Belakangan ini bencana alam silih berganti meluluh lantakkan pulau-pulau di Indonesia. Habib Luthfi bin Yahya berkomentar, “Jika ingin terus terjadi bencana maka teruskanlah saling fitnah.”
Para santri di semua pondok pesantren dengan tradisi ketakziman mereka memahami ucapan tersebut. Tetapi, kaum ilmuwan yang rasional positifistik membutuhkan penjelasan lebih soal pengaitan tragedi alam dengan tragedi kemanusiaan kita.
Tragedi kemanusiaan bangsa Indonesia belakangan, terlebih detik-detik di masa-masa politik, adalah merosotnya moralitas, hilangnya kesantunan dalam berbahasa, serta brutalisme dalam menggunakan sosial media. Habib Luthfi Bin Yahya, mursyid tarekat muktabarah, menyebut tragedi kemanusiaan semacam itu sebagai bagian dari penyebab tragedi alam seperti tsunami, longsor, dan gempa bumi.
Dalam bahasa Maurice Merleau-Ponty (1945), nalar Habib Luthfi sebagai “inseperable of the subject from the body and from the world”.
Merleau-Ponty mengembangkan Husserl tentang “lived-body” menjadi “experience of the body”, yakni, pengalaman tentang tubuh, dan bulan saja tubuh yang dialami. Dari sini, Merleau-Ponty mengatakan, “Saya merasa kedirian saya tidak terlepas dari tubuh saya dan dari dunia saya.” Pernyataan Ponty yang ekstrim tersebut membuatnya dinobatkan sebagai penentang “dualisme Cartesian” yang memisahkan tubuh dari jiwa.
Habib Lutfi bin Yahya melihat sebagaimana Maurice Merleau-Ponty juga melihat bahwa alam tidak terpisah dari tubuh manusia, dan alam beserta tubuh tidak terpisahkan dari jiwa atau subjektifitas/kesadaran yang bersemayam dalam tubuh. Ponty dan Habib Yahya sama-sama melihat bahwa manusia, jiwa manusia, dan jagad semesta ini merupakan satu kesatuan. Karenanya, Habib Luthfi dengan nada satir mengatakan,
“Lanjutkanlah saling fitnah yang merupakan bencana kemanusiaan jika kita tetap menginginkan bencana alam berlanjut!”
Nalar Habib Luthfi hanya bisa dipahami jika kita melihat hubungan jiwa manusia (subjectivity and consciousness), tubuh dan alam sebagaimana Ponty melihatnya. Yaitu, perlawanan terhadap nalar Cartesian. Sebab, nalar Cartedian inilah yang mencegah kita melihat kemenyatuan antara manusia dengan alam, yang dimulai dari pemisahan tubuh dari kesadaran.
Sebagaimana Ponty melihat jiwa, tubuh dan alam tidak bisa dipisahkan satu sama lain, maka Habib Luthfi dapat dimengerti jika mengatakan bahwa bencana alam di Indonesia akan terus terjadi bila saling fitnah sebagai bencana kemanusiaan tetap berlanjut.
Baik Maurice Merleau-Ponty maupun Habib Luthfi bin Yahya dapat disederhanakan dalam satu konsep yang lazim di dunia pesantren. Yaitu, ilham kewaliyan. Para santri atau komunitas pesantren dapat dengan mudah menerima ujaran Habib Luthfi tanpa perlu berbelit-belit menggunakan nalar filosofis, sebut saja seperti Merleau-Ponty.
Bagi santri dan masyarakat pesantren, seorang kekasih Allah yang kinasih, seperti Habib Luthfi, memiliki pengetahuan yang ilhamiah atau intuitif atau datang dari Tuhan.
Pengetahuan ilhamiah seorang Kiai, seperti Habib Luthfi dan kiai-kiai lainnya yang sepantaran, berasal dari intensionalitas terhadap kemanusiaan dan sekaligus alam dan lingkungan.
Para Kiai semenjak zaman klasik telah memiliki intensi atau perhatian khusus dalam merawat dan menjaga alam lingkungan, sebagaimana kepedulian mereka terhadap umat manusia.
Sunan Bonang, misalnya, bukan saja waliyullah tetapi juga seorang agrarian, environmentalis, dan tentu politisi. Disiplin ilmiah yang kompleks menyatu dalam diri kiai, wali, dan ulama. Karenanya, tidaklah mustahil bila statemen mereka yang muncul juga multidisipliner.
Masyarakat pesantren dapat menerima kebenaran pernyataan Habib Luthfi tentang keterkaitan bencana alam yang menimpa negeri ini yang bertubi-tubi tersebut sebagai akibat dari bencana kemanusiaan yang menimpa bangsa ini. Sebab, masyarakat pesantren menjadi saksi mata betapa cara kerja intelektual tokoh panutan mereka sudah multidisipliner sejak awal. Namun, non-pesantren perlu melihat statemen Habib Luthfi dari nalar yang mungkin harus berbau ilmiah positivistik, sebagaimana dalam konteks ini disuguhkan oleh Maurice Merleau-Ponty.
Alhasil, perbaikan akhlak menjadi lebih adiluhung adalah awal langkah recoveri kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk pencegahan dini bencana alam; tsunami, longsor, gempa bumi, gunung meletus dan lainnya. Sebab, bencana kemanusiaan adalah motif utama lahirnya bencana alam. Kebenaran ini hanya bisa diterima bagi kesadaran yang tidak lagi terjebak oleh dualisme Cartesian, dan mulai beralih pada apa yang oleh Merleau-Ponty sebut sebagai “inseparable of the subject from the body and from the world.”