaca
Bagaimana Filsafat Islam Memandang Perempuan?
Nur Hasan
Penulis Kolom

Mahasiswa Islamic Studies International University of Africa, Republic Sudan, 2017. Sekarang tinggal di Pati, Jawa Tengah.

Bagaimana Filsafat Islam Memandang Perempuan?

Perempuan merupakan sosok manusia yang multidimensional, yang tidak pernah habis untuk dibicarakan dalam berbagai perspektif, baik itu secara psikologi, sosiologi, budaya, agama, dan lain sebagainya.

Salah satu misi yang dibawa oleh ajaran Islam adalah mengangkat derajat kaum perempuan, di mana pada masa-masa peradaban pra-Islam, kaum perempuan sangat termarginalkan. Perempuan lebih banyak dijadikan obyek daripada subyek, ketika berhadapan dengan kaum pria. Mereka lebih banyak dijadikan sebagai pelengkap penderitaan.

Al-Farabi (670-950 M) adalah salah satu tokoh besar dalam filsafat Islam, dan juga dikenal sang mahaguru filsafat. Ia merupakan filsuf Islam pertama yang berhasil menyelaraskan antara filsafat Yunani Kuno dengan Islam. Sehingga dalam konteks agama-agama wahyu, pemikirannya begitu berpengaruh terhadap para pemikir Barat. Bahkan bisa dikatakan, para intelektual barat mempunyai hutang budi terhadap Al-Farabi yang telah menghasilkan banyak ilmu pengetahuan.

Jika dilihat dalam tradisi filsafat Islam, manusia yang berjenis perempuan tidak dibedakan dengan laki-laki, akan tetapi justru disetarakan, sepanjang ia mempunyai kemampuan lebih. Hal ini karena perempuan juga mempunyai kemampuan intelektual. Bahkan Al-Farabi menguatkan argumennya tersebut dengan mengibaratkannya dengan puisi.

Ia mengatakan bahwa kriteria puisi unggulan tidak ditentukan oleh siapa yang menyampaikannya, baik itu laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi ada pada keindahan susunannya.

Pandangan Al-Farabi tentang perempuan juga bisa dilihat dalam kitabnya Mabadi’ Ara al-Madinah al-Fadhilah. Di dalam kitab ini, ada sebuah pemikiran Al-Farabi tentang kriteria untuk memimpin negara. Menurut Al-Farabi, kriteria tersebut adalah sehat jasmani, kesempurnaan intelektual dan suka keilmuan, kemampuan berbicara, bermoral baik, bijak, memahami budaya dan tradisi bangsanya, dan kemampuan melahirkan peraturan yang tepat.

Baca juga:  Khaulah binti Azur, Pedang Allah dari Kalangan Perempuan

Jika diamati saksama, kriteria yang dibuat Al-Farabi diatas mengacu pada hal-hal yang bersifat moral dan intelektual. Al-Farabi sama sekali tidak mensyaratkan jenis kelamin tertentu, dalam membuat kriteria untuk memimpin sebuah negara.

Pemikiran tentang kesataraan antara perempuan dan laki-laki dalam khazanah filsafat Islam, juga bisa dilihat dalam pemikiran Ibnu Ruysd (1126-1198 M). Plato yang dalam karyanya yang berjudul Republic mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk imitasi, yang mana hal ini dibantah dengan tegas oleh Ibnu Ruysd. Bahwa statement tersebut tidak tepat dan tidak benar.

Ibnu Rusyd menyangkal pernyataan Plato tersebut bahwa perempuan bukan hanya makhluk yang pintar berdandan saja, melainkan juga mempunyai kemampuan berbicara yang baik dan kemampuan intelektual yang mumpuni.

Akan tetapi, ketika berkaitan dengan fikih Ibnu Rusyd sangat berhati-hati dan tidak memberikan tanggapan yang begitu tegas tentang masalah-masalah perempuan. Misalnya dalam kasus perempuan menjadi imam salat, Ibnu Rusyd yang juga ahli fikih tidak memberikan tanggapan yang tegas tentang hal tersebut. Karena, bagi Ibnu Rusyd hal tersebut tidak ada aturannya dalam nash. Begitu juga dalam urusan seorang perempuan menjadi hakim.

Meskipun begitu, Ibnu Rusyd masih memberikan penjelasan bahwa hal tersebut masih berada pada ranah perdebatan, karena ada ulama yang membolehkan misalnya Al-Thabari (836-922 M).

Baca juga:  Gerak Kolektif Lawan Kekerasan Seksual dari Para Ulama Perempuan Indonesia

Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid mengatakan bahwa Al-Thabari adalah salah satu tokoh yang memperbolehkan perempuan menjadi hakim dan imam salat bagi makmum laki-laki. Dalam konteksnya ini, menunjukkan bahwa perempuan tidak ditempatkan sebagai subordinat laki-laki dalam fikih Ibnu Rusyd.

Filsafat Islam menilai perempuan dan laki-laki tidak didasarkan pada jenis kelamin, akan tetapi pada kemampuan intelektual dan spiritualnya. Ini juga dilakukan oleh Ibnu Sina (980-1037 M) yang juga seorang filsuf Islam dalam memandang perempuan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
3
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top